Gender dan Pekerjaan |
Bagian ini diawali dengan survei
terhadap para teoris feminis Marxis, yang difokuskan pada karya-karya novel
Emma Goldman: The Traffic in Women (1970), Michele Barrett: Women's
Oppression Today (1980) dan Lillian Robinson: Sex, Class and Culture (1978).
Konsep teoretis dasar yang diuraikan di sini antara lain: kapitalisme versus
patriarki, berkaitan dengan hubungan antara penindasan kelas dan gender;
ekonomi publikasi; pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin; dan analisis
feminis Marxis sebagai identifikasi terhadap aspek-aspek struktural yang
menentukan kualitas dan sifat pengalaman kita. Pada bagian selanjutnya setelah
survei teoretis ini, pembahasan kita akan beralih ke analisis feminis Marxis di
dalam novel Charlotte Perkins Gilman yang berjudul 'The Yellow Wallpaper'
dan beberapa cerita pendeknya.
Tinjauan mengenai Teori Feminis
Marxis
Ringkasan Prinsip-prinsip Feminis Marxis
Ringkasan Prinsip-prinsip Feminis Marxis
Feminisme Marxis diatur di seputar
konflik-konflik pokok antara kapitalisme dan patriarki serta kelas versus
penindasan gender. Feminisme Marxis menggabungkan studi tentang kelas dengan
analisis mengenai gender. Kapitalisme dipandang sebagai eksploitasi secara
seksual dan ekonomi; patriarki kapitalis dipandang sebagai sumber penindasan
wanita: pengucilannya dari dunia kerja (lewat pembentukkan sekelompok tenaga
kerja yang ada), kepemilikan patriarkal atas alat-alat produksi dan reproduksi,
konstruksi kaum wanita sebagai kelas konsumen pasif, dan eksploitasi atas
pekerjaan wanita. Yang disebutkan terakhir ini merupakan perspektif umum yang
menyatukan semua wanita dan memungkinkan mereka mengenali cara-cara dimana
kapitalisme mengharuskan bahwa pria mendominasi wanita, lewat suatu analisis
politis terhadap ideologi patriarki. Jadi, gender adalah penyebab yang lebih
mendasar dan pokok terjadinya penindasan ketimbang kelas, dan penindasan gender
membentuk seluruh hubungan sosial kita. ‘Walaupun masyarakat kelas tampaknya
merupakan sumber, penyebab penindasan terhadap wanita, justru sebenarnya dia
hanyalah akibat’, kata Nancy Hartsock, dalam ulasannya tentang Marx. Lebih
lanjut dia mengatakan, 'Jadi, "hanya pada titik kulminasi terakhir dari
perkembangan masyarakat kelas-lah [bahwa] hal ini, rahasianya, muncul kembali,
yakni, bahwa di satu sisi ini adalah produk dari penindasan wanita, dan
bahwa di sisi lain ini adalah alat melalui mana kaum wanita
berpartisipasi di dalamnya dan menciptakan penindasan atas dirinya sendiri'
(penekanan dan elipsis Hartsock, 1983, (hal. 86). Identitas personal dan budaya
dipandang sebagai produk-produk ideologi. Salah satu kontradiksi kapitalisme
yang terungkap melalui suatu analisis feminis adalah bahwa kapitalisme
menyepelekan apa yang sangat dibutuhkannya—tenaga kerja wanita. Kaum feminis
Marxis mendapati dirinya berbeda pandangan dengan kaum feminis sosialis
mengenai pertanyaan-pertanyaan: apakah kelas dan jenis kelamin mempertegas
pemisahan pokok antara pria dan wanita? Kaum feminis Marxis mensubstitusi seks
untuk peran yang dijalankan oleh kelas dalam analisis-analisis Marxis klasik
dan menaruh perhatian pada kondisi-kondisi pembagian kerja berdasarkan jenis
kelamin.
Kondisi-kondisi material dalam rumah
tangga menggambarkan berbagai macam pertentangan gender, seperti pemisahan yang
dianalisis oleh Marx sebagai efek samping dari pertarungan kelas: di antara
pertentangan-pertentangan ini juga termasuk pertentangan-pertentangan yang
terbentuk antara tubuh dan pikiran, alam dan budaya, riil dan ideal. Dominasi
pihak maskulin atas tiap dikotomi dan akibatnya devaluasi atas kaum wanita
adalah ciri khas patriarki. Ketika hubungan-hubungan politis dalam lingkungan
rumah tangga dipandang seperti dalam sebuah mikrokosmos, menjadi jelas bahwa
hubungan-hubungan serupa dalam ranah publik menghasilkan devaluasi sistematis
atas ‘pekerjaan wanita’ yang membentuk relasi-relasi sosial dan kehidupan
politik publik.
Dalam konteks teorisasi sastra, kaum
feminis Marxis fokus pada hubungan antara membaca dan realitas sosial. Seni,
termasuk literatur, dianggap ditentukan oleh sistem-sistem produksi
ekonomi. Kondisi-kondisi yang memengaruhi penyusunan buku-buku sastra
ditentukan oleh ekonomi publikasi dan distribusi, pemasaran dan profit. Kaum
feminis Marxis mempertanyakan pengaruh gender pada cara dimana dunia
kepenulisan diterima dan peraturan-peraturan dibentuk. Makna-makna tekstual
diasumsikan diproduksi oleh konteks sosial-ekonomi mereka dan ideologi pembaca
ketimbang berada dalam bidang apolitik transenden tertentu. Analisis Marxis
berkutat pada identifikasi determinan-determinan pengalaman yang struktural.
Ini melibatkan proses menelaah cara-cara dimana pengalaman pribadi ditentukan
oleh kondisi-kondisi politik publik, dan, dengan demikian, bagaimana
pengalaman-pengalaman publik dibentuk oleh hubungan-hubungan personal. Tiga
pemikir feminis Marxis terkemuka adalah Emma Goldman, Lillian Robinson dan
Michele Barrett; dan pada bagian-bagian selanjutnya kita akan memusatkan
perhatian pada karya ketiga wanita ini.
Emma Goldman, The Traffic in Women dan
Esei-esei lainnya (1970)
Buku ini menyadur kembali sebagian
esei Emma Goldman tentang prostitusi, perkawinan dan hak pilih wanita, yang
ditulisnya terlepas dari anarkisme yang diilhami Marx, pada awal abad ini. Saya
ingin memfokuskan perhatian di sini pada esei judul dari kumpulan karya ini
dimana Goldman menyajikan suatu analisis awal tentang subordinasi kaum wanita
sebagai sebuah kelas lewat perpaduan hubungan kelas dan jenis kelamin. Emma
Goldman membuka esei ini dengan membentuk suatu hubungan antara prostitusi seks
dan prostitusi ekonomi–perbudakan upah versus perbudakan seks; keduanya
merupakan bagian dari apa yang disebut Goldman 'lalulintas perbudakan kulit
putih' (Goldman, 1970, hal. 19). Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa
sesungguhnya subordinasi terhadap wanita dari segi ekonomi merupakan penyebab
dan akar dari prostitusi: 'Moloch kapitalisme yang tidak kenal ampun telah
meningkatkan jumlah tenaga kerja yang tidak dibayar, sehingga mendorong ribuan
wanita dan gadis remaja terjerumus ke dalam prostitusi' (hal., 20). Untuk apa
bekerja lama, waktu yang terbuang percuma hanya untuk bayaran yang sangat
rendah, tanyanya, ketika prostitusi mampu menawarkan peluang yang lebih
menarik? Goldman menyebut beberapa contoh para wanita yang bekerja di pabrik-pabrik
di New York City dengan upah enam dolar seminggu sebagai bayaran untuk kerja
selama 48 sampai 60 jam. Dari kondisi ekonomi wanita pekerja yang spesifik ini,
Goldman beralih ke uraian tentang determinan-determinan sosial terkait yang
memengaruhi perilaku wanita sebagai suatu kelas yang berbeda.
Tidak dimanapun juga wanita
diperlakukan sesuai dengan manfaat pekerjaannya, tetapi lebih karena terdapat
unsur kesenangan seks. Karena itu, hampir tidak bisa dihindari bahwa dia harus
membayar bagi haknya agar tetap eksis, untuk mempertahankan posisi di lini
apapun, dengan kesenangan seks. Jadi ini semata-mata adalah sebuah pertanyaan
mengenai tingkatan apakah dia menjual diri kepada satu pria, dalam atau di luar
perkawinan, atau kepada banyak pria. Apakah para reformis kita mengakuinya atau
tidak, rendahnya kedudukan wanita di bidang ekonomi dan sosial bertanggung
jawab terhadap prostitusi (hal. 20).
Untuk menekankan bahwa karena faktor
ketergantungan ekonomi-lah dan bukan karena kondisi, moral, personal, dan sosial,
yang menyebabkan para wanita tertentu, sebagai suatu kelas seksual, beralih ke
prostitusi, atau semacamnya, Goldman menunjuk ke alasan-alasan berbeda mengapa
para wanita menjadi WTS: kebutuhan finansial, melarikan diri dari rumah,
ketidakmampuan fisik yang membuat mereka tidak bisa masuk ke jenis-jenis
pekerjaan tertentu. Goldman juga sangat hati-hati untuk mengemukakan bahwa para
wanita menikah membentuk proporsi yang cukup besar dalam komunitas prostitusi,
sehingga tidak diperlukan lagi penjelasan moral tentang mengapa prostitusi
terjadi. Menurut Goldman, alasan terjadinya prostitusi didasarkan pada hubungan
antara kelas ekonomi dan status wanita sebagai komoditas seks. Jadi wanita
kelas pekerja menjadi pelacur sementara wanita borjuis menjadi pelacur de
facto dalam perkawinan. Menurut pendapat kaum moralis prostitusi tidak
selalu terletak dalam fakta bahwa wanita menjual tubuhnya tetapi justru dia
menjualnya di luar perkawinan. Bahwa tidak di mana pun juga pernyataan
dibuktikan oleh fakta bahwa perkawinan karena pertimbangan-pertimbangan
finansial sangat legitimate, diperkuat oleh hukum dan opini publik,
sementara bentuk kesatuan (union) lainnya dikutuk dan ditolak' (p.
25). Hubungan seksual ditentukan oleh relasi kelas; status individu wanita
tergantung pada kedudukan kelasnya, tetapi status ekonomi wanita sebagai sebuah
kelas seksual merupakan kondisi ketergantungan bersama. Bahkan, Goldman
menunjukkan bahwa prostitusi bayaran menawarkan beberapa keuntungan dibanding
hubungan seksual dan kerja rumah tangga setelah menikah yang tidak dibayar:
karena WTS tidak pernah melepaskan haknya atas dirinya sendiri, dia tetap
memiliki kebebasan dan hak-hak pribadi, juga dia tidak pernah dipaksa untuk
menyerahkan diri ke pelukan pria lain' (pp. 26-27). Tetapi, istri mendapati
dirinya dalam suatu kondisi yang mirip dengan perbudakan dimana dia terikat
sepenuhnya pada pria yang dinikahinya. Jadi, status komoditas wanita di bawah
sistem kapitalisme dan status ketergantungan wanita di bawah sistem patriarki
menciptakan sejumlah hubungan sosial yang mengubah semua relasi seksual ke
dalam bentuk prostitusi.
Goldman bisa meramalkan transformasi
relasi-relasi ini kecuali jika prostitusi diakui sebagai sebuah produk dari
kondisi-kondisi sosial (sebagai suatu isu sosial ketimbang isu moral), dan
hanya ketika kita mencapai ‘suatu transvaluasi sempurna pada semua nilai yang
diakui... disertai dengan penghapusan perbudakaan di bidang industri' (hal.
32). Hanya transformasi semua hubungan eksploitatif yang bisa menghapus kelas seksual
terhadap mana kaum wanita telah diposisikan, yang disertai dengan komodifikasi
pekerjaan seksual yang diwakili oleh prostitusi. Analisis Emma Goldman mengenai
prostitusi merupakan indikasi dari pandangan feminis Marxis-nya, di mana
eseinya mengaitkan antara penindasan kelas dan penindasan gender, dalam konteks
pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin di bawah sistem patriarki kapitalis,
dalam kaitan dengan aktivisme revolusioner Goldman sendiri.
Michele Barrett, Penindasan Wanita Dewasa Ini: Masalah-masalah dalam Analisis
Feminis Marxis (1980)
Fokus perhatian Barrett dalam buku
ini adalah untuk menyatukan analisis tentang hubungan-hubungan gender
dengan analisis materialis tentang masyarakat kapitalis kontemporer. Dia
memulai dengan mengakui bahwa hanya ada sedikit kesamaan landasan berpikir yang
dianut oleh teori Marxis dan feminisme: Marxisme berhubungan dengan
relasi-relasi apropriasi dan eksploitasi, yang disebabkan oleh pertentangan
mendasar antara modal dan tenaga kerja, dan bukan, seperti dikemukakan oleh
Barrett, dengan gender para eksploiter dan gender dari orang-orang yang
pekerjaannya diapropriasikan (Barrett, 1980, hal. 8). Dan selanjutnya Barrett
mengakui bahwa pembagian-pembagian gender yang menimbulkan diskriminasi dan
penindasan seksual mendahului transisi ke ekonomi-ekonomi kapitalis dan karena
itu tidak bisa dihapuskan oleh transisi yang semakin menjauh dari kapitalisme
dalam konteks suatu revolusi sosialis saja. Walaupun tidak peduli dengan
masalah gender, ada pekerjaan yang harus dilakukan oleh Marxisme dalam konteks
gerakan feminis. Feminisme Marxis bisa ‘mengidentifikasi kerja
hubungan-hubungan gender ketika dan bilamana mereka mungkin berbeda dari, atau
berkaitan dengan, proses-proses produksi dan reproduksi yang dipahami oleh materialisme
historis' (hal. 9). Penting bahwa Barrett mengkhususkan pemakaian istilah
'reproduksi’ dengan menempatkannya secara jelas dalam suatu konteks materialis
historis, dengan mengambil konsep Louis Althusser mengenai reproduksi
hubungan-hubungan produksi. Ini penting karena Barrett ingin membedakan
pemakaian istilahnya tersebut dari pemakaian kaum feminis radikal yang
mendefinisikan reproduksi sebagai pengalaman maternitas yang didasarkan pada
perbedaan biologis antara pria dan wanita, dan yang bersumber pada penindasan
atas wanita (lihat pembahasan mengenai The Dialectic of Sex Shulamith
Firestone, pada bab lima). Barrett sangat kritis dengan argumen-argumen
biologistis Firestone, terhadap reduksionismenya, terhadap penghilangan
definisi-definisi seks sebagai suatu kategori biologis dan gender sebagai suatu
kategori sosial, terhadap kemungkinan penegasan ulang atas
lingkungan-lingkungan yang berbeda (publik versus pribadi) untuk pria dan
wanita. Justru, Feminisme Marxis akan fokus pada 'hubungan-hubungan antara
organisasi seksualitas, produksi rumah tangga, rumah tangga, dan sebagainya,
dan perubahan-perubahan historis dalam moda produksi serta sistem-sistem
apropriasi dan eksploitasi' (hal. 9).
Akibatnya, pendekatan Feminisme
Marxis terhadap konsep patriarki didasarkan bukan pada landasan biologis dari
hubungan-hubungan kekuasaan tetapi dalam hubungan dengan analisis kelas, guna
memungkinkan pemahaman yang lebih tepat tentang penindasan wanita. Barrett
menyebut contoh istri yang diceraikan oleh pria borjuis; wanita ini adalah
anggota kelas borjuis hanya karena perkawinannya, akibatnya dia adalah anggota
kehormatan kelas menengah. Namun di luar hubungan perkawinan, wanita ini harus
mencari nafkahnya sendiri dan mengambil tempat dalam kelas pekerja tempat dia
menjadi anggota seumur hidupnya. Ini adalah contoh perkawinan yang sangat bagus
sebagai bentuk produksi rumah tangga, yang melibatkan apropriasi suami atas
kerja gratis istrinya, tetapi ini tidak mengindikasikan bagaimana konsep
patriarki berkaitan dengan moda produksi khusus ini. Malahan, patriarki
direpresentasikan sebagai prinsip penindasan yang ahistoris dan universal.
Kendala untuk menetapkan patriarki sebagai suatu sistem dominasi pria dalam
kaitan dengan mode produksi kapitalis dalam beberapa hal semakin menambah
kesulitan untuk merumuskan analisis feminis Marxis yang tepat. Kesulitan ini
makin terasa ketika mempertimbangkan hubungan-hubungan reproduksi sebagai
hubungan-hubungan patriarkal yang bisa dikatakan tercipta terlepas dari
hubungan-hubungan produksi kapitalis. Kerja rumah tangga yang tidak diupah,
contoh, berada di luar parameter-parameter analisis eksploitasi Marx di bawah
kapitalisme, yang berlaku pada kontrak upah eksploitatif dan yang tentu tidak
berlaku pada situasi istri yang tidak diupah. Tetapi, pekerjaan istri mungkin
berguna untuk memproduksi pekerjaan buruh sama seperti ketika dia mereproduksi
hubungan-hubungan ideologis kapitalis dalam hal dominasi dan submisi dalam
konteks keluarga. Dengan cara ini, pekerja rumah tangga yang tidak diupah dan
pekerja yang diupah rendah memiliki kepentingan kelas yang sama. Dalam hal ini,
analisisnya adalah reduksionis dan dengan demikian, analisis tersebut tidak
mempertimbangkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam masyarakat
pra-kapitalis dan sosialis. Barrett menyimpulkan bahwa dalam kenyataannya
penindasan terhadap wanita tidak selalu merupakan kerja kapitalisme tetapi
bentuk penindasan ini ‘telah memperoleh landasan material dalam
hubungan-hubungan produksi dan reproduksi kapitalisme dewasa ini' (hal. 249).
Kesulitan untuk menjelaskan
reproduksi sosial dari hubungan-hubungan kelas kapitalis dalam kaitan dengan
reproduksi patriarkal kelas-kelas tersebut sebagian bergantung pada arti
penting atau keistimewaan yang melekat pada kelas atau pada gender. Konflik
yang sama ini antara klaim kelas dan klaim gender sebagai sumber penyebab
penindasan muncul dalam debat-debat mengenai posisi wanita dalam struktur
kelas. Klaim feminis radikal bahwa wanita merupakan suatu ‘kelas seks’
patriarkal yang terlepas dari atau yang terperangkap dalam sistem kelas
kapitalis. Jadi wanita mengalami penindasan sebagai wanita dalam
cara-cara yang lebih langsung dan lebih kuat dibanding penindasan yang mereka
alami karena afiliasi kelas ekonominya. Pengalaman penindasan karena gender
dalam suatu konteks kelas bisa didekati dalam kaitan dengan revisi Louis
Althusser atas konsep ideologi sebagai pengalaman hidup, 'hubungan imajinatif
individu-individu dengan kondisi eksistensi riil mereka' (Althusser, 1971).
Barrett mengemukakan bahwa, meskipun konsep ini berguna untuk mempertahankan
suatu hubungan dengan kondisi material kehidupan, ideologi saja tidak cukup
untuk menjelaskan penindasan wanita di bawah sistem kapitalisme;
proses-proses ekonomi dan juga determinan-determinan ideologis turut menentukan
sifat spesifik dari penindasan yang dialami kaum wanita. Sangatlah penting,
seperti dijelaskan oleh Barrett, untuk mendefinisikan secara cermat
konsep ideologi; pertama, dia membatasi ide mengenai otonomi ideologi yang relatif:
kita harus bisa menetapkan sejauh mana terdapat kemungkinan-kemungkinan bagi
proses-proses ideologis terhadap suatu bentuk sosial tertentu: dan kemudian dia
selanjutnya membatasi konsep untuk mendeskripsikan fenomena mental ketimbang
fenomena material:
Konsep ideologi menunjuk ke
proses-proses yang berhubungan dengan alam sadar, motif, emosionalitas;
ideologi sebaiknya dimasukkan dalam kategori makna (meaning). Ideologi
adalah istilah umum untuk proses-proses dimana lewat proses-proses ini makna
diproduksi, ditentang, direproduksi, ditransformasikan. Karena makna disepakati
terutama lewat cara-cara komunikasi dan signifikasi, maka bisa dikatakan bahwa
produksi budaya menyediakan tempat yang penting bagi pembentukan proses-proses
ideologi (hal. 97).
Dengan cara ini, studi literatur dan
sastra sebagai bentuk material dari praktik budaya, terbuka bagi analisis
ideologi Marxis dalam bentuk-bentuk sosial tertentu. Jadi, analisis ideologi
dalam konteks historis dan material akan memudahkan identifikasi terhadap
mekanisme-mekanisme yang beroperasi untuk menindas wanita, seperti mitologi
keluarga yang ideal, konstruksi ideologis dari subyektivitas gender, dan
sebagainya.
Lillian S. Robinson: Seks, Kelas dan Budaya (1978)
Diilhami oleh aliran politik New
Left pada dasawarsa 1970-an, Lillian Robinson menyediakan analisis materialis
historis ini tentang karya-karya sastra kanonik. Esei yang menjadi awal dari
beberapa karyanya, 'Dwelling in Decencies: Radical Criticism and the
Feminist Perspective' (1971), menyoroti kesulitan dalam membangun suatu
hubungan yang efektif antara feminisme dan bentuk-bentuk turunan dari kritik
sastra: `kritikan feminis tidak bisa serta merta menjadi kritik borjuis [kata
Robinson]. Kritikan tersebut haruslah ideologis dan moral; dia harus revolusioner'
(Robinson, 1978, hal. 3). Efektivitas kritikan feminis tidak boleh diukur
berdasarkan kontribusi yang bisa diberikan kepada kritikan sastra akademis
tetapi diukur oleh apa sumbangsih dari upaya analisis ideologis feminis ini
bagi kemajuan kaum wanita. Dalam pendapatnya tentang apa yang bisa dilakukan
oleh analisis ideologis ini, di bidang sastra Robinson cenderung menggunakan
konsep ideologi yang ditetapkan oleh Michele Barrett. Robinson berpendapat:
Banyak buku tentang wanita
berkonsentrasi pada ‘pilihan-pilihan’ moral dan sosial yang mereka buat; para
penulisnya hampir selalu menunjukkan kepada kita betapa sedikitnya cakupan
material yang sungguh-sungguh mereka miliki untuk membuat pilihan-pilihan. Ini
jelas lebih dari sekadar mengatakan kepada kita seberapa banyak uang yang
dipunyai atau yang bisa diperoleh seseorang—walaupun para penulis, ketika
berbicara tentang wanita, sangat eksplisit mengenai fakta-fakta ini. Ini adalah
masalah mengaitkan pengalaman kelas di bidang ekonomi dan budaya dengan makna
yang diberikan seseorang tentang dirinya dan dengan apa yang terjadi dalam
hidupnya. Itu juga berarti memahami sejauh mana identitas seksual itu sendiri
merupakan suatu fakta material (hal. 9-10).
Di sini Robinson tidak menunjuk
secara khusus ke buku-buku yang ditulis oleh dan tentang wanita;
representasi wanita dalam karya sastra pria yang mencakup tradisi besar juga
bisa mengungkapkan banyak hal tentang mekanisme penindasan atas wanita. Namun
ini hanya bisa terjadi jika kritikus-kritikus sastra feminis melepaskan
asumsi-asumsi yang telah mereka ketahui tentang obyektivitas dan
ketidaktertarikan serta nilai tekstual. Sebuah buku tidak mungkin seksi
dan tetap 'besar’ sebagai karya sastra di tangan feminis. Evaluasi atas sebuah
buku dalam konteks feminis mengharuskan bahwa kritikus harus melewati
batas-batas bentuk tekstual untuk mencaritahu apa hubungan antara bentuk dengan
makna moral atau ideologis. Baik aspek estetis maupun aspek ideologis dari
sebuah buku harus tetap dipertahankan jika feminisme hendak difungsikan sebagai
suatu bentuk kritikan yang saling 'bertautan'; yakni, sebuah kritikan dengan
suatu alasan politis.
Apa yang Robinson inginkan agar
tetap dimiliki oleh mereka yang tugasnya ‘melakukan’ kritik terhadap feminis
adalah melakukan suatu penyelidikan gender sebagai bagian dari keilmuan yang
tradisional dan borjuis. Dalam esei tahun 1974 'Criticism and Self-Criticism'
dia menyebutkan jenis kritikan sastra feminis yang gagal mempertahankan
pendekatan ini dalam prosesnya 'seolah-olah gender berfungsi sebagai suatu
kategori alamiah ketimbang kategori sosial' (Robinson, 1978, hal. 65). Dengan
kegagalan untuk keluar dari pengakuan bahwa seksisme adalah sebuah batasan
sosial, analisis feminis terbatas semacam ini tidak mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk
yang digunakan oleh batasan ini dalam masyarakat tertentu. Dengan demikian
kritikan ini gagal untuk berkontribusi bagi penyebab kebebasan wanita; dia
tidak membantu kita menggunakan literatur untuk memahami suatu masalah penting
bahwa literatur sangat cocok untuk menerangkan—bentuk-bentuk khusus yang
disandang oleh seksisme dalam masyarakat kapitalis' (penekanan Robinson,
hal. 65). Apa yang seharusnya dianalisis oleh kritikan feminis adalah sejarah
sosial yang memotivasi makna karya-karya seni, baik karya-karya seni yang
dihasilkan dewasa ini maupun di masa lampau. Robinson membuat suatu pembedaan
berkaitan dengan isu-isu yang harus ditangani oleh karya-karya sastra
kontemporer dan bukan oleh karya-karya sastra historis:
Untuk jaman sekarang, itu berarti
memperhatikan kultur massa secara serius—menyelidiki seni yang diperuntukkan
bagi masyarakat pekerja, bentuk yang digunakannya, mitos yang diciptakannya,
pengaruh yang ditimbulkannya, dan mencari audiens baru bagi kritikan di antara
orang-orang yang merupakan pelaku utama dalam sejarah. Untuk masa lalu, itu
berarti memperhatikan karya-karya adiluhung terkenal sepanjang sejarah: yang
dikondisikan oleh kekuatan-kekuatan historis, yang dibuat dalam situasi-situasi
material khusus, yang melayani kepentingan-kepentingan tertentu dan yang
mengabaikan, mengancam atau menindas karya-karya yang lain. Dan itu berarti
mempertimbangkan bagaimana budaya populer biasa ada bersama dan kadang-kadang
saling tumpang tindih dengan karya-karya tersebut (hal. 67).
Dalam esei-esei yang yang ditulis
dalam buku Sex, Class, and Culture, Robinson melakukan secara persis apa
yang digambarkan di sini. Esei-esei seperti 'Who's Afraid of a Room of One's
Own?' tentang Virginia Woolf, 'Woman Under Capitalism: The Renaissance
Lady' tentang pemujaan terhadap cinta yang tulus, 'Why Marry Mr. Collins?'
tentang Jane Austen, saling tumpang tindih dengan esei-esei seperti 'On Reading
Trash', tentang ‘tumpang tindih’ antara romansa populer dan romansa sastra,
'Working/Women/Writing' yakni tentang tulisan wanita kelas pekerja, dan
'What's My Line? Telefiction and Women's Work'. Bentuk-bentuk
sastra, mitos, pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh buku-buku ini, dan para
audiens potensial yang akan dijangkaunya seluruhnya ditentukan berdasarkan
gender; kekuatan-kekuatan historis yang mengkondisikan buku-buku tersebut,
situasi-situasi material tertentu yang telah menghasilkan buku-buku itu, dan
kepentingan-kepentingan historis yang memiliki keterkaitan dengan buku-buku
bersangkutan, seluruhnya dibahas dalam analisis-analisis Robinson kecuali yang
menyangkut aspek-aspek gender. Fokus dari analisis-analisis feminis Marxis-nya
tidak sepenuhnya patriarki ataupun kapitalisme, tetapi justru hubungan antara
antara penindasan kelas dan penindasan gender serta aspek-aspek struktural yang
menentukan kualitas dan sifat dari pengalaman kita sebagai makhluk yang
ber-gender. Contoh, dalam 'Who's Afraid of a Room of One's Own?'
Robinson menguraikan cara-cara dimana kesucian dan perilaku seks dikaitkan
dengan kelas sosial-ekonomi, baik secara historis dalam tulisan Virginia maupun
dalam pengalaman kontemporernya sendiri di Amerika. Hubungan antara kelas dan
seksualitas tampaknya hanya mengaburkan pengalaman umum kaum wanita dalam
masyarakat—ketersediaan seks dan kapasitas untuk memberikan kenikmatan seks
mencirikan wanita kelas pekerja yang juga sering diidentikkan dengan
prostitusi, sementara para wanita borjuis atau kelas atas yang ceroboh dalam
hal seksual (Robinson menggunakan contoh Lily Bart dalam karya Edith Wharton
dan para pahlawan wanita almarhum Henry James) bergantung secara finansial pada
para pria sama seperti para WTS kelas pekerja, dan kecerobohan seksual dari
para “nyonya” ini juga bisa dilacak ke kebutuhan finansial.
Pria-lah yang mengabsahkan antara
wanita ‘terhormat’ dan para WTS, namun ketergantungan wanita sebagai masyarakat
kelas bawah-lah yang menentukan perilaku-perilaku seksual wanita (kesucian
maupun berhubungan seks dengan siapa saja). Istilah `respektabilitas' membawa
serta suatu identifikasi kelas—wanita terhormat karena hubungan perkawinan atau
keturunan bisa bergabung dengan kelas menengah suami atau ayahnya—dan dengan
demikian hirarki relasi-relasi kelas membentuk pengalaman gender karena dia
menentukan pengalaman seksualitas. Para wanita tidak memperoleh kekuasaan lewat
identifikasi ini tetapi mereka memperoleh kedekatan dengan dan
keuntungan-keuntungan material dari kedekatan mereka dengan orang-orang yang
menguasai alat-alat produksi. Robinson mencatat, 'Dalam pengertian inilah bahwa
bentuk-bentuk perilaku seks menciptakan hambatan-hambatan yang setidaknya
dipahami sebagai berbasis kelas' (hal. 108).
Feminisme Marxis dalam Praksis
Pada bagian berikut, novel Charlotte Perkins
Gilman 'The Yellow Wallpaper' dan beberapa cerita pendeknya akan
dianalisis dalam konteks feminis Marxis. Diskusi mengenai novel Charlotte
Perkins Gilman dibuat dalam konteks feminisme Gilman. Hubungan gender dan
materialisme dalam representasi Gilman menyangkut kondisi kehidupan para wanita
abad sembilan belas menciptakan kondisi-kondisi bagi analisis feminis
Marxis atas novelnya dan tema-tema yang dibahasnya di sana: kapitalisme dan
patriarki, atau hubungan antara ketergantungan ekonomi dan identitas seksual
wanita; analisis politik dalam kaitan dengan determinan-determinan pengalaman
struktural serta kehancuran individualitas wanita; dan pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin yang, dalam 'The Yellow Wallpaper', dibahas
oleh Gilman dalam kaitan dengan tulisan dan komunikasi. Gaya penyusunan buku
ini dibicarakan dalam kaitan dengan kondisi-kondisi produksi dan konsumsinya:
pada saat publikasi awalnya, buku ini tidak populer karena gaya Gothic dimana
buku ini ditulis mengungkapkan sensibilitas feminin yang bertentangan dengan
gaya realistis dominan yang terkenal di kalangan para sahabat Gilman (terutama
penilai gaya sastra abad sembilan belas, William Dean Howells).
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.