|
emperankampus.blogspot.com |
Memasuki tahun 1998 gerakan mahasiswa (GM) mengalami booming yang
ditandai dengan kemunculan begitu banyak gerakan yang mengklaim diri sebagai
gerakan mahasiswa. Gerakan-gerakan itulah yang kemudian memobilisasi massa
mahasiswa atau pun masyarakat sampai dengan kejatuhan Soeharto pada Mei 1998.
Bahkan Senat-senat mahasiswa atau lembaga mahasiswa dan kelompok-kelompok
mahasiswa ketika berhasil memobilisasi massa turun ke jalan juga mengklaim diri
sebagai gerakan mahasiswa. Lalu apakah semua bentuk mobilisasi massa itu bisa
disebut gerakan mahasiswa? Lalu seperti apa sebenarnya gerakan mahasiswa yang
betul-betul mengusung tradisi perubahan yang sejati?
Sejarah Awal Gerakan Mahasiswa
Kemunculan Boedi Oetomo pada tahun 1908 merupakan titik awal
kebangkitan kaum terpelajar di perguruan Stovia Jakarta dengan berorganisasi
sebagai salah satu alat penyaluran politik mereka. Bahkan pemerintah menyatakan
tanggal kemunculannya sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang harus diperingati
setiap tahun. Terlepas dari benar atau salah klaim ini, karena sebenarnya
Sarekat Dagang Islam (SDI) lebih dahulu muncul pada tahun 1905, kemunculan Boedi
Oetomo merupakan indikasi awal dari kemunculan gerakan pemuda pelajar (periode ini belum ada istilah gerakan
mahasiswa). Munculnya kaum terpelajar ini merupakan hasil dari Politik Etis
Belanda di bidang pendidikan yang dimulai sejak awal abad 20. Namun politik apartheid
Belanda yang menguntungkan ras Eropa, Timur Asing, dan priyayi melahirkan
bentuk gerakan pemuda pelajar yang masih elitis karena banyak didominasi oleh
kalangan priyayi yang feodal. Sehingga banyak diungkapkan dalam sejarah bahwa
perjuangan Boedi Oetomo ini sangat bias dengan feodalisme Jawa, yang
tentunya belum berbicara tentang sebuah nation state Indonesia yang
merdeka dan mencakupi seluruh Hindia Belanda yang terjajah.
Pada periode tahun 1908 - 1930 ini, pemuda pelajar ini memakai media
kelompok-kelompok studi dan beberapa kelompok sudah memakai organisasi seperti Boedi
Oetomo. Namun pada masa awal kemunculannya belum ada suatu penegasan
orientasi yang anti-kolonial dan berskala nasional. Organisasi yang tumbuh
kebanyakan bersifat kedaerahan seperti Jong Celebes, Jong Sumatera,
Jong Minahasa, dan lain-lain.
Walau pun Ben Anderson menulis bahwa revolusi nasional dipelopori oleh kaum
pemuda pelajar, sebenarnya pada saat yang sama kekuatan rakyat juga sedang
mengkonsolidasikan dirinya. Sarekat Dagang Islam, sebuah organisasi massa
rakyat, lebih dahulu muncul pada tahun 1905. Bahkan serikat buruh pertama lahir
pada tahun 1897 dengan basis utamanya buruh-buruh kereta api dan pabrik tebu di
Jawa Tengah. Pada perkembangannya gerakan-gerakan rakyat ini bermetamorfosis
menjadi kekuatan-kekuatan sektoral yang sangat kuat dan banyak tersebar, mulai
dari organisasi buruh, organisasi dagang pribumi, organisasi partai, dan banyak
lagi. Bahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang deklarasi pada tahun 1917
telah mempunyai platform lintas sektoral antara sektor buruh, petani, pemuda,
dan kaum terpelajar; dan sudah mengagendakan sebuah pemerintahan bumiputera
yang bebas dari belenggu penjajahan dengan taktik non-kooperasinya.
Sementara itu pada saat yang sama, tahun 1917 juga, hal maju yang dibawa
oleh pemuda terpelajar adalah gagasan tentang sebuah nation state
Indonesia merdeka yang ditandai dengan munculnya Indisjtche Partij (IP)
yang bentuknya hanya seperti sebuah study club. IP yang didirikan di
Belanda oleh beberapa orang lulusan pendidikan Belanda seperti Hatta ini
merupakan sebuah loncatan besar bagi pemuda pelajar ini, karena telah berbicara
tentang sebuah Indonesia merdeka yang bebas dari belenggu penjajahan. Namun
satu hal yang bisa dicatat adalah, dialektika pemikiran IP tentang kemerdekaan
ini tidak lahir dari sebuah interaksi langsung dengan gerakan rakyat atau belum
mengenal bentuk gerakan yang lintas sektoral sehingga sangat khas borjuis (dan
tentunya elitis) sekali konsepsi Indonesia merdekanya. Lalu di mana letak
kepeloporan gerakan kaum pemuda pelajar ini? Gerakan rakyat sudah bicara anti
penjajahan dengan sekalian praksis perlawanan, sementara kaum terpelajarnya
masih berkutat di kelompok-kelompok studi dan berkoar-koar tentang kemerdekaan
Indonesia.
Barulah pada tanggal 28 Oktober 1928, momentum yang dikenal sebagai Sumpah
Pemuda, kaum pemuda terpelajar ini menegaskan diri bahu-membahu bersama-sama
atas nama satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa untuk sebuah Indonesia
merdeka. Namun ini terlambat, karena gerakan rakyat sejak lama telah melakukan
itu. Sehingga bisa dikatakan gerakan kaum pemuda pelajar ini, secara langsung
dan tidak langsung, dipelopori oleh gerakan rakyat! Sekitar tahun 1930-an ini,
berbagai kelompok studi dan organisasi-organisasi pemuda yang bersifat
kedaerahan mulai berpikir untuk menyatukan kekuatan dan bersama-sama dengan
rakyat untuk perjuangan pembebasan nasional. Spora-spora kekuatan ini mulai
bersatu dan menjadi embrio partai modern yang memiliki bentuk organisasi yang
lintas sektoral dan korporatis. Partai seperti Partai Nasional Indonesia (PNI)
muncul pada periode ini dan juga berbagai partai lainnya.
Gerakan Mahasiswa 1960-an sampai 1990-an
Indonesia merdeka, peta gerakan pemuda pelajar mengalami perubahan karena
pada waktu itu mulai bertumbuhan berbagai partai politik terutama ketika Hatta
mengeluarkan maklumat No-X tahun 1948 yang memperbolehkan didirikannya berbagai
partai politik. Gerakan pemuda pelajar kemudian terpolarisasi dalam berbagai
partai politik yang mempunyai banyak aliran politik, ataupun ideologi. Itu
terus terjadi sampai pada periode 1960-an ketika gerakan pemuda pelajar menjadi
alat mobilisasi, dan kaderisasi yang cukup masif dari partai-partai politik
yang ada. Periode selanjutnya semakin memperburuk citra gerakan pemuda pelajar
yang kemudian disebut gerakan mahasiswa. Mereka terlibat dalam konspirasi
dengan elit terutama militer yang menjadi dalang di balik kejatuhan Soekarno.
Orde baru justru lahir lewat justifikasi/ pembenaran yang dilakukan beberapa
elemen gerakan mahasiswa seperti KAMI, dan lain-lain. Dalam perjalanan
selanjutnya mereka kecipratan posisi elit di mana beberapa pemimpin mereka
menjadi anggota DPR bahkan menjadi menteri kabinet. Ini dikecam oleh Soe Hok
Gie (seorang tokoh mahasiswa ‘66) yang menyebutnya sebagai pengkhianat atau
lebih kasarnya “pelacur intelektual”. Gerakan pemuda pelajar pada waktu itu
mengalami perubahan orientasi yang cukup mendasar ketika tidak lagi dengan tulus
membaktikan gerakannya kepada pembebasan yang lebih luas terhadap kehidupan
massa rakyat namun menjadi gerakan yang elitis.
Pada tahun 1974 dan 1978, kembali GM dimanfaatkan oleh elit politik yang
sedang bertarung guna memperebutkan kekuasaan ekonomi dan politik. Hanya saja,
berbeda dengan tahun 1966, kekuatan elit
yang memanfaatkan mahasiswa dan GM tidak berhasil memenangkan pertarungan,
sebab pemerintahan rezim soeharto sangat dominatif dan hegemonik. Akibat protes-protes
mahasiswa ini rezim soeharto pada waktu itu mengkandangkan semua aktivitas
politik mahasiswa dengan mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus
dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/ BKK) pada tahun 1978 yang melarang semua
aktivitas mahasiswa yang mencoba mengkritisi negara. Bahkan pada waktu itu,
rezim membubarkan Dewan Mahasiswa (Dema), lembaga intrakampus yang cukup
radikal. Baru pada tahun 1992, setelah sekian lama beku, lembaga intrakampus
ini dibangun lagi dengan konsep Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) yang
merupakan pesanan negara. Inilah resiko gerakan mahasiswa yang terjebak gerakan
moral, terus menerus akan dijadikan kuda tunggangan untuk kepentingan elit
politik yang sedang melakukan pertarungan memperebutkan tampuk kekuasaan.
Sementara di tahun 1980-an awal GM masuk kembali ke habitatnya sebagai
komunitas intelektual dengan jalan mendirikan studi-studi club guna
pembelajaran terhadap teori, konsepsi, pandangan filsafat, dan analisis
terhadap problem-problem yang dihadapi oleh rakyat. Persis seperti yang
dilakukan aktivis-aktivis pemuda pada saat penjajahan kolonial Belanda. Dalam
berbagai studi club yang ada, perdebatan diarahkan untuk mengkritisi model
pembangunan yang developmentalistik-kapitalistik yang terbukti banyak merugikan
rakyat. Namun semuanya hanya sebatas pada NATO (no action talk only)
yang tidak pernah di wujudkan dalam lapangan praksis sebagai perwujudan konkret
dari apa yang mereka yakini. Perwujudan-perwujudan dalam bentuk advokasi
terhadap kasus-kasus rakyat, protes-protes jalanan, belum menunjukkan pola
gerakan yang terorganisasi dengan baik. Masih mengalami kebimbangan antara
pilihan gerakan moral ataukah gerakan politik.
Ketika memasuki tahun 1990, GM mengalami perubahan. Gerakan politik
merupakan pilihan yang paling mengemuka. Sekalipun tetap ada yang memilih
gerakan moral. Pilihan gerakan politik
ini diwujudkan dalam strategi dan taktik politik yang nyata, dengan membentuk
organ-organ perlawanan lokal maupun nasional dalam bentuk front aliansi sesama
organisasi mahasiswa, maupun aliansi lintas sektoral. Pada periode ini pulalah
organisasi-organisasi perlawanan memilih nama yang beragam pula. Nama
organisasi menunjukkan pilihan ideologi dan politik yang beragam pula. GM
banyak yang mulai masif melakukan pengorganisiran, pendidikan politik, sampai
mobilisasi massa mahasiswa dan rakyat yang besar dalam tingkat lokal maupun
nasional. Sedangkan pada metode perjuangannya ada yang menggunakan metode aksi
massa (bergaris massa) secara sektoral maupun lintas sektoral dengan membangun
aksi bersama, maupun front taktis.
Namun sebagai perbandingan akan dikemukakan mengenai dinamika sejarah
gerakan mahasiswa pada periode ini. Terutama pasca pemilu 1992, ketika
pemerintah begitu refresif dalam menjalankan kebijakan pembangunan yang
terlihat pada kasus perlawanan warga Santa Cruz Timor Timur, Aceh, dan
peristiwa Tanjung Priok, kasus Nipah, Lampung, dan warga Kedung Ombo.
Peristiwa-peristiwa ini memaksa banyak gerakan mahasiswa mengadakan protes
dengan melakukan aksi-aksi jalanan.
Juga pada tahun-tahun ini, di Yogyakarta sendiri berdiri
organisasi-organisasi mahasiswa yang progresif. Berdirinya Forum Komunikasi
Mahasiswa Yogyakarta (FKMY) di tengah-tengah kebekuan politik Orde Baru
merupakan sebuah lompatan besar gerakan mahasiswa untuk lebih serius memformat diri
sebagai sebuah gerakan politik. FKMY ini kemudian yang bermetamorfosis pada
tahun 1992 menjadi Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta yang berafiliasi dalam
Forum Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) dan Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta
(SMY). Kemudian memasuki paruh tahun 1995-an sampai dengan tahun 1998
intensitas gerakan semakin meningkat. SMY pada sekitar tahun 1995 mulai juga
mengkonsolidasikan kekuatan secara nasional dan lalu membentuk Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Pada proses pengkonsolidasian SMY
ini, terjadi perpecahan yang kemudian memunculkan, pada tahun 1998 Solidaritas
Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR) yang mempunyai basis di beberapa
kampus di Yogyakarta.
Refleksi Gerakan Mahasiswa ‘98
Dalam sejarah Indonesia, tahun 1998 GM dicatat dengan tinta emas.
Tumbangnya rezim otoriter birokratik Orde Baru yang sudah berdiri 32 tahun oleh
GM. Mobilisasi besar-besaran massa mahasiswa, sampai menginap di gedung DPR/
MPR dengan satu common enemy yaitu Soeharto. Korban-korban jiwa yang
berjumlah puluhan sejak tahun 1996 sampai 1999. Belum lagi yang mendapat
luka-luka fisik, intimidasi aparat, penculikan, dan trauma politik. Sebuah
perjuangan tanpa pamrih yang sangat khas mahasiswa, dan hanya mengagendakan
reformasi dan Soeharto turun dari jabatannya.
Sekilas kita akan mengatakan: hebat! Padahal jika dilihat dari
tuntutan-tuntutan yang diteriakkan mahasiswa dengan penuh limbahan darah itu,
apakah berhasil? Agenda reformasi yang dituntut sampai sekarang belum
melihatkan hasil yang signifikan. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme masih banyak
dan semakin menjadi-jadi. Kekerasan terhadap rakyat masih sering kita dengar di
mana-mana. Soeharto memang turun, namun apakah aparatusnya berganti? Malah
elit-elit politik berebutan kursi. Elit-elit oportunis semakin kelihatan wajah
aslinya. TNI malah sudah membuat KODAM baru di Aceh. Sementara dwi fungsinya
masih tetap ada. Lalu apa yang kita banggakan dari tahun 1998 itu?
Kelemahan terpenting yang diidap oleh gerakan mahasiswa ’98 atau secara umum
gerakan mahasiswa adalah rapuhnya perangkat politik yang dimiliki. Perangkat
politik GM ’98 bisa dikatakan prematur, sehingga output perubahan yang
dihasilkanpun hanya sebatas yang telah disebutkan di atas. Perangkat ini
meliputi tiga level, pertama infrastruktur politik yaitu konstituen atau basis
massa. GM tidak memiliki sebuah basis permanen dan material. Tidak permanen
karena status sebagai mahasiswa hanya sekitar 4 sampai 7 tahun sementara gerak
perubahan politik tidak terjadi secepat itu. Dikatakan tidak memiliki basis
material karena pola pengorganisasian mahasiswa tidak didasari atas sebuah
kebutuhan yang material, yang itu terlihat dari alasan-alasan yang beragam dari
anggota untuk masuk ke organisasi. Sehingga kondisi material seperti ini menghadirkan
persoalan yang terletak pada level kedua yaitu lemahnya instrumen yang
menterjemahkan ide-ide perubahan ke massa. Level kedua ini terletak pada apa
yang disebut organisasi. Lalu ini membuat lemahnya level ketiga yaitu
suprastruktur politik atau pelembagaan kekuatan di dalam konstelasi kekuatan
politik, yang disebut juga negara. Sehingga wajar-wajar saja jika semua gerakan
mahasiswa akan mudah ditunggangi oleh kekuatan elit politik yang siap dengan
perangkat politiknya.
Seharusnya dengan belajar dari kejadian ini, harus ada sebuah reposisi
besar-besaran yang harus dilakukan gerakan mahasiswa. GM harus mempersiapkan
sebuah perangkat politik yang kuat dan kontinu. Harus ada pembongkaran
besar-besaran di kepala mahasiswa, bahwa menjadi aktivis bukan hanya semasa
berstatus mahasiswa. Sehingga kesinambungan konstituen massa tetap terjaga. GM
harus mulai difungsikan sebagai terminal bagi pemberangkatan lebih jauh
kader-kader yang nantinya siap dalam medan pertempuran untuk perubahan. Harus
ada sebuah bentuk organisasi yang lebih luas daripada sekedar sebuah organisasi
mahasiswa. Dengan organisasi yang lebih luas inilah, perebutan atau bermain di
wilayah suprastruktur politik menjadi suatu hal yang mungkin. Keberhasilan
mengkonsolidasikan kader-kader ini hanya bisa dilakukan jika ada sebuah proses
ideologisasi atau pendidikan yang berjalan secara sistematis dan
terencana.
Gerakan
Mahasiswa Kekinian
Tadi telah dievaluasi, kelemahan-kelemahan yang dimiliki GM dari dulu
sampai sekarang. Namun bukan berarti kondisi subyektif ini menjadi sebuah
apologi bagi gerakan mahasiswa untuk berhenti berkiprah dalam gerak perubahan.
Masifnya demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 terutama didorong oleh kondisi
obyektif resesi ekonomi, sehingga walau seperti apapun kondisi subyektif, GM
tetap harus melakukan percepatan. Lemahnya kondisi subyektif memang sangat
melemahkan pembacaan terhadap kondisi obyektif, sehingga sering ada kegagapan
GM ketika menerima suatu perubahan. Hubungan dialektis antara dua hal inilah
yang seharusnya dilakukan oleh sebuah GM yang progresif. Ketika kondisi
obyektif tidak mendukung, maka harus ada sebuah pengkondisian terhadap GM agar
siap dengan agenda perubahan. Begitupun sebaliknya, kondisi obyektif seharusnya
menjadi media konsolidasi untuk penguatan kondisi subyektif.
Pada sisi obyektifnya, ada dua tugas berat yang dihadapi mahasiswa.
Pertama, ia sebagai kekuatan pressure untuk membuka ruang di tingkatan
demokrasi nasional dengan memberikan perlawanan yang meluas baik antar GM
maupun aliansi dengan sektoral. Kedua, ia di hadapkan pada permasalahan
pendidikan yang harus pula disikapi terutama permasalahan industrialisasi
kampus dan pendidikan politik mahasiswa. Hal yang paling material dan dekat
dengan yang dihadapi massa mahasiswa adalah masalah pendidikan itu sendiri.
Maka selain melakukan aliansi antar elemen GM di luar kampus, juga harus
menggalang aliansi dalam kampus untuk menyikapi permasalahan pendidikan dan
represifitas kampus yang akhir-akhir ini meningkat.
Pada sisi subyektif, pertama, basis massa harus digarap secara serius
dengan adanya sebuah organisasi yang secara intens dan sistematis memberikan
panduan perjuangan bagi kader-kadernya. Ini sekali lagi mempunyai hubungan
dialektis dengan agenda politik menyikapi kondisi obyektif, yaitu bagaimana
pembangunan kekuatan intersektoral merupakan sebuah bagian dari penguatan
konstituen massa. Kedua, adanya media konsolidasi pasca mahasiswa untuk menjaga
kesinambungan gerakan mahasiswa itu sendiri. Ini nantinya akan menjawab
kebutuhan level paling atas dari perangkat politik untuk kekuatan perubahan.
Nah, sangat berat memang. Akan tetapi sebuah
gerakan mesti memakai pola perubahan yang terus menerus kontinue seperti ini
karena kita banyak belajar dari sejarah perubahan bahwa bagaimana pun perlu
orang-orang yang menjadi martir bagi perubahan yang didedikasikan untuk
pembebasan rakyat yang selama ini masih terpinggirkan oleh sistem yang menindas
selama ini.
Castro (Dosen UNMUL Samarinda)
pada akhirnya, gerakan mahasiswa hanyalah mitos, it's fact !
BalasHapusPosting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.