Tidak Ada Manusia Berwajah Malaikat di Hadapan Seks

Hanya malaikat yang mustahil melakukan dosa karena konon mereka tidak memiliki hasrat selain rasa cintanya kepada Tuhan. Sayangnya, manusia tidak bisa bertransformasi menjadi malaikat. Kalau meniru, itu keahlian manusia. Namun tiruan tidak pernah menjadi paripurna.

Tersebutlah Ibrahim Malik, alumni mahasiswa di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang sempat mendapat gelar mahasiswa berprestasi sebelum akhirnya dicabut karena banyaknya aduan korban kekerasaan seksual. Konon katanya, pelaku memiliki perangai ‘adem’ idaman para ukhti. Terlebih dia pun sering mengisi seminar motivasi berbau islami dan prestasi akademik.

Saya membayangkan andai Ibrahim Malik mengisi curriculum vitae untuk ta’aruf sebelum kasus ini muncul. Tebak sendiri bagaimana reaksi kandidat ta’aruf terhadap CV itu diperebutkan, saya cemas akan ada ‘rahim anget’ dalam narasi yang lebih islami, misalnya ‘rahimku siap dihalalkan’.

Tidak hanya sekali, kasus-kasus serupa juga pernah mencuat beberapa tahun belakangan: guru ngaji memperkosa muridnya, guru pesantren melakukan pelecehan kepada santri-santrinya, atau pendeta melakukan pelecehan kepada jamaatnya. Teman saya, seorang guru yang mengajar di aliyah (sederajat sekolah menengah umum) mengakui bahwa ia menerima laporan dari muridnya tentang perbuatan teman sejawatnya. Salah satu guru agama telah mengirim gambar tidak senonoh, dilengkapi dengan kalimat yang mengarah ke hubungan seksual selama pandemi Covid-19 ini kepada muridnya.

Banyak kasus yang melibatkan pemuka agama atau pribadi dengan identitas ‘agamis’ melakukan kekerasan seksual. Hal ini semakin membuktikan bahwa menerka siapa saja yang akan menjadi pelaku adalah pekerjaan sulit. Mereka tidak memiliki ciri khas tersendiri apalagi kalau dinilai dari sampulnya. Pelaku bisa dari kalangan apa saja, tidak mengenal status sosial. Tidak pula mengenal perangai mana yang cenderung akan melakukannya, yang terlihat polos, bajingan, santun, ramah, atau agamis sekali pun.

Terlihat agamis bukan berarti mereka terlepas dari hasrat ingin mendominasi pihak yang dianggap lemah, sebut saja perempuan. Ini bukan soal libido yang tidak bisa dikendalikan. Apalagi soal orientasi seksual yang beragam. Laki-laki dan perempuan atau gender lainnya sama-sama memiliki hasrat seksual yang kesemuanya bisa dikendalikan. Maka sungguh mengherankan jika hasrat tersebut selalu dijadikan alasan kenapa seseorang cenderung  melakukan kekerasan seksual kepada perempuan.

Banyak pemuka agama yang mengajarkan bahwa sebaiknya perempuan menempatkan dirinya secara ikhlas sebagai inferior demi keseimbangan berpasangan. Dengan kata lain, agar mereka lebih sering bergantung kepada laki-laki sehingga peran keduanya bisa berjalan mulus. Tidak lupa dengan ganjaran pintu surga yang menantinya. Kemuliaan seorang perempuan tergantung bagaimana mereka patuh kepada laki-laki, begitu katanya. Pemuka agama tipe ini mendikte ide-ide untuk mengoptimalkan kekuasaannya terhadap perempuan agar lebih mudah dimanipulasi untuk memenuhi hasratnya sebagai pemimpin.

Beberapa waktu lalu pun, seorang penulis yang sayangnya juga seorang perempuan membangun narasi yang justru melemahkan kaumnya, “Jangan mandiri! Perempuan harus manja.” Tunjukkan sisi terlemah sehingga superioritas laki-laki bisa menonjol. Perempuan harus siap dibimbing, laki-laki sudah ditakdirkan menjadi pemimpin bagi perempuan. Padahal pemimpin bukan perkara jenis kelamin, melainkan kapasitasnya.  

Ketika kasus Ibrahim Malik muncul, muncul pula narasi pembela agama yang mengatakan bahwa tidak sepatutnya ‘identitas’ pendakwah, uztaz, atau yang berbau agama lainnya diberitakan di media. Alasannya, sama saja melukai kesucian agama secara umum. Sedikit banyaknya pembelaan tersebut bisa dibenarkan ketika sikap menggeneralisir bahwa semua pemuka agama melakukan kekerasan seksual.

Namun sikap kehati-hatian seperti itu justru malah terkesan menyembunyikan realitas yang terjadi. Lihat saja kasus yang melibatkan anak pondok pesantren di Jombang (https://tirto.id/duduk-perkara-skandal-kasus-kekerasan-seksual-di-pesantren-jombang-exjo), tersangka pelaku disembunyikan oleh keluarga dan masyarakat setelah seorang santri melaporkan pencabulan terhadap dirinya kepada badan hukum. Penampilan agamis terlalu memikat orang banyak sehingga mereka tidak lagi bisa berpikir secara rasional. Sikap menyangkal terjadi karena kepercayaan pada pemuka agama ini terlalu berlebihan.

Ibrahim Malik menggunakan kuasanya sebagai orang yang berpengaruh di lingkungan dakwah. Agama dan kuasa adalah gabungan yang sangat mumpuni untuk memperdaya. Selain digunakan untuk menuntaskan hasrat penaklukkan, relasi kuasa juga menyebabkan banyak korban tidak melaporkan kejadian yang dialaminya. Kemungkinan yang terjadi karena malu atau takut jika orang lain (kalau boleh dikata ‘jamaah’) tidak akan percaya atas laporannya karena mengingat Ibrahim Malik dikenal sebagai laki-laki yang sangat agamis.  

Melihat pelaku kekerasan seksual tidak mengenal identitas yang melekat pada seseorang, maka wajah-wajah agamis tidak perlu diglorifikasi. Toh mereka adalah manusia biasa bukan malaikat tak bersayap. 

Mega S. Haruna

1 Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama