Langit Hiralia begitu cerah sore ini, senja belum jua tiba, angin laut dan gemuruh ombak menghantam bebatuan karang menyambut kita, kala sedang berkunjung ke Pantai Kinanga untuk kesekian kalinya.
Aku duduk di batangan pohon yang
entah dari mana asalnya di bawa ombak laut, lantas kau berjalan pelan ke bibir
pantai, kaki kecilmu tersapu ombak kecil, ikan-ikan berlompatan di pinggiran
seolah tengah menyambut sang ratu.
Saat temaram sudah mulai menggerayangi, kau masih
enggan berlalu dan pergi. Kemudian kau mengajakku ke muara di arah selatan
pantai Kinanga. Air tenang muara setenang dirimu dihinggapi bahagia, walau ku
tahu di dalamnya ada luka lama yang belumlah pulih.
Seketika malampun tiba. Kita semakin larut, kerlap-kerlip lampu nelayan menambah keindahan malammu,
gemerlap kota Hiralia terlihat seperti fatamorgana di arah barat dari tempat
kita bercumbu.
***
Tepi muara telah menjadi penyaksi
saat bulan tepat di ubun-ubun, aku dengan pejaman mata membekaskan kecupan
tepat di keningmu, lantas kau membalasnya dengan senyum merekah sembari
berbisik, "Aku sayang kamu".
Sekoci tua berlabuh di tepian, di
atasnya sebotol bir, setangkai mawar tanpa duri, dan selingting tembakau kering
siap bakar, semua merayu untuk memesrahimu lebih khidmat, syahdu, sayup.
Beberapa dayungan kita tiba di pertengahan, air tenang
tak menakutimu, kau mabuk Dita, mabuk oleh cintaku.
Saat bulan masih terang di tempatnya, kubaringkan
pelan kepalaku di pangkuanmu, aku terperjam tapi tak terlelap. Kau usap pelan
rambut hitamku, kemudian berucap, "Anwar, nyanyikan aku lagu anak-anak agar
aku bisa mengajari anak-anak kita kelak, yang bahkan telah lahir lebih dahulu
dalam anganku".
***
Fajar sudah mengisyaratkan hadirnya terang. Senin pagi
sudah menjemput, rutinitas seperti biasanya telah menanti, kau membangunkanku
yang hampir terbawa malam sembari berucap pelan, "sayang, bangunlah terang akan menyapa". Lalu, kulabuhkan perahu kecil itu, dan kugandeng
engkau beranjak dari tubuhnya.
Kita larut semalaman, Bersama muara yang tenang tak
berisik, beserta semesta yang menjaga kita. Saat kulihat perapian
yang mulai redup
ditepian tersapu angin
pagi dikesunyian. Kemudian aku memelukmu erat.
Erat semakin erat, birahiku memuncak sementara fajar
memerah di garis cakrawala, kau mendesah, aku pun semakin mabuk dan tak
terkendali. Kita merebah di atas semak belukar bercampur pasir tepian muara.
Fajar yang memerah itu menjadi penyaksi peristiwa kita
pagi itu. Kau semakin terdesak oleh tubuhku, kau semakin mendesah oleh nakal
lidahku yang menggeliat mesrah di kaki-kaki lehermu.
Peristiwa itu pun berakhir bersama fajar yang mulai
tersapu langit putih pekat. Kau mengerang dan selanjutnya menghela nafas dengan
senyuman.
***
Setelah pagi sudah semakin menua, aku mengantarmu
pulang. Kita Kembali menyusuri kota Hiralia yang sepertinya akan turun hujan.
Setibanya di rumah, A’ba menanti tanpa senyuman, pikirku kita akan dimarahinya,
tapi dugaanku salah. A’ba merangkulmu seolah ayah yang baru bertemu dengan
putrinya kembali setelah sekian mentari berlalu.
Kudengar A’ba bertanya padamu, “dia siapa ?”, tanyanya yang sembari melihatku. Aku yang masih
berdiri malu dan sedikit takut di dekat motorku menunggu jawabmu. “oh dia Anwar
A’ba, dia sahabatku, tenang saja, jika aku pergi bersamanya aku pasti
dijaganya”, katamu
menjelaskan tentangku dengan senyuman dan sesekali melihatku.
Singkatnya, setelah berpamitan, aku
pun berlalu meninggalkan rumahmu, Kembali ke Kota Hiralia yang tentu setumpuk
kesibukan lain siap menyambutku. Di perjalanan aku teringat jawabanmu saat
ditanyai A’bamu. Pikirku tidaklah mengapa, biarlah aku menjadi sahabatmu, pun
jika tak akan ada cinta untukku. Setidaknya aku telah menidurimu pagi tadi,
menelanjangimu dengan mesrah, walaupun hanya dalam imajiku, aku Bahagia.
A. I. Said
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.