Sejarah Perkembangan Kapitalisme di Indonesia Part 2 |
Periode Etis
(1900-1930) dan Kebangkitan Nasionalisme Indonesia
Di senja
abad ke-20, kaum moralis dari borjuasi Belanda hati nuraninya sangat terusik
dengan kemiskinan rakyat pribumi Hindia Timur akibat eksploitasi kolonial
Belanda, sehingga mereka meminta peningkatan kesejahteraan moral dan material
untuk rakyat Hindia Timur. Akan tetapi, kebijakan etis sebenarnya hanyalah satu
ekspresi dari kebutuhan ekonomi, dan bukan karena kebaikan hati dari kaum
borjuasi Belanda.
Keperluan
untuk semakin menyedot sumber daya alam Indonesia untuk memenuhi selera besar
dari kapitalisme yang sedang meledak di Eropa dan AS memaksa para penindas
untuk menciptakan basis dasar untuk ini. Mereka tidak bisa lagi hanya
mengandalkan ekspatriat untuk menjalankan koloni dengan industri perkebunan,
ekonomi, dan pemerintah yang semakin membesar. Makin banyak sekolah dibangun
untuk rakyat pribumi guna melatih mereka untuk menjadi buruh kereta api,
dokter, kasir, guru, dan administrator lokal, dsb. Kita sedang menyaksikan
pembentukan embrio kaum intelektual dan proletariat Indonesia.
Di tingkatan
dunia, periode ini ditandai dengan Perang Dunia Pertama dan Depresi Hebat.
Karakter unik dari periode ini adalah kontraksi impor dan ekspor ke Belanda dan
Inggris, dan ekspansi ekspor dan impor dengan AS dan Jepang. Ini menandai
menurunnya kapitalisme Inggris dan Belanda, dan bangkitnya kekuatan adidaya AS
dan Jepang.
Seperti yang
kita lihat di Tabel 2 di atas, ekspor karet dan minyak menanjak selama periode
ini dan mencapai puncaknya pada pertengahan 1920an, bersamaan dengan permintaan
besar dari industri mobil yang sedang meledak di AS. Produksi gula juga
mencapai zaman keemasannya pada tahun 1920an dimana Jawa adalah produsen ketiga
terbesar dari tebu gula setelah Kuba dan India.[24] Namun, di
balik boom produksi karet dan gula tersirat masalah over-produksi yang pada
akhirnya menyebabkan anjloknya harga karet dan sugar di dunia. Semenjak Depresi
Hebat, gula sudah bukan lagi komoditas ekspor utama di Indonesia, dan diambil
alih oleh karet dan minyak bumi. Karet tetap menjadi komoditas ekspor utama
Indonesia hingga paruh pertama 1960an. Ekspor minyak adalah komoditas ekspor
kedua setelah karet, tetapi porsi total ekspornya tetap kurang dari 20%, dan
minyak tidak akan menjadi komoditas ekspor utama hingga pada akhir 1960an.
Pergeseran dari gula ke karet sebagai komoditas ekspor utama negeri ini juga
menandai sebuah pergeseran dalam pusat pendapatan valuta asing dari Jawa ke
pulau-pulau luar-Jawa, terutama Sumatra dan diikuti oleh Kalimantan.
Satu
karakter unik lainnya dari periode ini adalah ekspansi ekspor ke AS setelah
Perang Dunia Pertama, bukan hanya dari Hindia Timur Belanda, tetapi juga dari
daerah-daerah perkebunan seluruh Asia Tenggara Insular (Filipina, Indonesia,
dan Malaya). Dari akhir Perang Dunia Pertama sampai 1920an, porsi total ekspor
ke AS meningkat sangat besar: di Filipina ini meningkat dari 37% pada tahun
1913 ke 75% tahun 1927, di Hindia Timur Belanda dari 2% pada tahun 1913 ke 13%
tahun 1920, di Malaya dari 14% pada tahun 1913 ke 44% tahun 1927.[25] Selama
periode yang sama, daerah ini juga meningkatkan impor dari AS. Ini menandakan
satu periode restrukturisasi imperialisme, dimana AS bangkit sebagai sebuah
negara super power yang baru dan Kerajaan Inggris Raya yang tua sedang menurun.
Pada awal
abad ke-20, kita melihat bangkitnya nasionalisme di kebanyakan koloni-koloni.
Di satu pihak, kekuatan imperialis telah menciptakan pasar bersama (common
market) dan mengukir perbatasan-perbatasan artifisial di koloni-koloni yang
tidak punya perbatasan sebelumnya, dan oleh karenanya dengan paksaan mereka
menciptakan kerangka untuk sebuah bangsa-negara; di pihak lain, identitas
nasional diciptakan di antara rakyat yang terjajah melalui perjuangan bersama
melawan sang penjajah. Hindia Timur, dengan 16 ribu pulaunya, 300 suku yang
berbeda-beda, dan 740 bahasa dan dialek – sebuah surga untuk antropologis –
disatukan oleh sebuah sejarah penjajahan oleh Belanda. Lapisan pertama yang
mengartikulasikan nasionalisme Indonesia adalah kaum intelektual muda yang
belajar di luar negeri yang membawa pulang dengan mereka semangat Revolusi
Prancis, semangat liberté, égalité, fraternité, semangat revolusi
borjuis-demokratik. Kekalahan pasukan Tsar Rusia oleh Jepang juga membantu
melunturkan mitos keperkasaan Eropa. Rusia saat itu dianggap sebagai satu
kekuatan Eropa yang dikalahkan oleh sebuah negara Asia yang sedang bangkit.
Gagasan lain yang menggoncang dunia pada periode tersebut adalah Revolusi
Rusia. Di tengah sturm und drang (topan dan badai) dari Perang Dunia
Pertama, sebuah negeri yang mencakup 1/6 dunia melaksanakan Revolusi
Proletariat yang pertama dan menjangkiti seluruh dunia, termasuk dunia koloni,
dengan semangatnya. Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920an adalah kekuatan
utama dari perjuangan nasionalis, dimana ia berdiri jauh lebih tinggi, secara
politik dan organisasional, dari elemen-elemen nasionalis lainnya. PKI
menyatukan perjuangan untuk pembebasan nasional dan sosialisme, sampai pada
kejatuhannya di pemberontakan 1926-27. Ketika PKI bangkit kembali, ia telah
menjadi alat birokrasi Stalinis dan telah memisahkan perjuangan pembebasan
nasional dan sosialisme dengan teori dua-tahapnya.
Kemerdekaan
Nasional
Sejak
penghancuran PKI secara fisik pada tahun 1927, secara praktikal panggung
gerakan nasionalis didominasi oleh elemen-elemen borjuis-nasionalis seperti
Soekarno dan Mohammad Hatta. Kekalahan PKI pada tahun 1927 dan Depresi Hebat
yang menyusul – yang memukul Indonesia cukup keras karena ekonominya sangat
tergantung pada ekonomi internasional (dimana populasi meningkat dari 61 juta
pada tahun 1930 menjadi 70 juta pada tahun 1940, pendapatan nasional jatuh dari
3,5 milyar guilder ke 2 milyar guilder[26]) – membuka
satu periode semi-reaksi di Indonesia, dimana gerakan nasionalis terpukul
mundur secara politik dan organisasional. Sekitar 13 ribu penangkapan terjadi
dimana ribuan orang dikirim ke kamp konsentrasi Boven Digul yang terkenal itu,
yakni Siberianya Indonesia.
Gerakan
nasionalis Indonesia hanya mendapatkan momentumnya kembali setelah kekalahan
Belanda di tangan Jepang pada tahun 1942, menandai berakhirnya
tiga-setengah-abad penjajahan Belanda dan awal dari tiga-setengah-tahun penjajahan
Jepang. Namun jenis nasionalisme yang bangkit adalah nasionalisme borjuis yang
secara ketat dikendalikan oleh Jepang dalam kerangka Kawasan Kemakmuran Bersama
Asia Timur Raya dengan slogan “Asia untuk Orang Asia”. Jepang mengasuh di bawah
sayap mereka pemimpin-pemimpin penting Indonesia, di antara mereka adalah
Soekarno dan Hatta, guna mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia untuk mesin
perang mereka dalam mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah mereka taklukkan
dari pasukan Sekutu. Pada saat yang sama, pemimpin-pemimpin lain yang
menunjukkan kecenderungan sosialis ditindas dengan kejam. Hanya
organisasi-organisasi yang disetujui oleh Jepang diperbolehkan eksis, seperti
Putera dan Djawa Hokokai. Organisasi-organisasi ini tidak lain adalah instrumen
pemaksa dan pengontrol Jepang.
Di belakang
janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia adalah satu usaha
untuk mengendalikan gerakan nasionalis, supaya bila Indonesia merdeka ia tetap
akan berada di bawah kekuasaan langsung mereka. Macam pemimpin nasionalis yang
diasuh oleh Jepang menunjukkan warna mereka yang sesungguhnya ketika
momen-momen yang menentukan datang. Bahkan setelah menyerahnya Jepang pada
tanggal 15 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta takut memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Jepang. Mereka harus
dipaksa oleh kaum muda militan, yang tidak setuju kalau Indonesia mendapatkan
kemerdekaannya sebagai sebuah hadiah dari Jepang. Terutama dengan penyerahan
tanpa syarat dari Jepang, dimana ini berarti bahwa pasukan bersenjata Jepang di
Indonesia akan bertindak sebagai perwakilan dari kekuatan Sekutu yang ingin
mengembalikan koloni ini ke Belanda.
Setelah
banyak negosiasi dan keraguan, pada pagi hari 17 Agustus 1945, Soekarno
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dan mulailah babak baru dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia, yang diperjuangkan di lapangan militer melawan kekuatan
Sekutu dan di lapangan politik antara kaum reformis dan kaum revolusioner. Kaum
reformis, yang dipersonifikasi oleh Hatta dan Sjahrir, merasa cukup dengan
kemerdekaan Indonesia di bawah jempol imperialisme, sedangkan kaum
revolusioner, yang dipersonifikasi oleh Tan Malaka dan front persatuannya
Persatuan Perjuangan, menuntut 100% Merdeka. Kaum revolusioner berjuang dengan berani
melawan pasukan Sekutu dan juga melawan pemimpin nasionalis seperti Hatta yang
ingin berkapitulasi pada kekuatan imperialis dan mengembalikan semua perusahaan
dan perkebunan Belanda, yang nota-bene berarti penundukan ekonomi Indonesia
terhadap Belanda. Kaum nasionalis borjuis ini mengirim pasukan mereka untuk
melawan milisi rakyat yang sedang berjuang mempertahankan negara mereka. Ribuan
pejuang muda yang berani, yang dianggap terlalu revolusioner, diburu dan
dibunuh oleh pasukan pemerintah, termasuk Tan Malaka pada tahun 1949.
Pada tanggal
27 Desember 1949, setelah banyak pertempuran yang gagah berani, yang menewaskan
lebih dari 200 ribu orang Indonesia, Belanda terpaksa mengakui kemerdekaan
Indonesia. Namun, para pemimpin nasionalis telah menjual seluruh Indonesia
dengan menyetujui pengembalian seluruh perusahaan, tanah perkebunan, dan
tambang-tambang Belanda dan membayar 4,3 milyar guilder (atau senilai 10,1
milyar dollar pada tahun 2009) yang merupakan agresi militer Belanda di
Indonesia selama 4 tahun. Ini menaruh ekonomi Indonesia di bawah jempol kaum
imperialis dan program 100% Merdeka dikhianati.
Orde Lama
Ekonomi
Indonesia digambarkan sebagai “kemerosotan kronik” oleh Benjamin Higgins,
penulis buku terkemuka mengenai Ekonomi Perkembangan pada periode tersebut. Dia
menyimpulkan bahwa “Indonesia tentu harus dicatat sebagai kegagalan nomor satu
di antara negara-negara kurang berkembang.”[27]
Sultan
Hamengkubowono IX pada tahun 1966 menjelaskan situasi pada saat itu sebagai
berikut: “Setiap orang yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sedang
mengalami sebuah situasi ekonomi yang menguntungkan sungguh kurang melakukan
studi yang intensif ... Bila kita membayar semua utang luarnegeri kita, kita
tidak ada valuta asing tersisa untuk memenuhi kebutuhan rutin kita ... Pada
tahun 1965 harga-harga secara umum naik lebih dari 500 persen ... pada tahun
1950an anggaran negara mengalami defisit sebesar 10 hingga 30 persen, dan pada
tahun 1960an defisit ini meningkat hingga lebih dari 100 persen. Pada tahun
1965, ini bahkan mencapai 300 persen.”[28]
Kondisi
sosial tidak lebih baik, dengan kontras antara yang kaya dan yang miskin
semakin menajam pada saat itu, kendati pengumuman berulang-ulang dari
pemerintah Soekarno mengenai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Ini
digarisbawahi oleh kutipan berikut ini dari seorang pengamat Indonesia selama
pertengahan 1960an: “ ... jumlah konsumsi barang mewah di Jakarta tampak
meningkat ... tajamnya peningkatan jumlah mobil, pada saat dimana transportasi
publik semakin memburuk dengan serius, memberikan indikasi mengenai kesenjangan
ini ... setiap kali selalu ada peraturan ekspor-impor baru untuk menghentikan
impor barang-baran mewah, tetapi entah bagaimana mereka tetap masuk.”[29]
Tabel 3.
Indikator-Indikator Perkembangan Ekonomi Indonesia, 1960-1965[30]
1960
|
1961
|
1962
|
1963
|
1964
|
1965
|
|
Produk
Domestik Nasional (Rp Milyar), Harga 1960
|
391
|
407
|
403
|
396
|
407
|
430
|
Pendapatan
per kapita, % perubahan
|
-1,6
|
1,7
|
-3,0
|
-4,0
|
0,3
|
3,2
|
Defisit
anggaran dalam % pengeluaran
|
17
|
30
|
39
|
51
|
58
|
63
|
Suplai
Uang (M1), % perubahan
|
37
|
41
|
101
|
94
|
156
|
302
|
Inflasi
(CPI, % perubahan)
|
20
|
95
|
156
|
129
|
135
|
594
|
Indikator
ekonomi di atas selama periode 1960-65 jelas menunjukkan bahwa ekonomi
Indonesia sedang menukik secara katastropik. Dalam 5 tahun, inflasi naik dari
20% hinggal 600%, defisit anggaran naik dari 17% hinggal 63%. Penyebab segera
dan langsung dari meningkatnya inflasi, yang bagi buruh dan tani berarti
menurunnya pendapatan riil mereka, tidak sulit untuk ditemukan. Suplai uang
mulai meningkat dengan cepat dari 40% di awal 1960an sampai 300% pada tahun
1965. Peningkatan suplai uang ini disebabkan oleh defisit anggaran, yang
diatasi oleh pemerintah dengan mencetak lebih banyak uang.
Narasi utama
yang telah dikeluarkan oleh kapitalis Barat adalah bahwa Soekarno, seperti
kebanyakan pemimpin-pemimpin Dunia Ketiga di zamannya, memberikan perhatian
yang berlebihan ke isu-isu politik dan mengabaikan isu-isu ekonomi; bahwa dia
mempolitisasi bangsa secara ekstrim dan sebagai akibatnya mengurangi
pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, narasi ini tidak mempertimbangkan bahwa
konsolidasi politik adalah sebuah langkah penting yang harus diambil oleh
Republik muda ini. Kekuatan Sekutu telah menebar kekacauan di Republik, secara
ekonomi dan politik. Kebijakan imperialis pada saat itu adalah untuk memecahkan
Indonesia menjadi negeri-negeri yang lebih kecil dan lemah dengan mempromosi
gerakan separatis di seluruh nusantara. Banyak pemberontakan, yang kebanyakan
disponsor dan didukung oleh imperialis, meledak yang mengancam kesatuan
nasional, yang bukan hanya harus dihadapi secara militer tetapi juga secara
politik. Usaha militer untuk melawan kaum separatis adalah salah satu faktor
utama yang membuat bangkrut pemerintah.
Pemerintahan
Soekarno mencoba menyeimbangkan dua kekuatan utama: kekuatan komunis dan
kekuatan tentara di bawah jendral-jendral reaksioner. Di belakang kaum Komunis
adalah kelas pekerja, petani miskin, kaum miskin kota, dan banyak kaum
intelektual, artis, dan nasionalis kiri. Di belakang jendral-jendral reaksioner
adalah pemilik tanah kaya, nasionalis sayap kanan, dan terutama kekuatan
imperialis. Kebijakan setengah-hati dari pemerintahan Soekarno, yakni menyerukan
frase-frase revolusioner tanpa menyelesaikan revolusi sosialis, menghapus
kapitalisme secara penuh dan mengimplementasikan ekonomi terencana di bawah
kontrol demokratik buruh, dan di pihak lain penolakan dari PKI untuk merebut
kekuasaan karena mereka terikat kaki dan tangannya pada kaum borjuis nasional
(di bawah teori dua-tahap mereka), mengakibatkan kekalahan kelas pekerja. Di
dalam sebuah perjuangan kelas, hanya ada satu aturan: satu kelas harus menang
dan kelas yang lain harus kalah. Sebuah situasi perjuangan kelas yang tajam,
seperti di Indonesia pada akhir 1950 hingga pertengahan 1960, tidak bisa
berlangsung selamanya. Satu kelas harus kalah. Sikap keras kepala PKI untuk
mengabaikan perjuangan kelas dengan mengsubordinasikannya di bawah perjuangan
nasional menyebabkan kehancuran mereka. PKI tidak ingin mengenali perjuangan
kelas, tetapi perjuangan kelas mengenali PKI.
1965 dan
Imperialisme AS
G30S adalah
sebuah konter revolusi yang menyebabkan pembalikan penuh di dalam politik
Indonesia dan dunia. Disini, negara terbesar keempat dengan partai komunis
ketiga terbesar setelah Tiongkok dan Uni Soviet, berubah dari sebuah negeri
yang sangat anti-imperialis ke sebuah partner AS yang penurut. Sebelum kudeta
ini, duta besar AS telah terpaksa mengirim pulang hampir semua personilnya dan
menutup konsulat-konsulat di luar Jakarta karena demonstrasi PKI yang militan.
Buruh menyita perkebunan-perkebunan dan sumur-sumur minyak yang dimiliki
perusahaan AS, dan Sukarno mengancam akan menasionalisasi mereka. Ancaman
Indonesia menjadi komunis adalah nyata dan peristiwa ini bisa mengubah wilayah
Asia Tenggara menjadi merah juga.
Sebuah
laporan intelijen level tinggi yang dipersiapkan pada awal September 1965
menulis bahwa “Indonesianya Soekarto sudah bertindak seperti sebuah negeri
komunis dan lebih bermusuhan secara terbuka dengan AS dibandingkan kebanyakan
negeri-negeri komunis lainnya.” Laporan tersebut juga memprediksikan bahwa
pemerintah Indonesia akan didominasi secara penuh oleh PKI dalam dua atau tiga
tahun, dan “kebangkitan Indonesia ke komunisme akan menghantar pukulan yang
berat terhadap politik dunia. In akan dilihat sebagai sebuah perubahan besar
dalam perimbangan kekuatan-kekuatan politik internasional dan akan menyuntikkan
sebuah nyawa yang baru ke dalam tesis bahwa komunisme adalah gelombang masa
depan.”[31]
Indonesia
dianggap sebagai kartu domino terbesar di Asia Tenggara. Dalam pidatonya tahun
1965, Richard Nixon membenarkan pemboman Vietnam Utara sebagai satu cara untuk
mengamankan “potensi mineral yang besar” di Indonesia. Sejarahwan Dr. John
Roosa menekankan bahwa pasukan infantri yang mulai turun ke Vietnam pada bulan
Maret 1965 akan menjadi sia-sia bila kaum Komunis meraih kemenangan di sebuah
negara yang jauh lebih besar dan strategis, Indonesia. Kemenangan PKI di
Indonesia akan membuat intervensi AS di Vietnam sia-sia.[32] Robert
McNamara, sekretaris pertahanan di bawah Presiden John F. Kennedy dan Lyndon B.
Johnson, berpendapat bahwa AS seharusnya mengurangi keterlibatannya di Vietnam
setelah pembantaian PKI di Indonesia.[33] Setelah
Indonesia, kartu domino utama di Asia Tenggara, telah diamankan secara baik,
politisi AS seharusnya menyadari bahwa Vietnam tidaklah sekrusial seperti yang
pertama kali dikira, begitu pendapat McNamara. Akan tetapi, pada saat itu,
peperangan di Vietnam telah mendapat logikanya sendiri, terpisahkan dari teori
domino. Kemenangan AS di Vietnam, setelah jatuhnya PKI, lebih dibutuhkan untuk
menjaga gengsi pemerintah AS dan menghindari rasa malu dari kekalahan dalam
perang, daripada untuk menghentikan komunisme di Asia Tenggara.
Seperti yang ditunjukkan di atas, Indonesia adalah
sangat penting bagi kaum kapitalis dunia karena kekayaan alamnya. Setelah
Perang Dunia II, AS telah menetapkan Indonesia ke dalam lingkup pengaruh
ekonomi Jepang; minyak, mineral, dan hasil bumi Indonesia akan memasoki
industrialisasi Jepang. Kekawatiran utama AS adalah keamanan Jepang, yang akses
murahnya ke sumber daya alam Indonesia dipercaya dapat menjaga Jepang untuk
tetap di kampnya. Ini dapat dilihat dari statistik ekspor setelah 1965, dimana
Jepang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia, dari sekitar 3-7% pada tahun
1958-1962 hingga 50% pada tahun 70an dan 80an.[34]
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.