Sejarah Perkembangan Kapitalisme di Indonesia Part 1 |
“Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi bahwa produksi kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung kehidupan manusia dan, di samping produksi, pertukaran barang-barang yang diproduksi, merupakan dasar dari semua struktur masyarakat; bahwa dalam setiap masyarakat yang telah muncul dalam sejarah, cara kekayaan didistribusi dan cara masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas atau tatanan-tatanan bergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana itu diproduksi, dan bagaimana produk-produk itu dipertukarkan. Dari sudut pandang ini, sebab-sebab akhir dari semua perubahan sosial dan revolusi-revolusi politis mesti dicari, tidak dalam benak-benak manusia, tidak dalam wawasan manusia yang lebih baik akan kebenaran dan keadilan abadi, tetapi di dalam perubahan-perubahan dalam cara-cara produksi dan pertukaran. Itu semua mesti dicari, tidak dalam filsafat tetapi di dalam perekonomian satu epos tertentu.” (Engels, Anti-Duhring)
Sejarah
Indonesia dan perubahan-perubahan sosial di dalamnya tidak dapat dipahami
sepenuhnya tanpa melihat ke dalam perubahan-perubahan ekonomi yang telah
dilaluinya di setiap tahapan. Sejarah Indonesia adalah satu sejarah yang
terhubungkan secara dekat dengan perkembangan kapitalisme semenjak kelahirannya
di abad ke-16. Oleh karena itu, untuk memahami kapitalisme di Indonesia
sekarang ini, kita harus kembali sejauh jaman kolonial Belanda. Secara umum,
kita dapat membagi tahapan sejarah Indonesia seperti berikut: koloni Belanda
(1600-1945), perjuangan kemerdekaan (1945-1949), Orde Lama (1949-1965), Orde
Baru (1965-1998), dan Reformasi 1998 dan sesudahnya (1998-sekarang)
Indonesia
dan Kolonialisme Belanda
Sampai awal
abad ke-20, tidak ada yang namanya Indonesia seperti dalam pengertian sekarang.
Yang ada adalah sekelompok pulau antara sub-benua India dan Australia yang
tersatukan secara longgar oleh ikatan kolonialisme Belanda. Kata “Indonesia”
pertama kali digunakan sekitar tahun 1850 oleh para peneliti Inggris yang
menganjurkan penggunaannya sebagai penamaan geografi, dan bukan sebagai rujukan
bangsa-negara. Hanya pada awal tahun 1920an nama Indonesia mendapatkan arti
politik. Sebelumnya, seluruh daerah yang mencakup Indonesia masa kini disebut
sebagai Hindia Timur Belanda.
Semenjak
penjajahan Belanda terhadap Indonesia, nasib Indonesia telah terhubungkan
dengan perkembangan kapitalisme dunia. Oleh karena itu kita perlu menggunakan
periode ini sebagai titik tolak analisa kita. 350 tahun kekuasaan Belanda atas
Indonesia dapat dibagi menjadi tahapan-tahapan ekonomi sebagai berikut:
a. Periode
V.O.C (1600-1800)
b. Periode
“Kekacauan” dan “Ketidakpastian” (1800-1830)
c. Sistem
Tanam Paksa (Cultuurstelsel) (1830-1870)
d. Periode
Liberal (1870-1900)
e.
Tahun-tahun Etis (1900-1930)
f. Depresi
Hebat (1930-1940)
Tahapan-tahapan
ini bersesuaian dengan perubahan-perubahan administratif, sosial, dan politik
di Indonesia, Belanda, dan seluruh dunia. Oleh karena itu mustahil untuk
mempelajari perkembangan ekonomi dan politik Indonesia terpisah dari Belanda
dan Eropa. Pecahnya revolusi di Eropa (Pemberontakan Belanda, Revolusi Inggris,
Revolusi Prancis, dan lalu Revolusi Rusia) mengubah jalannya sejarah di
Indonesia.
Indonesia
dan Revolusi Belanda
Sejarah
kolonialisme di Indonesia adalah sejarah eksploitasi kapitalis imperialis.
Bahkan yang lebih penting untuk dimengerti adalah bahwa penjajahan di Indonesia
adalah yang pertama kali dilakukan oleh kaum borjuasi. Tidak dikenal dan
dilupakan oleh kebanyakan kaum Marxis, revolusi borjuis yang pertama terjadi di
Belanda dan bukan Inggris. Pemberontakan Belanda pada abad ke 16 (1568-1609)
mungkin adalah revolusi borjuis “klasik” yang paling terabaikan. Walaupun Marx
dan Engels hanya menulis beberapa kalimat yang terpencar-pencar mengenai
Pemberontakan Belanda, jelas bahwa mereka mengakuinya sebagai salah satu momen
penting dalam kebangkitan borjuis yang historis. Pada tahun 1848, Marx menulis
“Model dari revolusi 1789 [Prancis] adalah revolusi 1648 [Inggris]; dan model
untuk revolusi 1648 hanyalah pemberontakan Belanda melawan Spanyol
[Pemberontakan Belanda].”[1]
Lagi di
volume pertama Kapital, Marx menulis:
“Sejarah
administrasi koloni Belanda – dan Belanda adalah model negara kapitalis di
abad ke-17 – adalah ‘salah satu sistem pengkhianatan, penyuapan,
pembantaian, dan kekejaman yang paling hebat.’ Tidak ada yang lebih
karakteristik daripada sistem penculikan mereka, guna mendapatkan budak-budak
dari Jawa. Para penculik dilatih untuk ini. Sang pencuri, penerjemah, dan
penjual, adalah agen-agen utama dalam perdagangan ini, sang pangeran-pangeran
pribumi sebagai penjual utama. Orang-orang muda diculik, dijebloskan ke
penjara-penjara rahasia di Sulawesi, sampai mereka siap untuk dikirim ke
kapal-kapal budak ... Dimanapun mereka memijakkan kaki, kehancuran dan
penyusutan penduduk menyusul. Banyuwangi, sebuah propinsi di Jawa, pada tahun
1750 berpenduduk lebih dari 80.000 orang, pada tahun 1811 hanya 18.000.
Perdagangan yang manis!”[2] [Penekanan
dari penulis]
Marx
menjelaskan bahwa “awal penaklukan dan penjarahan Hindia Timur ... menandai
fajar indah dari era produksi kapitalis. Aktivitas ini adalah momentum utama
dari akumulasi primitif.”[3]
Merebut
perdagangan Asia dari tangan Spanyol dan Portugal yang telah menguasai samudera
selama lebih dari satu abad membutuhkan sebuah investasi yang besar. Bagaimana
Belanda yang saat itu penduduknya kurang dari satu juta mampu mengumpulkan
kapital yang diperlukan? Solusi dari masalah ini melibatkan sebuah konsep organisasi
bisnis yang baru: perusahaan saham-gabungan (joint-stock company), dan di
sinilah kapitalisme moderen pertama kali menemukan aplikasinya.
Seorang ahli
sejarah Belanda, George Masselman, menulis: “Ekonomi zaman pertengahan tidak
membutuhkan kapital, seperti yang dicontohkan oleh gilda-gilda pedagang yang
menghambat inisiatif pribadi dan kompetisi. Belanda yang sedang bangkit
mengambil pandangan yang berbeda: mereka menginginkan perdagangan sebanyak
mungkin ... Satu-satunya hal yang dapat menghambat seorang pedagang adalah
kekurangan kapital. Tentu saya dia dapat bekerja sama dengan pedagang lainnya
dan melakukan perdagangan bersama; atau dia dapat membujuk orang luar untuk
menaruh uang kepadanya, menawarkan kepada mereka sebagian dari laba.”[4] Inilah awal
dari perusahaan saham-gabungan kapitalis moderen. Contoh utamanya adalah VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) yang
dibentuk pada tahun 1602 dengan kapital sekitar 6,5 juta guilders.[5]
VOC dibentuk
ketika pemerintah Belanda memberikannya sebuah monopoli untuk melakukan
aktivitas kolonial di Asia. Ini adalah perusahaan saham-gabungan multinasional
pertama yang mengeluarkan saham publik. Pada pembentukannya, VOC membuka bursa
saham pertama dunia, Bursa Saham Amsterdam, untuk memperdagangkan saham dan
surat obligasinya. VOC memiliki otoritas quasi-pemerintah dimana ia mampu
melakukan peperangan, merundingkan perjanjian perdamaian, mencetak uang, dan
membentuk koloni.
Secara
efektif, Hindia Timur selama dua abad tidaklah dijajah oleh Republik Belanda
melainkan oleh sebuah perusahaan saham-gabungan, VOC. Cukup indikatif bahwa
selama periode tersebut rakyat Hindia Timur menyebut penjajah mereka “kompeni”
(dari nama VOC, Compagnie). Selama 2 abad selanjutnya, VOC menjadi
perusahaan dagang yang paling penting di Eropa. Ia menciptakan monopoli di
perdagangan rempah-rempah, terutama lada, kayu manis, dan cengkeh. Selama 90
tahun pertamanya, VOC meraup dividen sebesar 18,7% setiap tahunnya.[6
Pemberontakan
Belanda menandai kebangkitan historis kaum borjuasi dan kolonialisasi Hindia
Timur oleh VOC adalah basis dari akumulasi kapital primitif dari apa yang bisa
kita sebut sebagai masyarakat borjuis pertama. Hasilnya jelas. Pada abad ke-17
Belanda adalah negara paling maju di Eropa. Marx menulis di Kapital:
“Belanda, yang pertama kali mengembangkan sistem kolonial, pada tahun 1748
telah berdiri di puncak keagungan komersialnya ... Total kapital dari Republik
[Belanda] barangkali lebih besar daripada total keseluruhan kapital di benua
Eropa.”[7]
VOC memasuki
periode kemunduran pada tahun 1692 dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1798.
Republik Belanda menanggung utang VOC, sebesar 134 juta guilders, dengan syarat
bahwa VOC harus menyerahkan semua asetnya di Hindia. Dengan ini, Republik
Belanda memperoleh sebuah koloni di Asia pada tahun 1798.[8]
Kemunduran
VOC adalah manifestasi dari kemunduran Republik Belanda pada abad ke-18. Ini
seperti yang ditulis oleh Marx: “Sejarah kemunduran Belanda sebagai negara
komersial yang berkuasa adalah sejarah ketaklukan kapital perdagangan terhadap
kapital industri.”[9] Pada abad
ke-18, Belanda menyerahkan posisi hegemoninya ke Inggris. “Pada awal abad
ke-18, manufaktur Belanda telah kalah. Belanda berhenti menjadi negara utama
dalam perdagangan dan industri.”[10] Namun,
perannya sebagai pedagang uang tetap penting sampai abad ke-19, dimana Belanda
meminjamkan kapital yang sangat besar untuk Inggris. Kapital yang telah
diakumulasi oleh Belanda melalui perdagangan berfungsi sebagai basis
kebangkitan industri manufaktur di Inggris, seperti yang ditulis oleh Marx:
“Salah satu usaha bisnis utamanya, oleh karena itu, dari tahun 1701-1775, adalah
meminjamkan kapital yang sangat besar, terutama kepada musuh besarnya Inggris.
Hal yang sama sekarang terjadi antara Inggris dan Amerika Serikat. Kapital yang
besar, yang timbul hari ini di Amerika Serikat tanpa akta kelahiran sama
sekali, kemarin ada di Inggris yang dikucurkan dari darah anak-anak.”[11] Jadi,
kebangkitan yang cepat dan pendek dari Belanda sebagai sebuah negara pedagang
kapitalis pada abad ke-17 adalah dasar untuk kebangkitan negara industri
kapitalis, terutama Inggris.
Tahun-tahun
“Kekacauan” dan “Ketidakpastian” (1800-1830)
Revolusi
Hebat Prancis pada tahun 1789 melempar seluruh Eropa ke dalam satu kekacauan.
Seluruh penduduk Republik Beladan terjangkiti semangat Revolusi Prancis, dan
pada tahun 1795 sebuah revolusi popular pecah dan menyerukan pembentukan
Republik Batavia yang pendek umurnya (1795-1806). Selama periode yang pendek
ini, semangat Revolusi Prancis juga menjangkiti kebijakan kolonial dengan
banyak gagasan, yang berdasarkan kebebasan berusaha dan liberalisme, bermaksud
membawa semangat liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesamarataan,
persaudaraan) ke rakyat pribumi Hindia Timur Belanda. Akan tetapi, semua ocehan
dan rencana untuk memajukan rakyat pribumi, untuk membawa logika (reason)
ke Hindia Timur yang primitf, tidak lain adalah sebuah “kerajaan borjuis yang
ideal”.
Republik
Batavia berakhir ketika Napoleon Bonaparte memasang sepupunya, Louis Bonaparte,
sebagai Raja Belanda pada tahun 1806. Tahun 1815, Napoleon jatuh dan Belanda
memperoleh kembali kemerdekaannya. Inggris, yang memegang kendali Hindia Timur
di bawah Raffles tahun 1811, mengembalikannya ke Belanda pada tahun 1815.
Di dalam
periode kekacauan dan ketidakpastian ini, administrasi kolonial secara
perlahan-lahan mengkooptasi elit-elit penguasa lokal ke dalam administrasi.
Dimana sebelumnya selama periode kekuasaan VOC para elit lokal dibiarkan
mengontrol subyek mereka sesuka hati mereka, di bawah pretensi untuk melindungi
rakyat Hindia dari perlakukan semena-mena (untuk membangun masyarakat berhukum
dan tertib) sebuah mesin negara yang lebih ketat diimplementasikan di Hindia
Timur Belanda dimana penguasa-penguasa lokal secara efektif adalah karyawan
bayaran dan dipilih oleh pemerintah kolonial. Pemerintahan desa, vergadering,
prinsip “yang sama menguasai yang sama” (memasukkan kelas penguasa lokal ke
dalam pemerintah kolonial), semua ini didesain sesuai dengan kebutuhan ekonomi
karena sistem tanam paksa membutuhkan sebuah pemerintah yang kuat.
Sistem Tanam
Paksa
Setelah
Perang Jawa 1825-1830 yang berakhir dengan menyerahnya kerajaan Mataram, yang
menandai penaklukan penuh pulau Jawa, Belanda memperkenalkan sebuah sistem
tanam paksa. Berbeda dari sistem transaksi rempah-rempah sebelumnya, sistem
Tanam Paksa , dimana pemerintah kolonial mengorganisasi sebuah sistem produksi
hasil bumi (cash-crop) untuk ekspor, membawa evolusi industri perkebunan
yang membentuk sejarah Indonesia sebagai sebuah negara eksportis bahan mentah
untuk abad selanjutnya. Dari menjadi sumber bahan mentah untuk kapitalisme
perdagangan, Hindia Timur perlahan-lahan menjadi sumber bahan mentah untuk
kapitalisme industrial.
Sistem Tanam
Paksa – sebuah sistem dimana Belanda memaksa petani Indonesia untuk menanam
hasil bumi untuk eskpor – adalah sebuah sistem yang memberikan basis untuk
kemajuan ekonomi di Belanda. Sistem ini adalah sebuah eksploitasi kolonial yang
klasik. Tujuan utamanya untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian
(terutama di pulau Jawa) guna kepentingan penbendaharaan Belanda. Sistem ini
adalah satu kesuksesan yang besar dari sudut pandang kapitalisme Belanda,
menghasilkan produk ekspor tropikal yang sangat besar jumlahnya, dimana
penjualannya di Eropa memajukan Belanda. Dengan kopi dan gula sebagai hasil
bumi utama, seluruh periode Sistem Tanam Paksa menghasilkan keuntungan sebesar
kira-kira 300 juta guilder dari tahun 1840-59.
Tabel I.
Hasil dari Sistem Tanam Paksa, 1840-1859 (‘000 guilder)[12]
1840-1849
|
1850-1854
|
1855-1859
|
|
Kopi
|
64827
|
77540
|
105599
|
Gula
|
-4082
|
3385
|
33705
|
Lain-lain (nila, cochineal, kayu manis, merica, teh,
tembakau)
|
13653
|
5610
|
3299
|
Total
|
74398
|
86535
|
142603
|
Kapitalis
Belanda sama sekali tidak tertarik untuk mengembangkan kapasitas produksi
pertanian. Otoritas kolonial menyediakan sedikit sekali kapital investasi,
dengan hampir tidak ada perkembangan dalam teknik produksi dan manufaktur.
Kaum tani
dipaksa berjalan berkilo-kilometer dari desa mereka ke tempat perkebunan kopi,
dan kadang-kadang harus meninggalkan desa selama berbulan-bulan, hidup di
tempat penampungan sementara dekat dengan area perkebunan kopi. Untuk
perkebunan tebu, para petani dipaksa mengubah ladang padi mereka (dan irigasi
mereka) menjadi ladang tebu. Para petani tidak hanya diharuskan mempersiapkan
ladang, menanam, dan menjaga perkebunan tersebut, mereka juga harus menuainya
dan mengangkutnya ke pabrik dengan cara dipanggul di atas pundak mereka karena
kurangnya alat transportasi dan binatang, dan kondisi jalanan yang tidak baik.
Mereka juga sekaligus bekerja di pabrik.
Sistem Tanam
Paksa juga menyita sejumlah besar tenaga kerja dari para petani untuk membangun
infrastruktur yang dibutuhkan untuk operasi sistem tanam paksa, termasuk
membangun jalan dan jembatan untuk transportasi hasil bumi, pengembangan
fasilitas pelabuhan, konstruksi perumahan untuk para pejabat, membangun pabrik
dan gudang-gudang untuk hasil bumi, membangun dam dan irigasi, dan bahkan
benteng pertahanan.[13]
Eksploitasi
dari sistem ini tidak ada presedennya dalam sejarah penjajahan Belanda. Satu
pejabat senior mengatakan bahwa di bawah Sistem Tanam Paksa para petani dipaksa
untuk melakukan 4 atau 5 kali lebih banyak kerja daripada yang biasanya
dituntut sebelum 1830.[14] Kebanyakan
petani harus bekejra selama lebih dari 150 hari dalam setahun untuk cultuurstelsel.
Pembayaran yang diterima oleh petani sangatlah kecil dan mereka dipajak sangat
tinggi. Gubernur Jendral pada saat itu (1845-1851), Jan Jacob Rochussen,
memperkirakan pada tahun 1857 bahwa sekitar 2/3 pembayaran yang diterima oleh
petani diterima kembali oleh Pemerintah melalui berbagai macam pajak.[15] Kapitalisme
di Belanda dan Eropa sungguh bangkit dari keringat dan darah jutaan petani di
Hindia Timur.
Industri
gula dikembangkan oleh pemerintah koloni Belanda dengan bantuan “kontraktor”
swasta Belanda dan para priyayi, kepala desa (lurah), dan elit-elit lokal.
Kecepatan pertumbuhan laba gula (lihat Tabel I) cukup untuk menunjukkan
cepatnya pertumbuhan industri ini dan bagaimana ia mempengaruhi periode
selanjutnya. Fabriek (pabrik) gula menjadi pemandangan umum dari daerah
pedesaan. Sekitar 100 pabrik milik Eropa memproduksi lebih dari 130 ribu ton
gula pertahun. Tebu-tebu ini ditanam oleh lebih dari 100 ribu petani yang
mengerjakan sekitar 12 ribu hektar tanah.[16]
Periode
Liberal (1870-1900)
Sistem Tanam
Paksa menyediakan basis untuk periode ekonomi selanjutnya, yang disebut periode
Liberal. Selama periode sebelumnya, pemerintah menyuntik kapital yang besar
untuk membangun perkebunan hasil-bumi dan fasilitas-fasilitasnya, terutama gula
dan kopi, dan juga memastikan penyediaan tenaga kerja murah melalui kerja
paksa. Sistem Tanam Paksa sangatlah menguntungkan. Namun, sistem Cultuurstelsel
yang dijalankan pemerintah ini dipenuhi dengan nepotisme, dimana kontraktor
pemerintah, pengusaha penanam swasta, perusahaan ekspor-impor, dan pegawai
negeri Belanda semua mempunyai hubungan keluarga. Ini membawa kegusaran
kapitalis Belanda (dan kapitalis asing lainnya) yang berada di luar klik Jawa
ini, yang melihat keuntungan besar dari bisnis ini dan ingin sepotong darinya.
Inilah alasan sebenarnya mengapa Sistem Tanam Paksa dihentikan pada tahun 1870,
bukan karena kekhawatiran moral kaum imperialis Belanda terhadap kesengsaraan
yang dihadapi oleh kaum tani Indonesia akibat sistem eksploitatif ini. Kita
dapat melihat ini dengan jelas di dalam nilai ekspor setelah Sistem Tanam
Paksa, yang tumbuh bahkan dengan kecepatan yang lebih pesat dan tidak lain
menandakan sebuah eksploitasi yang lebih ganas terhadap rakyat Hindia Timur
Belanda.
Banyak dari
loncatan nilai ekspor dan produktivitas ini adalah karena peningkatan teknologi
yang mengijinkan transportasi yang lebih baik dan pemrosesan yang lebih
efisien. Beberapa orang akan berargumen bahwa periode Liberal adalah tidak
lebih eksploitatif daripada Sistem Tanam Paksa karena para petani diperlakukan
lebih manusiawi dan pada saat yang sama produktivitas mereka dibuat lebih
tinggi. Namun kita kaum Marxis bukanlah kaum moralis kacangan. Kita melihat
eksploitasi dari sudut pandang nilai surplus yang disedot oleh kaum kapitalis
dari kaum buruh dan tani, bukan hanya besarnya kesengsaraan yang mereka alami.
Walaupun tentu saja kesengsaraan yang dialami oleh buruh dan tani Hindia Timur
sangatlah keji dan memuakkan. Oleh karena itu, dari sudut pandang ini, selama
periode Liberal penindasan rakyat Hindia Timur adalah lebih parah seperti yang
ditunjukkan oleh statistik.
Tabel 2.
Ekspor Hindia Timur Menurut Komoditas, 1823-1938 (‘000 guilder)[17]
Periode
(rata-rata per tahun)
|
Gula
|
Kopi
|
Tembakau
|
Karet
|
Minyak
|
Total**
|
1823-25*
|
507
|
10358
|
120
|
13256
|
||
1826-30*
|
824
|
6221
|
59
|
9835
|
||
1831-35*
|
3371
|
10093
|
45
|
18513
|
||
1836-40*
|
10295
|
21907
|
136
|
42785
|
||
1841-45*
|
13476
|
24323
|
793
|
51187
|
||
1845-50*
|
18446
|
16021
|
712
|
48804
|
||
1851-55*
|
19986
|
26729
|
707
|
59502
|
||
1856-60*
|
32214
|
32740
|
1005
|
85945
|
||
1861-65*
|
32214
|
36616
|
1692
|
87425
|
||
1866-70*
|
33282
|
37052
|
3320
|
88479
|
||
1871-73*
|
46203
|
40717
|
8149
|
113479
|
||
1874-75
|
51234
|
69014
|
9895
|
128
|
59
|
173127
|
1876-80
|
56013
|
69922
|
20319
|
97
|
236
|
193723
|
1881-85
|
70842
|
50438
|
17111
|
274
|
47
|
190898
|
1886-90
|
58369
|
42481
|
25398
|
397
|
4
|
186338
|
1891-95
|
66862
|
51708
|
31603
|
184
|
1262
|
211344
|
1896-1900
|
65878
|
37204
|
37898
|
564
|
7717
|
227551
|
1901-1905
|
75764
|
24005
|
38703
|
1917
|
16200
|
279971
|
1906-1908
|
117511
|
16592
|
58574
|
7666
|
29392
|
388734
|
1909
|
167800
|
10100
|
46100
|
3300
|
30000
|
438000
|
1910
|
139600
|
11000
|
32500
|
6900
|
37700
|
422100
|
1911
|
132100
|
24100
|
72500
|
6800
|
46300
|
462900
|
1912
|
131700
|
28800
|
94700
|
21300
|
52400
|
543200
|
1913
|
152800
|
20400
|
90700
|
23900
|
113400
|
620500
|
1914
|
182600
|
21000
|
63700
|
26800
|
136800
|
640700
|
1915
|
213200
|
34700
|
73000
|
56500
|
141900
|
758200
|
1916
|
258800
|
21600
|
75800
|
96200
|
153000
|
856700
|
1917
|
212400
|
9100
|
13200
|
124100
|
158700
|
785100
|
1918
|
183600
|
3200
|
27700
|
73100
|
189500
|
675900
|
1919
|
763200
|
120000
|
121100
|
213300
|
349900
|
2162100
|
1920
|
1049800
|
51000
|
169400
|
164000
|
310200
|
2231300
|
1921
|
414900
|
26800
|
91000
|
68300
|
266000
|
1193000
|
1922
|
270900
|
41500
|
76600
|
88800
|
332400
|
1142400
|
1923
|
499200
|
29600
|
85400
|
169900
|
179200
|
1377900
|
1924
|
491100
|
65600
|
123600
|
199000
|
158300
|
1530600
|
1925
|
369500
|
68200
|
110500
|
582200
|
158000
|
1784800
|
1926
|
269600
|
70300
|
72900
|
480000
|
177100
|
1566100
|
1927
|
365300
|
74400
|
113900
|
417100
|
149900
|
1622300
|
1928
|
375800
|
81400
|
95600
|
278000
|
144100
|
1576600
|
1929
|
311600
|
69500
|
83300
|
237300
|
185200
|
1443200
|
1930
|
254300
|
35700
|
58600
|
172800
|
190100
|
1157200
|
1931
|
129300
|
24200
|
51100
|
82600
|
147100
|
747200
|
1932
|
99300
|
35200
|
46800
|
34000
|
98500
|
541400
|
1933
|
62100
|
25600
|
32000
|
37800
|
105000
|
467900
|
1934
|
45500
|
22500
|
37000
|
88800
|
99800
|
487300
|
1935
|
36000
|
18700
|
29300
|
70000
|
87400
|
445700
|
1936
|
34100
|
15900
|
37900
|
87800
|
97500
|
527700
|
1937
|
51100
|
26000
|
41100
|
298100
|
166600
|
951200
|
1938
|
45200
|
13700
|
38800
|
135400
|
164000
|
657800
|
* Data ekspor
dari pulau Jawa dan Madura. Catatan pemerintah kolonial untuk seluruh Hindia
Timur hanya dimulai pada tahun 1874. Sebelumnya, informasi hanya tersedia untuk
Jawa dan Madura.
** Total
nilai ekspor termasuk produk-produk lain seperti rempah-rempah, beras, teh,
nila, tembaga, timah, dsb.
Dengan
dihapuskannya Sistem Tanam Paksa – yang ditandai dengan disetujuinya Peraturan
Gula 1870 – aktor utama dalam perkembangan industri perkebunan bergeser lebih
ke perusahaan swasta dan kapital luar. Kapitalis swasta dan kapitalis petualang
masuk ke dalam industri perkebunan Hindia Timur Belanda. Tahun 1925, sudah ada
121 perusahaan gula (suikerondernemingen) yang beroperasi di Hindia
Timur Belanda, dan jumlah total pabrik gula (suikerfabrieken) yang
dimiliki atau dikelola oleh perusahaan ini adalah 195.[18]
Pada tahun
1896, aliansi industri gula diperkuat dengan dibentuknya Sindikat Pemilik Pabrik
Gula di Hindia Belanda (Algemeene Syndicaat van Suikerfabricanten in
Nederlandsch Indie) yang mengikutsertakan hampir semua perusahaan gula di
koloni. Jadi, di dalam industri perkebunan gula di Hindia Timur Belanda kita
dapat menyaksikan evolusi kapitalisme dari kompetisi bebas ke kapitalisme
kartel. Mari kita lihat apa yang ditulis oleh Lenin mengenai proses ini dalam
bukunya yang terpenting Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme:
“Tahapan
utama dalam sejarah monopoli adalah sebagai berikut: (1) 1860-1870, tahapan
tertinggi, puncak dari perkembangan kompetisi bebas; monopoli masihlah dalam
tahapan embrionik yang hampir tak terlihat. (2) Setelah krisis tahun 1873,
sebuah periode perkembangan kartel yang panjang; tetapi mereka masihlah
pengecualian. Kartel-kartel ini belumlah bertahan lama. Mereka masih merupakan
fenomena transisi. (3) Boom ekonomi pada akhir abad ke-19 dan krisis 1900-1903.
Kartel-kartel menjadi salah satu fondasi dari seluruh kehidupan ekonomi.
Kapitalisme telah bertransformasi menjadi imperialisme.”[19]
Dan
benarlah, awal Periode Liberal pada tahun 1870 menyaksikan puncak kompetisi
bebas dalam industri perkebunan dimana kapital swasta masuk membanjiri setelah
dihapuskannya Sistem Tanam Paksa. Pada akhir abad ke-19, kebanyakan perusahaan
gula telah bersatu ke dalam satu sindikat dimana sindikat ini “mencapai
persetujuan dalam hal penjualan, tanggal pembayaran, dll. Mereka membagi pasar
di antara mereka sendiri. Mereka menetapkan jumlah barang yang akan diproduksi.
Mereka membagi laba di antara berbagai perusahaan, dsb.”[20]
Kebanyakan
perusahaan yang beroperasi di Hindia Timur diorganisasi sebagai perusahaan
saham-gabungan, dimana mayoritas dari mereka berafiliasi dengan sebuah
institusi finansial yang unik yang bernama cultuurbanken, sebuah kapital
finans yang dibentuk untuk menyediakan investasi kapital bagi industri
perkebunan di Hindia Timur Belanda. Dominasi kapital finansial adalah karakter
umum dari kapitalisme di tahapan ini, dimana “kepemilikan kapital terpisahkan
dari aplikasi kapital dalam produksi, dimana uang kapital terpisahkan dari
kapital industrial atau produktif, dan dimana peminjam uang yang hidup
sepenuhnya dari pendapatan yang diperolehnya dari uang kapital terpisahkan dari
para pengusaha dan dari semua yang terlibat langsung dengan manajemen kapital.
Imperialisme, atau dominasi finans kapital, adalah tahapan tertinggi
kapitalisme dimana pemisahan ini mencapai proporsi yang luas.”[21]
Pada saat
yang sama, kita juga menyaksikan industri minyak dan karet masuk ke pulau-pulau
di luar Jawa pada awal tahun 1870. Ekspansi kontrol Belanda atas pulau-pulau
luar-Jawa terjadi bersamaan dengan kepentingan perkebunan tembakau, karet, teh,
kopi, dan kelapa di Borneo, Sulawesi, dan Sumatra Utara; tetapi daerah utama
untuk aktivitas perkebunan di luar Jawa adalah Pantai Timur Sumatra, yang
berubah dari hutan belantara yang tidak ada akhirnya pada tahun 1860an menjadi
salah satu daerah perkebunan utama di dunia pada tahun 1920an.
Sampai pada
tahun 1870an, 80 hingga 90 persen dari total nilai ekspor Hindia Timur Belanda
ditujukan ke Belanda.[22] Ini adalah
hasil dari Sistem Tanam Paksa dimana pemerintahan Belanda bermaksud memperluas
produksi ekspor di Jawa dan mengorientasikan ini secara eksklusif ke Belanda.
Produksi dan ekspor di koloni ada di bawah kontrol ketat pemerintah. Dengan
berakhirnya Sistem Tanam Paksa dimana aktor utama dalam perkembangan industri
perkebunan semakin bergeser ke perusahaan swasta, dan juga dengan pembebasan
tarif, bagian ekspor ke Belanda jatuh secara signifikan sedangkan ekspor
intra-Asia meningkat. Pada permulaan abad ke-20, porsi ekspor ke Belanda telah
jatuh ke 30% sedangkan pada periode yang sama porsi ekspor ke Asia (terutama
Singapura, diikuti oleh Cina/Hong Kong, India, dan Jepang) meningkat dari 13%
pada awal 1870 ke 47% pada tahun 1908.[23] Sebagai
pelabuhan entri untuk perdagangan bebas, Singapura mengirim kebanyakan ekspor
Hindia Timur Belanda yang mendarat di pelabuhannya ke tujuan final di tempat
lain, terutama ke Amerika Serikat.
Perkembangan
pesat dari industri perkebunan bergerak bersamaan dengan perkembangan dominasi
kolonial atas daerah Asia Tenggara oleh Inggris (di Malaya dan Burma), Prancis
(Indochina: Vietnam, Laos, Kamboja), AS (Filipina), dan Belanda (Indonesia).
Kemajuan dalam transportasi dan komunikasi antara Asia Tenggara dan Eropa juga
berkontribusi pada perkembangan ini, terutama dibukanya Kanal Suez pada tahun
1869 dan diletakkannya kabel bawah laut untuk telekomunikasi telegraf antara
Eropa dan Asia pada tahun 1860an dan 1870an.
Ekonomi koloni Asia Tenggara moderen mencapai pertumbuhan
yang tidak ada preseden antara tahun 1870an hingga 1920an, bersamaan dengan
periode boom kapitalis. Setelah kekuasaan penuh kolonial telah diamankan di
daerah tersebut, kekuatan-kekuatan Eropa (Inggris, Prancis, AS, Belanda)
mengkonsolidasikan dua pilar ekonomi, yakni industri perkebunan di Asia
Tenggara Insular (Indonesia, Malaysia, dan Filipina), dan daerah penghasil
beras di Daratan Utama Asia Tenggara (Mekong di Indochina, Chao Phraya di
Thailand, dan Ayeyardwady di Burma) yang menyediakan bahan makanan nasi untuk
Asia Tenggara Insular dimana nasi tidak cukup karena perkebunan yang meluas dan
populasi yang meningkat. Secara singkat, perkembangan ini dicapai di bawah
sebuah sistem perdagangan dan finansial internasional yang berpusat di Inggris
pada saat itu.
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.