Zaman sekarang adalah zaman yang penuh paradoks dari abad Sains dan Teknologi, dan abad kecemasan. Manusia modern, seperti kisah-kisah yang sering dilaporkan dalam buku-buku psikologi bahkan film dan drama TV, menghadapi persoalan makna hidup, karena tekanan yang amat berlebihan kepada segi keterikatan terhadap peristiwa tragis dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
Kehidupan sosial manusia ditentukan oleh pilihannya.
Menurut Erich Fromm antara pilihan kembali kepada Eksistensi yang alamiah (Pra-manusiawi) atau mengembangkan diri hingga manusia mencapai eksistensi dirinya yang lebih manusiawi, tiap pilihan akan mengarah pada pada dua kemungkinan dan tentu saja menimbulkan implikasi masing-masing
yang berbeda.
Di sisi lain, Kembali pada pilihan pra-manusiawi membuat manusia mengalami kemunduran mental, dan
sebaliknya, berarti kita menyempurnakan kemanusian. Menjadi manusia berarti menjalin hubungan sesama dan dunia.
Menjadi manusia berarti tidak hanya ada dalam dunia, tetapi ada bersama dunia. Ibaratnya dalam kodrat manusia yang pra-manusiawi,
manusia di tuntut untuk memuaskan kebutuhan badannya dengan sepuasnya. Tetapi dalam kodratnya yang manusiawi,
ia lebih di
tuntut untuk mengembangkan kualitas-kualitas kemanusiaannya yang
sejatinya mengarah pada kesempurnaan diri.
Maka dari itu, sebagai manusia ia perlu mencari arti
eksistensinya, yang akan memberikan kepadanya apa yang disebut ‘makna hidup’ (the meaning of life). Pencarian makna hidup berarti berusaha menemukan pemecahan masalah yang muncul atas setiap ketegangan eksistensi. Persoalan ini pada hakikatnya adalah sumber pertumbuhan pada dirinya,
yang akan memberikan kekuatan sebagai manusia. Tetapi di sisi lain paradoksnya proses di
atas juga menjadi sumber nafsu-nafsu afeksi dan kecemasan.
Cinta atau Narsisme
Jika kita katakan sejak timbulnya kesadaran, manusia mengalami keterpisahan dari hubungan primer dangan alam, maka manusia sebenarnya terdampar dalam kesendirian. Usaha
mengatasi situasi kesendiriannya itu, dilakukan dengan mencari jalan ‘persatuan’ baru, agar keterpisahan eksistensial yang amat menakutkan itu dapat diatasi. Hal ini bisa di lakukan dengan dua kemungkinan, yaitu:
Pertama, penyatuan diri dengan dunia, seperti ketundukan dan penyesuaian diri pada pribadi tertentu, pada suatu lembaga, kelompok, dan
bahkan juga pada Tuhan. Manuisa mencari jalan penyatuan dengan cara ini, berusaha menjadi bagian dari orang lain, sehingga keutuhan eksistensinya lenyap.
Baca Esai Lainnya Di Sini
Kedua, dengan cara ‘mendominasi’ orang lain, sehingga sesamanya menjadi bagian dari dirinya. Kondisi ini pun menyebabkan keutuhan pribadi dapat hilang.
Cara penyatuan dapat disebut symbiosis, yaitu usaha melakukan hubungan antara organism atau kelompok yang berbeda dengan ‘saling menguntungkan’. Tetapi, kedua cara mengatasi problem
eksistensial tersebut, justru tidak memecahkan masalah keterpisahan manusiawi, karena keduanya merupakan upaya menghancurkan keutuhan diri, yang dalam Bahasa
Sigmund Freud disebut narsisme; di mana realitas di luarnya-pribadi dan benda benda-, hanya mempunyai arti dalam hubungannya sebagai yang memuaskan dalam dirinya sendiri.
Jika Freud mengatakan bahwa narsisme merupakan bentuk hubungan yang paling
banyak mewarnai hubungan pribadi, maka hal itu adalah fenomena kepribadian yang regresi.
Pribadi yang tumbuh tidaklah ditandai dengan regresi, tetapi dengan cinta. Melalui cinta manusia dapat mengatasi problem
eksistensial secara rasional. Cinta yang mewujud dalam kata ‘ke-kita-an’ atau dalam bentuk ‘cinta persaudaraan’ adalah sebuah bentuk hubungan interpersonal
yang paling fundamental, karena menyangkut rasa tanggung jawab, perhatian respek atau hormat pada setiap makluk manusiawi lainnya, dalam keinginan mamajukan hidupnya yang bersumber
pada afeksi murni, rasionalitas dan daya produktifitas.
Karena cinta, duri menjadi mawarKarena cinta, cuka menjelma menjadi anggur segarKarena cinta, pentungan menjadi mahkota penawarKarena cinta, kemalangan menjelma keberuntunganKarena cinta, rumah penjara tampak bagaikan kedai mawarKarena cinta, tumpukan debu tampak sebagai tamanKarena cinta, api yang berkobar-kobar jadi cahaya yang menyenangkanKarena cinta, setan berubah jadi bidadariKarena cinta, batu yang keras menjadi lembut bagai mentegaKarena cinta, duka menjadi riang gembiraKarena cinta, hantu berubah menjadi malaikatKarena cinta, singa tak menakutkan seperti tikusKarena cinta, sakit jadi sehatKarena cinta, amarah berubah menjadi keramah-tamahan
Jadi, cinta seperti terefleksikan dalam bait puisi Jalaluddin Rumi di atas,
adalah kekuatan produktif. Gagal dalam cinta ini berarti narsisme, karena berorintasi pada ketidak produktifan dan egoisme.
Memang ada acara lain untuk mendapatkan penyatuan
yang tidak narsistik, misalnya penyatuan yang dicapai dalam kerja produktif
yang tidak bersifat antar pribadi, penyatuan yang dicapai dalam panduan yang
gila-gilaan dan bersifat sementara, dan penyatuan yang dicapai dengan penyesuaian.
Tetapi, semua penyatuan ini hanya merupakan penyatuan semu. Oleh sebab itu, hanya merupakan jawaban yang bersifat sebagian terhadap eksistensial. Sehingga,
jawaban sepenuhnya terletak dalam mencapai penyatuan antara pribadi. Yakni, penyatuan melalui perpaduan dengan pribadi lain dengan cinta.
Adam
si anak lorong, penulis bisa dihubungi melalu IG @aadm_ail
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.