Tahun
1998 mungkin menjadi sebuah memori
yang tidak bisa dilupakan oleh gerakan mahasiswa Indonesia, di mana pada saat itu sebuah momen
coba dibangun atas gerakan yang mengatasnamakan “Gerakan rakyat indonesia”,
yang kemudian (secara tidak langsung) meninggikan harga jual mahasiswa di dalam konstalasi
perpolitikan negeri.
Jika
kita mencoba mengingat bagaimana gerakan mahasiswa dengan gagah dan berani berkumpul
mejadi satu untuk mengecam pemerintahan yang katanya sudah tidak lagi
bersahabat dengan rakyatnya, dengan segenap harapan yang dipertaruhkan serta suara-suara
pinta yang diletakkan di pundak mahasiswa, nampak layak bila mahasiswa digelari sebagai
garda terdepan bagi masyarakat, atau mengutip pernyataan dari Soekarno “penyambung
lidah rakyat”.
Sampai
akhirnya cerita panjang orde baru pun berakhir, beberapa mahasiswa berkalang
tanah sebagai taruhannya, kemudian banyak peristiwa-peristiwa yang sampai saat
ini masih menjadi teka-teki dan menjadi teriakan dalam aksi-aksi demonstrasi,
seperti Marsinah, Wiji Thukul, serta belasan mahasiswa yang sampai saat kamisan ke
300-an belum juga pulang ke rumahnya.
Ketakutan
akan ketidakseimbangan keadaan negara pasca keruntuhan orde baru seolah tak
pernah terasa bagi gerakan mahasiswa yang sudah terlanjur merasa bangga dan puas
atas hal yang mereka anggap kemenangan itu.
Sekali
lagi, 98 menorehkan kisah pelik dalam sejarah perjalanan gerakan mahasiswa
Indonesia. Sebagian
mahasiswa mati tertembus peluru keangkuhan aparat negara dan sebagiannya lagi mencoba
melacurkan diri ke kancah politik parlementariat setelah nilai jualnya
ditinggikan atas peristiwa tersebut, kita berdoa saja semoga pejuang reformasi
yang gugur di tahun 98 agar tenang setenang kawanannya yang kini berkawan dengan aparat
yang menembakinya dahulu.
Memandang Gerakan Mahasiswa Kekinian
Dari
era orde lama, orde baru sampai kepada reformasi, banyak kisah dan cerita yang
telah dituliskan sebagai sejarah silam gerakan mahasiswa di Indonesia. Tetapi
puncaknya di masa peralihan orde baru ke reformasi di mana kita ketahui mahasiswa
turut andil dalam perubahan sosial yang bergulir, dengan kata lain mahasiswa bisa termasuk “elit”
dimana pergerakan yang dibuatnya tidak lebih untuk melakukan transisi dari politik
jalanan hingga politik parlementariat.
Ketika
itu, negara Indonesia yang belum menggunakan sistem pemilu atau sistem
pemilihan langsung, jelas keberpihakan mahasiswa yang bergerak masih dalam
koridor kepentingan rakyat, dengan ketakutan terlibatnya mahasiswa dalam
gerakan separatisme politik yang pada
dasarnya hanya berkepentingan untuk pencapaian kekuasaan saja.
Mencoba
melihat dan mengevaluasi gerakan mahasiswa, yang kita dapati ialah point yang dipaparkan di beberapa
paragraf
sebelumnya, bahwasanya gerakan mahasiswa (saa ini) hanya bersifat sebagai
penopang laju politik individu-individu untuk masa tuanya ketika gelar
“mahasiswa” tidak lagi mengikat dirinya.
Kita
bisa melihat jelas bahwa adanya pergeseran nilai dan kultur gerakan mahasiswa
yang terjadi saat ini. Keputusasaan terhadap idealisme membuat mahasiswa yang dulunya sibuk dengan diskusi dan
aksi, kini menghamba dan terjebak pada argumentasi “jika ingin melakukan perubahan politik yah harus masuk ke dalam ruang
politik dong”, argumentasi pembenaran yang telah lebih dahulu terbantahkan
sebelum diucapkan.
Kemunculan
partai politik baru di kancah perpolitikan negeri juga
menjadi angin segar bagi aktivis-aktivis kampus yang telah lelah dengan
ke-aktivis-annya, seolah masih ada corong politik yang bisa menampung dirinya
untuk melacur sebagaimana senior-seniornya telah lakukan lebih dulu.
Selanjutnya, pemodal di partai politik baru ini pun melihat jelas keresahan
mantan aktivis kampus yang tengah kelaparan ini, olehnya buah pikir dan gagasan-gagasan
kritisnya pun menjadi sebuah magnet yang kemudian menarik pemodal partai untuk
menampungnya, sebaliknya mantan aktivis mahasiswa pun memang telah menyerah
dengan idealism yang di anut semasa berpolitik di jalanan.
Sebenarnya
tidak ada yang salah dari langkah dan pilihan itu, toh semua orang atau bahkan
organisasi berhak memutuskan strategi taktiknya dalam berpolitik, apakah
bertahan dengan menganggap bahwasanya belum ada kendaraan politik yang
benar-benar bervisi kerakyatan atau kah mencelupkan dirinya didalam
kubangan hitam dengan keyakinan awal “tenang
saja ! saya tidak akan kecebur kok” keyakinan yang sama saja ketika kita
berada di dalam kolam yang berisi air kemudian berucap “saya tidak basah kok”.
Selanjutnya,
yang menjadi persoalan ialah soal track
record dan wadah yang ia tempati semasa menjadi aktivis kampus, metode
pendidikan dan lingkungannya pun ikut menjadi faktor yang mempengaruhi, artinya apa
yang ia yakini sebagai dasar idealismenya dan apa yang ia perjuangkan sebagai pertaruhan
hidupnya.
Pilpres
2014-2019 kemarin memberikan bukti konkret bagaimana gerakan mahasiswa terlibat
sebagai komoditi yang bernilai jual tinggi di dalam political market, tak hanya itu dari rentetan isu yang ada setelahnya pun
melibatkan gerakan mahasiswa sebagai kelompok yang tidak lagi menjadi kelompok
non klas yang mendeklir keberpihakan klasnya.
Tetapi, bagaimana pun
menyedihkannya gerakan mahasiswa pasca reformasi, tetap ada individu atau
kelompok yang terus berbenah diri, meng-up grade secara kontinyu strategi taktik politik
jalanannya.
Bagaimana
pun kondisi gerakan mahasiswa zaman now
ini, saya yakin masih ada secerca harapan yang mampu menjadi penggugah untuk
mengembalikan kultur alamiah gerakan dengan tidak mudah melacurkan diri ke
partai-partai borjuasi.
Penghianatan-penghianatan
yang mendalam terhadap gerakan mahasiswa, ketidakwajaran yang sudah atau sedang
dilakukan mahasiswa dalam bertransisinya ideologi kepada kepentingan kekuasaan kemudian
membuat rakyat Indonesia bingung untuk mengambil sikap apakah tetap meletakkan
harapan nasibnya di forum-forum diskusi mahasiswa atau kah hanya bersikap nerimo saja bagaimana Negara
memperlakukannya.
Kembali
ke soal gerakan mahasiswa dan politik parlemetariat, seperti dibukunya M Alvan Alvian (wawasaan kepemimpinan
politik) yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa sejak sekitar abad 19 terakhir
sudah mengaitkan
dirinya ke dunia politik, selanjutnya ketika sesudah tumbangnya Soeharto, para
aktivis gerakan mahasiswa itu menjadi motor partai-partai politik dan aktor-aktor
politik dominan di Indonesia.
“kalangan aktivis dan organisatoris ini
menjadi ruling elite baru, mengantikan
kalangan militer sesudah Soeharto tumbang. Secara perubahan jelas nihil atau
sama saja dengan yang sudah-sudah”
AI. Said (Calon Mahasiswa yang
Diperbaharui)
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.