Menyeret Mahasiswa Ke Kelas Pekerja


Menyeret Mahasiswa Ke Kelas Pekerja / Bustamin Tato
Tak ada yang bisa memungkiri, institusi pendidikan telah jadi pabrik pencetak pekerja. Mahasiswa dididik sebagai calon buruh bagi kebutuhan pasar. Disini kian nyata bahwa institusi pendidikan tak lebih dari peninggalan Orde Baru (Orba). Orde yang menganut paham ekonomi sebagai panglima. Reformasi 98 tidak hanya gagal membawa perubahan menyeluruh. Reformasi 98 juga telah ditelikung dan ditunggangi sisa-sisa Orba serta kaum reformis gadungan. Hasilnya setelah sepuluh tahun reformasi, pendidikan makin diliberalisasi untuk mangsa pasar bebas. Memang benar kata Rosa Luxemburg. Reformasi bukan berarti perbaikan. Ia hanya modifikasi kompromistis-reaksioner atas tatanan lama.

Menelusuri Pengkhianatan Antek-Antek Nekolim
Kini 18 tahun sejak Orba tumbang, kapitalis-komprador masih hidup dan berhasil merestorasi diri. Imperialisme malah dilindungi dengan sekian regulasi hukum. Memang tak heran, karena pemerintahnya bercorak kapitalis. Termasuk mereka yang mendominasi arah ekonomi seperti Boediono (kini terpilih sebagai Wapres), Sri Mulyani Indrawati, Mari Pangestu, dan Sofyan Djalil. Semuanya getol mengampanyekan privatisasi. Karenanya UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, sampai UU BHP bisa dilahirkan.

Tapi kurang tepat kalau kita anggap UU BHP hanya dosa pemerintah. Kita harus memandang jauh. Look beyond. Penguasa sejak era orde baru hingga kini bukanlah bos utama agenda kapitalis di Indonesia. Sejak dulu, kaum borjuis-kapitalis negara-negara dunia ketiga terlalu lemah. Bermental pengecut dan tunduk kepada kepentingan kaum Neo Kolonialis-Imperialis (Nekolim). Jadi jangan dibandingkan dengan Inggris dan AS. 

Sekapitalis-kapitalisnya mereka, termasuk China sekalipun, sasaran eksploitasi utamanya tetap luar negeri bukan rakyatnya sendiri. Sedangkan di Indonesia kel;as borjuisnya dengan sukarela menjadi antek Nekolim. Karenanya kebijakan pemerintah negara dunia ketiga termasuk Indonesia adalah perintah ndoro-kapitalis global. Termasuk liberalisasi pendidikan.
Jangan terjebak! ketika pengesahan UU BHP hanya bagian kecil agenda besar imperialisme pendidikan. Awalnya adalah pengekoran Indonesia pada WTO. Khususnya pada The Washington Consensus 1989. Ada empat poin yang berdampak besar bagi Indonesia. Pertama, pasar Indonesia harus dibuka seluas-luasnya ke pihak asing. Kedua, penderegulasian terhadap kapitalis asing. Ketiga, subsidi harus dicabut. Ketiga, BUMN harus diliberalisasi sebanyak-banyaknya.

Lebih detil, pendidikan secara khusus dibuka ke Nekolim lewat Perpres no. 76 tahun 2007. Di dalamnya pendidikan termasuk sektor terbuka bagi penanaman modal hingga 49%. Dan menurut WTO, usaha pendidikan (komersialisasi dan komodifikasi ilmu) itu menyeluruh. Mulai dari pendidikan dasar, menengah, tinggi, pendidikan orang-orang dewasa, hingga pendidikan lainnya (pendidikan ketrampilan atau teknik tertentu). Dengan ini terbukalah pendidikan sebagai lahan baru eksploitasi-penjajahan Nekolim.

Imperialisme pendidikan itu akan memasuki Indonesia dalam empat bentuk. Pertama, Cross Border Supply: Institusi pendidikan luar negeri menjajakan kuliah kepada konsumen di Indonesia via internet. Kedua, Consumption Abroad: penciptaan konsumsi-konsumsi dengan pengiriman konsumen pendidikan ke luar negeri. Ketiga, Commercial Presence: pendirian BHP asing melalui partnership, subsidiary, tunning, agreement, dengan BHP dalam negeri. Keempat, Presence of Natural Persons: mempekerjakan tenaga-tenaga BHP (baik pengelola maupun pengajar) dari luar negeri untuk bekerja di BHP dalam negeri.

Mengapa negara-negara Nekolim mengagendakan imperialisme pendidikan? Sebab pendidikan juga lahan subur eksploitasi yang menggiurkan. Pada tahun 2000 Amerika Serikat (AS) mendulang Rp 126 trilyun dari sektor pendidikan. Sedangkan Australia, pada 1993, mampu mengeruk AUS$ 1,2 milyar dari ekspor jasa pendidikan. Tak ketinggalan, Inggris pun setidaknya berhasil memenuhi 4% sektor jasanya dari pendapatan ekspor jasa pendidikan.

Proletariatisasi Mahasiswa karena Imperialisme Pendidikan
Imperialisme pendidikan ini setidaknya akan berdampak ekonomis dan ideologis. Secara ekonomis, tampak jelas bahwa terjadi proletariatisasi mahasiswa-mahasiswa. Khususnya berupa pengalienisasian mahasiswa dan kapitalisasi serta komodifikasi. Contohnya penerapan sistem SKS, pengurangan kuota SPMB dengan pengalihan ke jalur-jalur komersil, subsidi silang, penjatuhan vonis Drop Out (DO) dan sanksi keuangan bagi mahasiswa molor, pengubahan orientasi PKL dari pengabdian masyarakat menjadi magang ke perusahaan, pembangunan bercorak prestis daripada pemenuhan kebutuhan fasilitas mahasiswa secara optimal, pembentukan Ikatan Orangtua Mahasiswa (IOM) yang bertujuan menarik sumbangan-wajib daripada pelibatan ke pengambilan keputusan kampus dan masalah-masalah substansial, pendorongan paradigma entrepeneurship daripada pengabdian masyarakat serta penelitian kerakyatan, termasuk melambungnya biaya pendidikan.

Melambungnya biaya pendidikan? Ah, masa’? Bukankah di kapitalisme berlaku prinsip keseimbangan atau the invicible hand? Bukankah kelak bila kapitalisme (termasuk dalam pendidikan) berjalan sehat, rakyat akan diuntungkan dengan produsen yang berlomba-lomba menyajikan pendidikan. Sehingga untuk meraup konsumen, produsen berlomba menyediakan jasa paling murah namun paling berkualitas (seperti apa yang terjadi pada dunia kartu seluler)? Salah besar, kawan! Kapitalis-kapitalis tidak selalu saling memangsa. Pada suatu saat mereka bisa berkomplot untuk menghindari kematian masing-masing. Menentukan kesepakatan harga, agar produk tetap mahal. Sehingga Surplus Value (nilai lebih) tak dikorbankan dan Capital Accumulation( akumulasi modal) tetap tinggi. Kalaupun mati, mereka toh bisa menggunakan negara untuk menolong mereka alih-alih untuk menolong rakyat. Kepada konsumen, pola konsumsi pun kemudian lebih diarahkan tidak lagi ke kubutuhan dasar namun ke produk-produk yang sebenarnya tidak bermanfaat. Tak hanya itu rakyat terjajah kemudian dipaksa membeli barang yang sebenarnya mereka hasilkan dan biayai sendiri.

Dalam lapangan pekerjaan, jumlah mahasiswa yang tertampung di kelas menengah juga akan terdesak dengan invasi tenaga kerja asing. Karena tenaga kerja asing memiliki bekal ilmu lebih tinggi maka mereka akan ditempatkan di posisi lebih tinggi daripada tenaga kerja lokal. Dengan ilmu yang lebih tinggi otomatis gaji yang diterima juga lebih besar. Kapital yang semula mampu menyerap banyak tenaga kerja lokal akan tersedot untuk membiayai tenaga kerja asing. Kastanisasi pekerja asing, pekerja pribumi komprador, dan pekerja pribumi biasa akan tercipta. Dengan demikian mahasiswa keluaran universitas, mayoritas akan berada di kelas menengah ke bawah. Bahkan tidak menutup kemungkinan terlempar juga ke kelas ekonomi lapis bawah.

Sedangkan secara ideologis, muatan pendidikan kelak bercorak kapitalis-neo liberal dan pro kebijakan asing. Disini sasaran kita bukan lagi mahal-murahnya pendidikan bagi rakyat. Sebab nanti tetap akan ada beasiswa dan donasi untuk rakyat. Namun apa yang perlu kita sadari adalah beasiswa yang diberikan nanti hanyalah suatu bentuk politik etis. Politik pseudo-humanis yang ujung-ujungnya merekrut kolaborator lokal. Because for any capitalist, there is no free lunch. Tidak ada makan siang gratis. Beasiswa atau sumbangan yang diberikan kapitalis kepada rakyat terjajah hanyalah rumput yang diberikan kepada sapi agar sapi itu tetap mau menarik bajaknya. Bahkan seringkali sumbangan itu berupa hutang atau bahkan hasil eksploitasi bumi terjajah. Semuanya hanya untuk memenuhi tenaga terdidik dari kebutuhan sistem kapitalis bahkan mengampanyekan betapa ‘baik’nya sistem kapitalis ke kawan-kawan lokalnya yang terjajah.

Mulai dari sekarang sebagai mahasiswa yang terproletariatisasi dan tereksploitasi, kita harus membangun kesadaran besar. Bahwa cepat atau lambat kita akan berakhir ke kalangan pekerja. Bahwa cepat atau lambat kita akan menjadi bagian dari kelas buruh. Oleh karena itu kita harus segera menyatukan diri dengan perjuangan kelas pekerja. Perjuangan melawan kapitalisme bersama mereka yang sama-sama tereksploitasi. Singkirkan semua pragmatisme, etnosentrisme, dan primordialisme. Selama ini gerakan mahasiswa masih pragmatis. Berteriak menolak kapitalisme namun berebut beasiswa yang justru didanai hutang. Etnosentris, karena masih terjebak ego golongan, mudah diadu domba, dikecoh oleh pengalihan-pengalihan isu, serta cakar-cakaran sesama aktivis. Primordial karena masih terpecah identitas golongan masing-masing, tunduk pada kebesaran senior meski seniornya berubah reaksioner, serta tidak mampu menjadikan kapitalisme sebagai musuh bersama untuk menggalang persatuan gerakan.

Dengan menyatukan diri ke kelas pekerja, maka perlawanan tidak lagi bersifat parsial. Mahasiswa tidak cuma melawan SPP mahal. Bersama-sama kelas pekerja, akan timbul perlawanan total terhadap semua bentuk kapitalisme, baik komersialisasi pendidikan (dari UU BHP, SBI, PSB mandiri, sampai penilaian manusia hanya dengan angka-angka UNAS), perburuhan dengan sistem outsourcing, kejahatan korporasi macam Lapindo, mafia perpupukan, pemboikotan terhadap produk imperialis-kapitalis Israel, serta penuntutan atas kemerdekaan 100% bagi rakyat. Mahasiswa—golongan Golput terbesar—juga berpotensi berkembang menjadi preassure group terhadap pemerintahan kapitalis ketika telah menggabungkan diri dengan perjuangan kelas pekerja. Persatuan inilah yang mampu mengembalikan kemerdekaan Indonesia. Merdeka 100%. Merdeka dari kapitalis asing, merdeka dari pengkhianatan borjuis-komprador, merdeka dan mandiri dengan penguasaan penuh atas SDA untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat banyak. (Lintang/ Mimesis).

Oleh : Bustamin Tato

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama