Marx-Engels |
Peradaban dunia hari ini pastinya dilandasi atas sebuah peristiwa historis
yang tak kalah penting juga untuk diketahui, bahkan sebenarnya harus kita
ketahui. Sejatinya,
segala sesuatu yang ada di dalam ruang dan waktu pasti mempunyai
sebab musabab atau asal-usul yang kemudian melandasi gerak basis
materil tersebut.
Berbicara soal historis masyarakat dunia, ada banyak hal yang sering kali luput dari para pengkaji,
adalah sebuah kekeliruan jika menafikan klas-klas didalam satu kelompok
masyarakat. Serta konflik-konflik yang mereka alami, Karena pada dasarnya
sejarah manusia adalah sejarah perjuangan klas.
Perkembangan sosial yang kita lihat hari ini, banyak menuai
asumsi pro dan kontra terhadap apa yang menjadi out-put baginya. Kritik sosial
bermunculan namun belum ada sama sekali yang mampu membongkar dan menjawab
sesegera mungkin persoalan demi persoalan di muka bumi ini. Jika kita melihat
dunia hari ini yang begitu sempurna dalam pandangan, mengapa demikian karena dunia hari ini
akan memberikan semua yang kita inginkan. Pertanyaan yang muncul kemudian
ialah, apakah dunia akan merespon baik permintaan dari semua orang yang mengisi
bumi ini ? jelas tidak ! dunia harus memilih berpihak dengan siapa, dan
menghamba kepada siapa.
Disertasi sejarah masyarakat dunia yang telah di paparkan Marx-Engels dalam tulisan-tulisannya,
akan kami paparkan kembali sebagai tugas
seorang kader dengan
singkat dan bahasa yang semoga mudah untuk di pahami oleh semua kalangan dan elemen
masyarakat. Namun
mengapa tulisan ini harus di baca oleh semua orang, bukan hanya para pegiat
keilmuan, akademisi, aktivis, tapi juga kalangan yang bahkan tak tersentuh oleh
pendidikan hari ini sehingga mampu mengetahui mengapa ia di sebut sebagai
manusia, mengapa ia di sebut sebagai penganggur yang tak berpendidikan, bahkan
mampu menjawab persoalan tentang pendidikan di negerinya yang tak terjangkau
bagi dirinya.
Pada dasarnya “ketidakpuasan” manusia adalah kebohongan kuasa semata, ia dicipta menjadi
sebuah budaya yang mengakar didalam kepala manusia, bahkan menjadi paradigma
satu kelompok masyarakat. Manusia tetap menjadi yang mulia ketika ia mampu
memberikan batasan terhadap apa yang ia butuhkan dan apa yang ia inginkan, dan
sekali lagi itu bukan soal moral dan norma-norma dalam masyarakat, melainkan
lebih kepada pembongkaran mitos “miskin dan kaya”. Persoalan Sandang Pangan Papan yang
seharusnya manusia dapatkan atau peroleh secara baik dan untuk kepentingan yang
baik pula telah di atur dalam beberapa sudut pandang keilmuan. Keserakahan
manusia didasari system yang melahirkan kultur konsumtif, karena pada
sejatinya masyarakat abad 21 adalah masyarakat konsumtif, masyarakat yang
terpaksa menjadikan diri dan lingkungannya sebagai komoditi yang dinilai tidak
dari nilai gunanya tapi dari nilai jualnya.
Dalam ilmu sosial telah diatur bahwa yang menjadi basis kehidupan
manusia ialah Sandang Pangan Papan atau disbut juga kebutuhan primer, dan
hal-hal lain yang berupa hal materil lainnya seperti harta dan tahta hanya
bersifat kebutuhan sekunder.
Ada seorang ilmuan yang mengatakan bahwa manusia merupakan
hewan yang berakal. Mengapa demikian, Manusia memiliki tiga komposisi yang
harus ada, yaitu aqli/akal, jasmani, dan rohani. Jika tanpa akal manusia sama
halnya hewan. Jasmani dan rohani memiliki ransangan yang dengan pertimbangan
akal maka ransangan itu akan di respon atau tidak. Makan adalah salah-satu
contoh ransangan dari dalam terhadap jasmani dan juga merupakan basis kehidupan
bagi manusia, jika manusia tidak makan atau merespon ransangan itu, maka akan
menyebabkan kematian. Sebaliknya kecintaan terhadap suatu benda merupakan
ransangan dari luar terhadap rohani yang jika tidak di respon maka tidak akan
menyebabkan hal-hal yang signifikan terhadap kelangsungan hidup manusia.
Namun kenyataannya pada saat ini, semua seakan diputar
balikkan. Kebutuhan sekunder terkadang di jadikan kebutuhan primer, dan
kebutuhan primer terkadang di jadikan kebutuhan sekunder. Itulah yang membuat
kesesatan yang ada pada diri manusia saat ini. Karena batasan kepuasan
yang tak mampu lagi dipertahankan.
Namun apa yang menyebabkan semua itu, itulah yang harus kita
jawab. Apakah hanya Agama yang mampu menjawab itu atau justru ilmu sosial juga
mampu menjawab tuntas mengenai hal tersebut. Agama dan dasar ilmiah sebenarnya sama-sama mampu menjadi dasar
dalam pembongkaran suatu perkara. Namun pada tulisan kali ini kita akan
mengkaji lebih dalam dengan Filsafat Sosial. Jika kita mengatakan bahwa yang
menjadi akar dari permasalahan ini adalah Akhlak dan Moral manusia yang telah
hilang, mungkin jawabnya seperti ini, Akhlak dan moral adalah
hal yang bersifat abstrak, semua orang punya persepsi atas batasan-batasan
tersebut, batasan yang dibuat oleh manusia secara individu dipengaruhi oleh
kesadaran yang dibangun atas kontradiksi basis material atau lingkungan
sekitarnya.
1.
Bangkitnya Kesadaran Manusia
Enam juta tahun lalu,
muncullah salah satu atau beberapa spesies kera purba yang bertaring kecil, struktur
tulang yang lebih sesuai untuk berjalan tegak dan struktur ibu jari yang dapat
berputar ke segala arah. Struktur tubuh seperti ini tidak cocok untuk kehidupan
kera yang lazim, yakni di atas pohon (arboreal). Maka, untuk bertahan hidup,
kera-kera purba yang bertaring kecil ini pun turun dari pepohonan dan memulai
pola kehidupan dataran (terestrial). Taring kecil itu memungkinkan hubungan sosial
yang kurang agresif dalam kelompok-kelompok ini – satu kondisi yang
memungkinkan terbangunnya kerjasama. Struktur tubuh yang berdiri tegak ini memungkinkan
dua hal: terbebasnya tangan dari keharusan menopang tubuh, dan struktur tenggorokan
yang lebih lentur untuk menghasilkan bunyi-bunyi yang lebih distingtif (dapat
dibedakan satu dari lainnya). Setelah tangan terbebas dari keharusan menopang
tubuh, struktur ibu jari yang lentur itu dapat digunakan untuk melakukan genggaman
yang presisi. Genggaman yang presisi ini dapat dimanfaatkan untuk menggunakan
alat secara baik sekali.
Dari kondisi yang
kelihatannya tidak menguntungkan (taring kecil, harus turun dari pepohonan),
kera-kera purba ini mampu membalik situasinya dengan strategi bertahan hidup
yang tepat. Tentu saja mereka tidak “memikirkan” strategi ini, melainkan hanya
bereaksi terhadap tekanan keharusan bertahan hidup itu. Kemampuan bekerja sama
dan penggunaan alat ini mendorong terus perkembangan nenek-moyang Manusia ke
arah ketergantungan pada alat. Selama berjuta tahun, alat-alat ini semakin
disempurnakan oleh pengalaman penggunaannya. Seiring dengan penyempurnaan
alat-alat ini, otak nenek-moyang kita itu semakin membesar – terutama karena
banyak fungsi-fungsi baru yang dibutuhkan dalam proses penyempurnaan alat itu.
Fungsi-fungsi baru yang muncul dengan kuat pada nenek-moyang kita itu adalah
kemampuan berbahasa dan kemampuan berencana. Perkembangan ini membawa jalur
evolusi Manusia ke arah pembuatan alat. Manusialah satusatunya mahluk hidup di
muka bumi ini yang membuat alat. Inilah kunci pokok yang membedakan jalur
evolusi Manusia dengan jalur evolusi mahluk hidup lain di seantero planet ini.
Pembuatan alat adalah strategi Manusia untuk bertahan hidup di atas dunia.
Dengan kata lain: kemampuan berproduksi. Maka, setelah jalur evolusi ini
menghasilkan Manusia modern (kira-kira dua juta tahun lalu), spesies yang
disebut Homo sapiens, proses produksi menjadi penentu perkembangan
masyarakatnya untuk seterusnya. Dari mulai pengumpulan, pengolahan, distribusi,
transportasi, dan administrasinya – semua ini adalah bagian dari proses
produksi itu. Dan di sinilah teknologi memainkan peran penting, karena teknologi
melahirkan teknik baru maupun alat-alat baru. Perkembangan teknologi fisik
maupun sosial inilah yang akan menentukan bagaimana Manusia bertahan hidup.
Inilah strategi bertahan hidup spesies yang kita kenal sebagai Manusia.
Sejaraha
masyarakat dunia secara umum di petakaan dalam beberapa fase kehidupan seperti:
Masyarakat Komunal
Primitif
Masyarakat komunal
primitive adalah kelompok masyarakat yang pertama lahir didunia, disebut
komunal karena system ekonomi yang diberlakukan adalah system ekonomi komune-yang
mengedepankan kolektivitas dan gotongroyong, dan mengapa disebut primitive
karena alat kerjanya yang masih primitive.
Walaupun pada mulanya hidup masyarakat komunal
berpindah-pindah atau nomad, tapi masyarakat komunal menekankan agar alat kerja
dimiliki secara komune atau bersama-sama, begitupun kerjanya hingga pembagian
hasil yang dibagi menurut kebutuhan masing-masing anggota komune.
Bersambung....
Di Ulas Oleh : Fazlul R. Zain & Mirda Dheni
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.