Andai DILAN Kuliah di Parepare


Andai Dilan Kuliah Di Parepare - Idam Bhaskara
Fenomena Dilan masih hangat menjadi topik perbincangan maya di sosial media. Jujur saja, saya belum membaca karya Kang Pidi Baiq yang dari bukunya kita mengenal Dilan, apalagi filmya. Maaf bukan tak mau hanya saja belum ada bioskop di Parepare, bahkan layar tancep pun tak terlihat lagi ramainya, mungkin karena Lapangan A. Makkasau sudah semakin nurut pada tuntutan zaman, yah walau tidak sampai pada pengadaan Bioskop (momen kampanye menjelang pilkada :D).

Menariknya kemudian ialah, entah apa yang begitu spesial dari remaja penunggang kuda besi itu sehingga begitu digandrungi anak gadis remaja, dicemburui anak remaja laki-laki. Apakah semua pembaca buku Kang Pidi Baiq seperti itu ? atau apakah karena bukunya di film-kan yang kemudian si Dilan diperankan oleh Iqbal eks. CJR ? nyatanya Dilan terlanjur telah membuat histeris gadis remaja bahkan ada yang sampai putus hubungan hanya karena  si cewek memaksa si cowok berperangai seperti Dilan. Aduuuhh mohon melipir sejenak dari fantasimu dek, sebelum kau bisa membeli pembalut dari uang mu sendiri.

“Srrruuuutttt….” Seruput kopi dulu sebelum lanjut. Nah tetapi menarik juga melihat fenomena Dilan yang seolah menjadi barometer gadis remaja hari ini dalam mencari pasangan hidup, pasangan hidup disaat mereka sudah siap menikah atau justru kepaksa karena insiden dibalik kelambu. Tapi biarkan saja gadis remaja di kota lain yang mengagumi Dilan dan menjadi intensitas berlebihan, untuk kita cukup menjadi tahu saja seperti apa Dilan diluar gambaran yang dinarasikan lewat buku atau lewat Iqbal Ramadhan yang memerankan Dilan dalam Dilan 1990 the movie, karena tak ada yang tahu apakah Dilan pernah pacaran di ruangan UKS kemudian keciduk sama guru BP/BK seperti anak SMA pada umumnya. Ehh.. gak pada umumnya deng, tapi jujur saya pernah melakukan itu.

“Ssrrruuuutttttt….” Seruput kopi hingga tersisah ampas, toh warung sudah mau tutup kata si Ibu. Sempat terpikir dan menjadi obrolan ringan (dalam arti sebenarnya : canda-candaan mahasiswa). Obrolan itu dipantik oleh sebuah pernyataan absurd, andai saja Dilan hidupnya di Parepare dan ia melanjutkan kuliahnya di STAIN Parepare. “kenapa bukan UMPAR boscu ?” celetuk temanku. “ada mantanku di umpar sund*la !” jawabku dengan tegas, berwibawa serta penuh keikhlasan, hhuuufftt !

Menarik juga ternyata si Dilan Parepare ini menjadi bahan obrolan, nah anggaplah Dilan sudah menamatkan sekolahnya di salah satu SMA negeri Parepare, yang kemudian karena Milea tak lulus di UNHAS akhirnya ia pun ngikut kuliah di STAIN Parepare.

Pertanyaan pertama yang dilontarkan temanku saat itu ialah, kira-kira Dilan mengambil jurusan apa ? menurutku-yang berdasarkan pengamatan atas intensitas media akhir-akhir ini, ditambah (kurang lebih)  2 menit trailer film Dilan-cukup memberi referensi guna menciptakan Dilan versi Parepare, Dilan yang sedikit tengil itu bisa jadi memilih Tarbiayah dengan Prodi Pendidikan Islam atau Bahasa Inggris. Tidak, jangan pikir saya mendiskreditkan Tarbiyah sebagai jurusan yang menjadi pilihan bocah tengil yang kadang budaya SMA nya masih kebawa. Kita tidak sedang bicara baik buruknya jurusan atau prodi, toh ini berandai-andai juga kok. Lanjut, pembenaran mengapa Dilan memilih prodi PAI atau PBI, alasannya karena Milea. Dilan si bocah tengil itu sebenarnya di awal tak pernah niat kuliah, hanya saja pengen bebas mencumbui Milea di kos-kosan ketika kuliah di Makassar, eh tapi ternyata Milea kelempar balik dan akhirnya malah kuliah di STAIN Parepare. Nah Dilan memilih PAI sudah pasti (sekali lagi) karena Milea juga, Dilan tak bisa jauh-jauh dari Milea sebenarnya, karena perangai seperti Dilan ini memang agak susah di tebak, berpenampilan rebel tapi penyayang loh. Milea sendiri memilih PAI karena dimasa mendaftar sebagai mahasiswa baru di UNHAS ia tinggal se-kos dengan senior yang aktif di komunitas hijabers, bahkan Milea sering ikut dalam kajian komunitas tersebut selama masa pendaftara di Makassar. Hal itulah yang kemudian merubah pola pikir Milea yang secara tidak langsung terkontaminasi oleh fenomena hijrah para mahasiswa-mahasiswi. Kasihan si Dilan, status pacaran terancam oleh istilah Ta’arufan. Selanjutnya menjadi alasan mengapa memilih PAI, guna menciptakan lingkungan yang mampu mengarahkannya menjadi wanita sholehah dan istiqomah di jalan tersebut, Alhamduuu…. “Lillaahhhh….” Jawab serentak teman-temanku.

Selanjutnya ialah pertanyaa berikut, apakah Dilan akan menjadi mahasiswa akdemisi akut, atau mahasiswa organisatoris yang kerjanya di basecamp mulu.. di basecamp mulu… di basecamp mulu… “husshh … sudahi mi, kentara sekali kayak massinggung” tegas temanku mencoba mengingatkan (untuk menyamarkan “kebencian”). -Atau apakah Dilan akan aktif di keduanya atau mungkin justru tidak ada sama sekali. Dilan dengan tampilan dan pembawaan rebellion seperti itu bisa dipastikan berorganisasi, tapi tidak diawal semester, yang bagi dirinya begitu menyibukkan dan membosankan. Dilan akan berorganisasi di semester-semester 3/4, didorong karena Milea yang sudah semakin cerdas darinya hingga tak bisa di kibuli (baca: diballei) lagi. Terlebih karena tingkat kedewasaan yang mulai terarah, serta mulai meng-up grade nalar berpikirnya. Tetapi kembali lagi bahwa, Dilan yang memilih menyibukkan diri dengan kesibukan akademisi bukan karena menopang nilai agar tetap baik kedepannya, sebagaimana Sisfo STAIN Parepare yang mengungkung ruang kreativitas mahasiswa, dengan memaksa mahasiswa menjadi ternak kampus, kesibukan itu beralasan agar bisa tetap dekat sama Milea.

Anggaplah Dilan sudah semester 3 atau 4 seperti perkiraan sebelumnya, jika pertanyaan selanjutnya adalah rasa ingin tahu dimana Dilan menyibukkan diri setelah merapihkan urusan akademisnya, menurutku sosok seperti Dilan ini akan aktif di Mispala dan sesekali aktif bersama mereka yang doyan mengutip atau menulis penggalan-penggalan puisi modern di timeline facebooknya, karena sudah pasti Dilan akan menjadi sastrawan millennial juga, sebagaimana gejala dan fenomena status up date mahasiswa di social media hari ini, yah menjadi bagian dari generasi pecandu senja juga pastinya. Oh iya, kemudian bagaimana dengan organisasi eksternal. Apakah Dilan akan melibatkan dirinya di salah satu organisasi eksternal kampus ? kupikir tidak ! alasannya karena Dilan bukan tipe mahasiswa event organizer.

Lalu bagaimana dengan Milea ? Tenang saja, status pacaran Dilan dan Milea tidak akan se-ekstrim berubah menjadi ta’arufan, karena Milea sendiri belum sampai pada pemikiran itu, setidaknya kepala sudah tertutupi dulu dengan kain suci, begitu katanya. Dilan dan Milea akan tetap berhubungan sebagaimana mereka di masa SMA, posisi Dilan di hati Milea tidak akan tergantikan walau banyak mahasiswa lain yang piawai menyusun kalimat konspirasi retoris ngibulin cewek, begitupun sebaliknya.  

Lalu siapa Milea sebenarnya ? Sosok seperti Milea ini banyak kok di STAIN, kita menggarisbawahi saja bahwa Milea adalah mahasiswi yang seperti Milea saat di gebet Dilan. Atau anggap saja Milea adalah mereka yang sering mengutip kata-kata bijak romantic di status WA-nya. Sudahlah, kita fokuskan saja pada Dilan.

Hubungan Dilan dan Milea tetap terjaga, walau kadang-kadang Dilan disibukkan dengan agenda nanjak gunung, begitupun Milea yang tetap menyempatkan jalan, walau kadang sibuk ngurusin makalah sebagai tugas kampus, atau karena aktif di kajian-kajian muslimah. Walau pun hari-hari mereka tetap romantis tetapi hal demikian belum mampu mendorong Milea menggantikan posisi Ibu Ainun sebagaimana Bapak Habibie memperlakukannya. Toh Dilan dan Milea versi Parepare ini tidak akan di sponsori oleh Pemerintah Kota dalam pembuatan Patung atau monumental. Dan lagi pula Dilan (sekali lagi) bukan tipe seperti itu, karena menurutnya, lebih baik mengurusi rakyat miskin, memperbaiki sarana prasarana seperti kesehatan, pendidikan, dll. ketimbang membuat patung. Itu kata Dilan loh Pak.

Hubungan mereka tetap berjalan sebagaimana yang telah digariskan imajinasi saya, dan untuk selanjutnya kalianlah para pembaca yang menentukan bagaimana Dilan dan Milea di masa-masa menjadi mahasiswa akhir atau setelah menjadi pengangguran bergelar sarjana dihari esok.

Kita akhiri saja mengandai-andaikan Dilan ada di Parepare. Bukan itu pokok perkara yang ingin di gariskan sebagai dalil dari tulisan absurd ini. Intensitas dan kehebohan Dilan di social media memang tak bisa dibendung apalagi frontal melawannya, fenomena Dilan yang begitu massif dan hegemonic ini tak bisa di hentikan begitu saja, kita cukup tidak ikut-ikutan memperuncing euphoria, apa lagi jika ada seseorang yang naik ke podium kemudian mengaku sebagai Dilan di dunia nyata, oh Tuhan jangan sampai terjadi, karena dampaknya akan memecah Ummat dalam hal ini para pembaca karya Pidi Baiq. Salah satu dalilnya ialah, bagaimana kemudian tetap menempatkan Dilan sebagai bagian dari hiburan semata, karena jangan sampai fenomena Dilan menggiring kefokusan kita sehingga lupa konstalasi politik negeri yang tengah memanas menjelang pemilu 2019.

Untuk gadis remaja Parepare atau mahasiswi Parepare, cukup ! jangan memaksakan pacar kalian menjadi Dilan. Menjadi Dilan itu susah, dua kali sebulan nangkring di bengkel ganti oli motor. Lagi pula kalau di ajak jalan, mentok-mentok ke tanggul Cempae, atau mungkin di sepertiga malam mojok di Lapangan A. Makkasau nontonin balapan motor. Selanjutnya kalau pun gadis remaja ini begitu menggandrungi dilan sampai-sampai selalu dibuat penasaran oleh sosoknya, dan kalau karakter Dilan ini benar-benar ada atau nyata, bisa jadi kalian tidak akan mau memacarinya. Dilan sudah menua pasti, begitu pun si Dilan yang menurutku tidak akan mau juga memacarimu, toh dia bukan tipe phedofilia dan juga tidak seperti orang-orang yang mengaku menjalankan sunnah dengan berpoligami, tapi nyarinya yang cantik dan muda, kan kamvret !

Nyatanya Dilan kini menjadi idola dan barometer gadis jaman now mencari pacar. Oh Tuhan beritahu aku, karomah apa yang Engkau titipkan pada Dilan. Sampai-sampai gadis remaja dibuat (seolah) histeris karena perangainya. Tapi tidak ! saya tidak ingin menjadi Dilan bukan karena itu, tapi bahkan lebih mulia dari pada itu.

Menjadi Dilan sebenarnya mudah saja, karena menjadi Dilan tidak serumit membuat barongko dengan daun singkong. Menjadi Dilan sebenarnya tidaklah sulit, dan tidak seribet menggoreng telor mata sapi  dengan rice cooker. Karena menurut Kang Pidi Baiq, “Dilan adalah Hamba Allah sama seperti kita semua, Dilan adalah siapapun yang sama seperti Dilan dalam mendapatkan Milea”tapi sayang sampai sekarang saya belum tahu bagaimana Dilan mendapatkan Ridho Allah Subhanahuwataa’la.

Sudah lah, kita akhiri saja tulisan ini dengan dalil selanjutnya, bahwasanya tidak perlu kita berusaha menjadi Dilan, karena menjadi Dilan hakikinya adalah bagaimana menjadi diri sendiri. Sebagaimana ungkapan Kang Pidi disalah satu acara : “jangan berusaha menjadi orang lain, berusahalah menjadi dirimu yang lebih baik dari kemarin. Karena berusaha menjadi orang lain, secara tidak langsung kau telah mendzolimih dirimu yang khas”
 
IdamBhaskara
(Graphic Designer Ngemper!)

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama