Melihat Perjuangan Feminisme Dalam Bingkai Keberagaman Gender - Qory Dellasera |
Namun, ada yang agak rancu ketika ketidakadilan gender hanya
ditarik menjadi problem pokok perempuan secara biologis. Penindasan terhadap
perempuan sangat jelas terlihat ketika perempuan memilih identitas gender,
ekspresi gender dan orientasi seksualnya atau yang kita kenal dengan istilah
“keberagaman gender” (SOGIE). Ketika budaya di Indonesia yang memiliki
keberagaman gender ini dilarang bahkan bisa dipidanakan, disitulah keberpihakan
para feminis dipertanyakan.
Gender tidak melulu berbicara soal equity, tetapi lebih pada
equality. Beberapa feminis mengartikan perjuangannya dalam satu dimensi:
kesetaraan perempuan secara biologis. Bagi saya, ini sangat bias
gender. Inilah tantangan sebenarnya bagi gerakan feminis. Para feminis
yang menolak merangkul perempuan dengan keberagaman gendernya, sebaiknya
memperbaiki kembali pemahaman tentang gender dan seksualitas. Feminisme
gelombang ketiga telah memulainya sejak 1990an dan masih menjadi perdebatan
keras hingga saat ini.
Frederich Engels dalam bukunya Asal Usul Keluarga,
Kepemilikan Pribadi dan Negara (2011, hal xxxii) juga telah menjelaskan
bentuk-bentuk penindasan perempuan. Engels mengatakan:
“eksploitasi kelas dan penindasan seksual lahir bersamaan
dengan tujuan melayani kepentingan sistem kepemilikan pribadi”. (hal xxxii)
Sangat jelas Engels berusaha memahamkan kita bahwa
penindasan terhadap perempuan bukanlah menjadikan laki-laki sebagai akar
penindasannya. Penindasan kelas, dimana seksisme telah merasuk kuat di dalamnya
adalah akarnya. Ini artinya, perjuangan feminisme bukanlah hanya menjadikan
perempuan secara biologi menjadi subjek yang tertindas dan harus melawan,
melainkan juga perempuan dengan keberagaman gender yang dipilihnya.
Di Indonesia, masih sangat sedikit organisasi atau feminis
(secara individu) yang juga melakukan perlawanan atas penindasan berbasis
gender. Kalaupun ada, kebanyakan terjadi pada ruang-ruang diskusi,
kampanye-kampanye di media atau kecaman-kecaman atas kasus kekerasan dengan membuat
dan menyebarkan petisi online, atau melakukan seremonial tabur bunga atau
menyalakan lilin ketika terjadi kasus kekerasan. Saya tidak menganggap ini
adalah tindakan yang keliru. Dan sepertinya, feminisme di Indonesia adalah
feminisme yang eksklusif dan hanya menjadi konsumsi kelas menengah saja;
membumbung dari atas tapi tidak sampai ke bawah. Akhirnya, gerakan ini tidak
pernah menyentuh akar penindasan yang dialami.
Sementara, terkotak-kotaknya feminisme di Indonesia justru
membawa kemunduran bagi gerakan feminisme itu sendiri. Saya kira, keberagaman
gender telah menjadi nafas bagi perjuangan feminism. Perempuan dengan
sendirinya menjadi subjek yang plural, yang akhirnya menjadi penentu utama
kemana arah perjuangan feminisme ke depan.
Tentunya, ladang pertempuran untuk para feminis ada di akar
rumput. Disanalah perempuan dengan keberagaman gendernya mengalami penindasan
yang sebenarnya. Bentuklah komunitas-komunitas disana, buatlah pendidikan atau
sekolah-sekolah agar mereka paham tentang apa dan bagaimana perjuangan yang
sesungguhnya, serta mengajak mereka untuk bicara menyebarluaskan perjuangan.
Dengan demikian, feminisme bukan lagi teori yang mengawang-awang. Disanalah ia
seharusnya berpijak, membumikan dirinya pada massa rakyat tertindas.
Penulis : QoryDellasera (Peneliti Kesetaraan Gender
/ Aktivis Kemanusiaan)
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.