emperankampus.blogspot.com |
Apakah ini murni ketidak-demokratisan-nya birokrasi kampus
atau ada hal lain. pada dasarnya tulisan ini tidak terfokus menyoroti sikap
kesewenang-wenangan birokrasi kampus, melainkan mempertanyakan bagaimana
kesolidan mahasiswa (kelompok maupun individu) dalam menyikapi hal tersebut. Sebelumnya
pelbagai persoalan yang mengindikasikan penyempitan ruang demokrasi kampus
seperti pelarangan berorganisasi yang disampaikan secara implicit oleh ketua STAIN
Parepare, kemudian pelarangan berkegiatan dimalam hari diatas 21:30.
Selanjutnya, DEMA (Dewan Mahasiswa) bersama dengan panitia
penyelenggara LKPKM 2017 dianggap telah melanggar regulasi kampus yang belum
jelas atas dasar apa dibuatnya (bahkan terancam akan dihadapkan pada siding kode
etik). Kemudian hal tersbut, imbasnya pun ke Organisasi Mahasiswa lainnya,
mulai dari penahan SK hingga penyumbatan subsidi anggaran yang kemudian diketahui
bersama bahwa hal demikian adalah (salah-satu) yang menopang kreatifitas dan
keterampilan mahasiswa di internal kampus.
Kembali pada uraian sebelumnya bahwa tulisan ini tidak
sedang memperkuat argumentasi tentang regulasi tersebut benar telah menimbulkan
indikasi penyempitan ruang demokrasi kampus, melainkan menanyakan dimana
pentolan-pentolan kampus saat kondisi demikian dihadapi, bagaimana bisa
ke-apatisa-an mahasiswa justru tidak terkikis disaat tengah dihimpit ruang
berkreasinya.
Info terakhir yang kami dapatkan terkait penyikapan
mahasiswa terhadap penahanan SK pun seolah menunjukkan ketidaksolidan semua unsure
mahasiswa. Walaupun telah diadakan rapat oleh beberapa unsure mahasiswa yang
difasilitasi oleh DEMA, tetapi hasilnya tidak lebih baik. Bagaimana bisa
organisasi kemahasiswaan lainnya menyerahkan penyikapan awal pada Dewan
Mahasiswa, benar jika dikatakan bahwa “itulah tugas dari pada Dewan Mahasiswa”
tetapi bukan itu yang harusnya jadi tumpuan. Persoalan ini persoalan bersama,
bukan hanya DEMA yang terkena imbasnya, melainkan semua unsure mahasiswa Ormawa
maupun individu.
Ketidakcakapan dalam menyikapi hal tersebut kemudian
melahirkan ke-apatisan mahasiswa terhadap persoalan-persoalan yang tengah
dihadapinya. Bukan hanya itu, ketidaksolidan pun kian dipertontonkan oleh
Ormawa-ormawa kampus, mulai dari ketidakmampuan menggerakkan secara massif unsure-unsur
vital seperti Pers Mahasiswa yang berada dikampus
kemudian ketidakmampuan mengkonsolidasikan kekuatan dari mahasiswa secara
keseluruhan, yang kemudian menyeragamkan pahaman bahwa persoalan yang tengah
dihadapi adalah persoalan bersama dan sudah seharusnya disikapi bersama-sama. Toh
tidak melulu harus turun kejalan sebagai bentuk penyikapan, walaupun hal
tersebut juga menjadi salah-satu opsi jika keputusan tidak menguntungkan kedua
belah pihak atau Deadlock.
Sudah saatnya mengkonsolidasikan semua unsur, sudah saatnya
menggerakkan secara massif unsur vital seperti Lembaga Pers Internal maupun Eksternal, UKM Seni dan budaya, dan unsur atau lembaga lainnya (agar tidak melulu dianggap sebagai tameng birokrasi kampus). Mengkonsolidasikan
secara massif massa mahasiswa, dengan pertemuan-pertemuan, dengan
pertunjukan-pertunjukan seni, pemberitaan-pemberitaan atau berusaha mem-blow up
isu tersebut ke publik. Dilain sisi, unsur yang lain pun tetap melakukan
penyikapan dengan negosiasi sebagai bentuk perlawanan administratif. Sehingga persoalan
demikian segera terselesaikan tanpa merugikan pihak birokrasi maupun mahasiswa,
karena jika hanya melakukan permintamaafan oleh mahasiswa dalam hal ini DEMA
dan Panitia LKPKM, secara tidak langsung meng-amini regulasi tersebut, yang
pada dasarnya telah kami uraikan bahwa hal demikian adalah salah-satu bentuk
penyempitan ruang demokrasi mahasiswa, ruang berkreasi mahasiswa, ruang
bersuara mahasiswa.
Anonim
kalo bisa nama lembaga dihapus saja bro
BalasHapusPosting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.