emperankampus.blogspot.com |
Melihat
dan mengingat perkembangan kesusastraan Indonesia di jaman millennial ini, pada
sejatinya tak bisa terlepas dari sejarah yang menyimpan banyak sekali hal yang
seolah enggan untuk dibuka kembali, atau bahkan karena memang tak tahu sama
sekali.
Hari ini,
seperti yang kita ketahui bersama, seolah banyak sekali lahir anak-anak muda “pecandu
gerimis”, “perindu hujan”, dan “pecumbu senja”, tapi kalau lagi hujan malah
berteduh, dan kesal karena tak bisa beraktifitas, begitu pun jika waktu sore,
dimana semesta menyuguhkan senjanya, si “budak-budak sajak” malah main futsal.
Dengan uraian
yang mencoba mengangkat kembali skandal sastra Indonesia yang terjadi di tahun
1962-1964. Semoga semakin menumbuhkan semangat membaca dan menulis, karena
menulis adalah bekerja untuk keabadian, seperti yang diungkapkan oleh Pramoedya
AT. Dan juga semakin menumbuhkan kecintaan kita terhadap kesusastraan
Indonesia, karena sastra adalah senjata bagi para penulis atau penyair, seperti
yang dikutip dari perjalanan hidup sang “penyair rakyat” Wiji Thukul.
“Aku Mendakwa Hamka Plagiat!” , demikian judul resensi-essei yang ditulis oleh Abdullah
SP di harian Bintang Timur “Lentera” 7 September 1962. Sebuah judul yang
provokatif di jaman yang memang sedang bergolak di tahun 60an. Resensi yang
ditulis oleh Abdullah SP itu menjadi salah satu resensi yang melegenda selama
bertahun-tahun dan nyaris mengambil separuh halaman “Lentera “ Bintang Timur
saat itu. Tidak hanya itu saja, resensi itu juga menjadi penyulut munculnya
dugaan plagiarisme Hamka dan menjadi skandal sastra terbesar dalam sejarah
Sastra Indonesia.
Siapa Hamka yang dimaksud Abdullah
SP? Hamka adalah akronim dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981) atau
yang lebih akrab disapa ‘Buya Hamka’ seorang sastrawan yang dikemudian hari
lebih dikenal sebagai ulama besar di Indonesia dan pernah menjadi Menteri Agama
dan ketua MUI di masa Orde Baru. Dalam resensi-essai nya itu Abdullah SP
mengurai sekaligus membandingkan bagaimana novel best seller Hamka (dicetak
sebanyak 80 rb eks) Tenggelamnya Kapal
v.d Wijk (1938) memiliki banyak sekali kemiripan dengan novel Magdalena yang merupakan saduran penyair
Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1942) dari roman yang ditulis pengarang
Prancis Alphonse Karr, Sous les Tilleuls
Resensi tersebut akhirnya
memunculkan isu plagiarisme Hamka menjadi sebuah skandal sastra yang menjadi
polemik hingga dua tahun lamanya (1962-1964). Kubu sastra Indonesia di saat itu
terbelah menjadi dua, antara mereka yang mendukung pendapat Abdullah SP dan
kubu yang membela Hamka yang dikomandoi oleh HB Jassin dan kawan-kawannya.
Selain resensi tersebut salah satu sebab yang juga membuat isu ini menggulir
menjadi sebuah skandal besar tentu saja peran harian Bintang Timur dalam lembar
kebudayaan Lentera yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer yang dengan intens
menyediakan kolom khusus berjudul “Varia Hamka” yang menampung semua pendapat
pembaca untuk menanggapi isu ini.
Skandal plagiarisme Hamka yang
terekam di lembar-lembar Bintang Timur/Lentera sudah sulit ditemukan, kalaupun
masih ada mungkin sudah hampir lapuk dimakan usia dan tercecer di berbagai
tempat. Skandal terbesar di dunia sastra ini hampir saja terkubur
selama-selamanya dan hilang dari ingatan kita kalau saja buku Aku Mendakwa Hamka Plagiat – Skandal Sastra
Indonesia 1962-1964 yang disusun oleh Muhidin M Dahlan, kerani Indonesia
Buku ini terbit beberapa waktu yang lalu.
Kehadiran buku ini patut diapresiasi
karena dengan ketekunan seorang kerani sejati, Muhidin rela membuka-buka
lembar2 Bintang timur yang sudah menguning dan berbau apek untuk
mendokumentasikan dan menyatukan kembali halaman-halaman lepas yang tersebar di
Bintang Timur/Lentera antara 1962-1964 agar kembali diingat dan dibaca oleh
generasi kini.
Secara terstrukur buku ini mencoba
mengetengahkan kembali skandal plagiarisme Hamka ke hadapan pembacanya, dimulai
dari sinopsis Tenggelamnya Kapal v.d Wijk, resensi-essei pertama dari Abdullah
SP yang menyulut kehebohan dunia sastra di tahun 60an, kedudukan Hamka dalam
peta sastra Indonesia, bukti-bukti plagiat Hamka, pendapat dan pembelaan HB
Jassin terhadap Hamka, dan bab penutup yang mengaitkan isu plagiarisme Hamka
dengan isu plagiarisme teraktual di dunia sastra Indonesia.
Dalam bahasan-bahasan di atas,
hampir semuanya menarik untuk disimak, dalam buku ini terlihat jelas bagaimana
isu yang dilemparkan Abdullah SP ini bukannya tanpa dasar atau sekedar asumsi
kosong tanpa dasar, semua pendapat Abdullah SP disertai bukti-bukti dan
perbandingan yang ketat dan ilmiah sehingga Abdullah SP kukuh pada pendiriannya
bahwa Hamka adalah Plagiator!
Abdullah SP tidak hanya menurunkan
resensi yang berbentuk narasi, melainkan juga menggunakan metode “idea-script”
dan “idea-sketch” yang membandingkan dua roman itu dengan detail dalam beberapa
bagian dalam bentuk tabel perbandingan. Yang menarik, di masa itu penggunaan
metode ini baru pertama kalinya digunakan dalam sejarah Sastra Indonesia dalam
mencari kemiripan antara novel Hamka dengan novel Al-Manfaluthi. Hal ini
berarti dimulainya sebuah babak baru dalam sejarah sastra Indonesia.
Selain membeberkan analisa Abdullah
SP dalam resensi-essai nya, buku ini juga mengutip pendapat para pembaca harian
Bintang Timur/Lentera dalam kolom “Varia Hamka” yang memang disediakan oleh
redaksinya untuk menampung semua pendapat pembaca dalam kasus Hamka termasuk
tulisan-tulisan yang membela Hamka yang dibuat HB Jassin bersama teman-temannya.
Dalam salah satu pembelaannya HB
Jassin mengusulkan agar novel Magdalena yang ditulis oleh Mustafa Lutfi
Al-Manfaluthi dalam bahasa Arab itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
untuk mendapat perbandingang yang obyektif. Sesuai dengan saran HB Jassin,
novel tersebut akhirnya diterjemahkan oleh AS. Alatas dan diterbitkan dengan
judul Magdalena (Dibawah Naungan Pohon Tilita) pd tahun 1963. Sebenarnya
setahun sebelumnya Magdalena diterjemahkan oleh A.S. Alatas , novel
tersebut telah diterjemahkan oleh A.S. Patmaji dan dimuat secara bersambung di
Bintang Timur. Bagian dari kedua versi terjemahannya ini (Jusuf Hamzah vs A.S
alatas) juga disandingkan dalam buku ini.
Dengan diterbitkannya terjemahan Magdalena
oleh AS. Alatas, HB Jassin menggunakan kesempatan ini untuk memberikan
pembelaannya yang dimuat dalam kata pengantarnya sebagai berikut :
Pada Hamka ada pengaruh
Al-Manfaluthi. Ada garis2 persamaan tema, plot dan buah pikiran, tapi jelas
bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri....
Maka adalah terelalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki
tukang copet di senen (hal 147)
Menanggapi pendapat HB Jassin ini
Abdullah SP dan kawan-kawannya menyebutkan bahwa itu semua adalah dalih yang
dibuat-buat dan seluruh persyaratan definisi palgiarisme yang dikemukakan HB
Jassin sendiri terungkap dalam karya Hamka. Lalu bagaimana pendapat Hamka
sendiri? buku ini mengungkap bahwa Hamka bergeming dan memilih bungkam.
Singkatnya buku ini mencoba membeberkan
beberapa point penting dari artikel-artikel yang pernah dimuat di harian
Bintang Timur terkait kasus plagiarisme Hamka selama kurang lebih. Hal menarik
yang terungkap dalam buku ini adalah sebuah fakta bahwa sebenarnya Bintang
Timur telah menutup kasus Hamka ini tiga bulan setelah serangan bertubi-tubi
yang ditujukan pada Hamka tepatnya pada 19 November 1962.
Dalam surat resmi redaksi Bintang
Timur yang dimuat pada tgl 19 November 1962 itu terungkap bahwa redaksi
menerima larangan dari Peperda (Penguasa Perang Daerah) agar persoalan Hamka
tidak dimuat lagi di lembar kebudayaan Lentera/Bintang Timur. Namun
kenyataannya kehebohan kasus Hamka ini tidak berhenti begitu saja melainkan
terus membesar. Kasus plagiarisme Hamka ini baru benar-benar lenyap saat badai
taufan G30 S ikut mengenggelamkan kehebohan dan skandal sastra di atas kapal
Van der Wijk dan kapal Bintang Timur pada tahun 1965.
Satu hal yang membuat saya masih
penasaran dengan buku ini adalah siapa sebenarnya Abdullah SP si pemicu isu
plagiarisme Hamka, buku ini tak menjelaskan siapa sebenarnya Abdullah SP selain
keterangan bahwa beliau adalah penulis kelahiran Cirebon (1924) dan mulai
menulis sejak revolusi di majalah Republik – Cirebon.
Jika melihat metode perbandingan dan
tulisan-tulisan Abdullah SP dalam buku ini sepertinya beliau bukan orang
'sembarangan'. Ada yang menduga bahwa Abdullah SP adalah nama samaran Pramoedya
AT. Sayang buku ini tak mengungkap siapa sebenarnya Abdullah SP, apakah memang
penulis tak mengetahuinya atau memang sengaja untuk tidak diungkapkan? Tak ada
keterangan sedikitpun akan hal ini dari penulisnya
Sebagai sebuah buku yang mengkronik
kasus skandal sastra plagiarisme Hamka buku ini sangat bermanfaat bagi generasi
kini yang mungkin sudah tak pernah mendengar lagi kasus ini. Sebelum buku ini
terbit, hanya ada satu buku terkait yang ditulis oleh Junus Amir Hamzah dan HB
Jasin berjudul Van der Wijk dalam Polemik
terbitan Mega Book, Jakarta 1963. Sebenarnya Pramoedya AT dan Lentera saat
itu juga sedang mempersiapkan naskah berjudul Hamka Plagiat , sayangnya naskah tersebut tak sempat diterbitkan
menyusul tragedi G 30 S.
Dilihat dari karakteristik
pembahasan buku ini bisa dikatakan buku ini menjiwai ‘roh’ dari apa yang pernah
disusun oleh Pramoedya. Muhiddin M Dahlan dalam kata pengantarnya menulis
demikian
Buku yang di tangan pembaca ini, boleh jadi menjadi
pengantar untuk niat Pram dan kawan-kawan “Lentera” yang buru-buru sejarahnya
disembelih oleh Gestok 1965 dan diantara mereka di-Buru-kan. (hal 12)
Plagiat, Keributan, Omong Kosong,
dan Kehormatan
Buku ini dengan gagahnya ditutup
dengan bab Plagiat, Keributan, Omong Kosong, dan Kehormatan yang
mengungkap kasus-kasus plagiarisme di dunia sastra terbaru. Dalam bab ini
dibahas kasus-kasus plagiarisme terkini dengan bahasan yang detail seperti
kasus cerpen Perempuan Tua dalam Rasmohon karya Dadang Ari Murtono,
kasus puisi Kerendahan Hati Taufik Ismail yang diduga sebagai karya
jiplakan dari puisi Be the Best of Whatever You Are karya Douglas
Malloch, hingga kasus plagiarisme terkini yang menimpa Seno Gumiro Ajidarma
dalam cerpen “Dodolit Dodolibret” sebagai pemenang Cerpen Terbaik Kompas
2011 yang mirip dengan cerpen Tiga Pertapa karya Leo Tolstoy
Dari bab terakhir buku ini akan
terlihat bahwa kasus plagiarism dalam sejarah sastra Indonesia tak ada yang
sebegitu heboh dan seserius kasus plagiarisme Hamka. Kini kasus-kasus
plagiarisme hanyalah heboh sesaat untuk selanjutnya mereda dengan cepat. Tak
ada kelanjutan dan luruh dengan sendirinya.
Akhir kata belajar dari apa yang
terekam dalam buku ini seperti kasus Hamka kasus plagiarisme sastra Indonesia
tak pernah tuntas, hanya menimbulkan kegeraman dan polemik sesaat sebelum
terkubur dan terlupakan dalam sejarah sastra kita.
Dari kasus demi kasus yang terjadi
nyaris tak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Hukuman bagi orang yang
disangkakan plagiator di bidang sastra nyaris tidak ada. Hingga kini tak ada
kesepakatan yang jelas dari para sastrawan kita apa yang menjadi tolok ukur
sebuah karya sastra masuk dalam kategori plagiat atau tidak. Orang yang pernah
diisukan sebagai plagiator seperti Hamka, Chairil Anwar, atau
sastrawan-sastrawan lainnya tetap bisa berkarya dan menjadi tokoh sastra yang
disegani.
“Jangan-jangan soal plagiat, hanya penulis karya
dan Tuhan yang tahu. Dan para pencurinya tetap pada kehormatannya. “ (hal 229)
@htanzil
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.