Menyeret Mahasiswa Ke Kelas Pekerja / Bustamin Tato |
Menelusuri Pengkhianatan Antek-Antek Nekolim
Kini 18 tahun sejak Orba tumbang,
kapitalis-komprador masih hidup dan berhasil merestorasi diri. Imperialisme
malah dilindungi dengan sekian regulasi hukum. Memang tak heran, karena
pemerintahnya bercorak kapitalis. Termasuk mereka yang mendominasi arah ekonomi
seperti Boediono (kini terpilih sebagai Wapres), Sri Mulyani Indrawati, Mari
Pangestu, dan Sofyan Djalil. Semuanya getol mengampanyekan privatisasi.
Karenanya UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, sampai UU BHP bisa dilahirkan.
Tapi kurang tepat kalau kita anggap UU BHP
hanya dosa pemerintah. Kita harus memandang jauh. Look beyond. Penguasa
sejak era orde baru hingga kini bukanlah bos utama agenda kapitalis di
Indonesia. Sejak dulu, kaum borjuis-kapitalis negara-negara dunia ketiga
terlalu lemah. Bermental pengecut dan tunduk kepada kepentingan kaum Neo
Kolonialis-Imperialis (Nekolim). Jadi jangan dibandingkan dengan Inggris dan
AS.
Sekapitalis-kapitalisnya mereka, termasuk China sekalipun, sasaran
eksploitasi utamanya tetap luar negeri bukan rakyatnya sendiri. Sedangkan di
Indonesia kel;as borjuisnya dengan sukarela menjadi antek Nekolim. Karenanya
kebijakan pemerintah negara dunia ketiga termasuk Indonesia adalah perintah ndoro-kapitalis
global. Termasuk liberalisasi pendidikan.
Jangan terjebak! ketika
pengesahan UU BHP hanya bagian kecil agenda besar imperialisme pendidikan.
Awalnya adalah pengekoran Indonesia pada WTO. Khususnya pada The Washington
Consensus 1989. Ada empat poin yang berdampak besar bagi Indonesia. Pertama,
pasar Indonesia harus dibuka seluas-luasnya ke pihak asing. Kedua,
penderegulasian terhadap kapitalis asing. Ketiga, subsidi harus dicabut.
Ketiga, BUMN harus diliberalisasi sebanyak-banyaknya.
Lebih detil, pendidikan secara khusus dibuka
ke Nekolim lewat Perpres no. 76 tahun 2007. Di dalamnya pendidikan termasuk
sektor terbuka bagi penanaman modal hingga 49%. Dan menurut WTO, usaha
pendidikan (komersialisasi dan komodifikasi ilmu) itu menyeluruh. Mulai dari
pendidikan dasar, menengah, tinggi, pendidikan orang-orang dewasa, hingga pendidikan
lainnya (pendidikan ketrampilan atau teknik tertentu). Dengan ini terbukalah
pendidikan sebagai lahan baru eksploitasi-penjajahan Nekolim.
Imperialisme pendidikan itu akan memasuki
Indonesia dalam empat bentuk. Pertama, Cross Border Supply: Institusi
pendidikan luar negeri menjajakan kuliah kepada konsumen di Indonesia via
internet. Kedua, Consumption Abroad: penciptaan konsumsi-konsumsi
dengan pengiriman konsumen pendidikan ke luar negeri. Ketiga, Commercial
Presence: pendirian BHP asing melalui partnership, subsidiary,
tunning, agreement, dengan BHP dalam negeri. Keempat, Presence
of Natural Persons: mempekerjakan tenaga-tenaga BHP (baik pengelola maupun
pengajar) dari luar negeri untuk bekerja di BHP dalam negeri.
Mengapa negara-negara Nekolim mengagendakan
imperialisme pendidikan? Sebab pendidikan juga lahan subur eksploitasi yang
menggiurkan. Pada tahun 2000 Amerika Serikat (AS) mendulang Rp 126 trilyun dari
sektor pendidikan. Sedangkan Australia, pada 1993, mampu mengeruk AUS$ 1,2
milyar dari ekspor jasa pendidikan. Tak ketinggalan, Inggris pun setidaknya
berhasil memenuhi 4% sektor jasanya dari pendapatan ekspor jasa pendidikan.
Proletariatisasi Mahasiswa karena
Imperialisme Pendidikan
Imperialisme pendidikan ini setidaknya akan
berdampak ekonomis dan ideologis. Secara ekonomis, tampak jelas bahwa terjadi
proletariatisasi mahasiswa-mahasiswa. Khususnya berupa pengalienisasian
mahasiswa dan kapitalisasi serta komodifikasi. Contohnya penerapan sistem SKS,
pengurangan kuota SPMB dengan pengalihan ke jalur-jalur komersil, subsidi
silang, penjatuhan vonis Drop Out (DO) dan sanksi keuangan bagi mahasiswa
molor, pengubahan orientasi PKL dari pengabdian masyarakat menjadi magang ke
perusahaan, pembangunan bercorak prestis daripada pemenuhan kebutuhan fasilitas
mahasiswa secara optimal, pembentukan Ikatan Orangtua Mahasiswa (IOM) yang
bertujuan menarik sumbangan-wajib daripada pelibatan ke pengambilan keputusan
kampus dan masalah-masalah substansial, pendorongan paradigma entrepeneurship
daripada pengabdian masyarakat serta penelitian kerakyatan, termasuk
melambungnya biaya pendidikan.
Melambungnya biaya pendidikan? Ah, masa’?
Bukankah di kapitalisme berlaku prinsip keseimbangan atau the invicible hand?
Bukankah kelak bila kapitalisme (termasuk dalam pendidikan) berjalan sehat,
rakyat akan diuntungkan dengan produsen yang berlomba-lomba menyajikan
pendidikan. Sehingga untuk meraup konsumen, produsen berlomba menyediakan jasa
paling murah namun paling berkualitas (seperti apa yang terjadi pada dunia
kartu seluler)? Salah besar, kawan! Kapitalis-kapitalis tidak selalu saling
memangsa. Pada suatu saat mereka bisa berkomplot untuk menghindari kematian
masing-masing. Menentukan kesepakatan harga, agar produk tetap mahal. Sehingga Surplus
Value (nilai
lebih) tak dikorbankan dan Capital
Accumulation( akumulasi modal) tetap
tinggi. Kalaupun mati, mereka toh bisa menggunakan negara untuk menolong
mereka alih-alih untuk menolong rakyat. Kepada konsumen, pola konsumsi pun
kemudian lebih diarahkan tidak lagi ke kubutuhan dasar namun ke produk-produk
yang sebenarnya tidak bermanfaat. Tak hanya itu rakyat terjajah kemudian
dipaksa membeli barang yang sebenarnya mereka hasilkan dan biayai sendiri.
Dalam lapangan pekerjaan, jumlah mahasiswa
yang tertampung di kelas menengah juga akan terdesak dengan invasi tenaga kerja
asing. Karena tenaga kerja asing memiliki bekal ilmu lebih tinggi maka mereka
akan ditempatkan di posisi lebih tinggi daripada tenaga kerja lokal. Dengan
ilmu yang lebih tinggi otomatis gaji yang diterima juga lebih besar. Kapital
yang semula mampu menyerap banyak tenaga kerja lokal akan tersedot untuk
membiayai tenaga kerja asing. Kastanisasi pekerja asing, pekerja pribumi
komprador, dan pekerja pribumi biasa akan tercipta. Dengan demikian mahasiswa
keluaran universitas, mayoritas akan berada di kelas menengah ke bawah. Bahkan
tidak menutup kemungkinan terlempar juga ke kelas ekonomi lapis bawah.
Sedangkan secara ideologis, muatan pendidikan
kelak bercorak kapitalis-neo liberal dan pro kebijakan asing. Disini sasaran
kita bukan lagi mahal-murahnya pendidikan bagi rakyat. Sebab nanti tetap akan
ada beasiswa dan donasi untuk rakyat. Namun apa yang perlu kita sadari adalah
beasiswa yang diberikan nanti hanyalah suatu bentuk politik etis. Politik
pseudo-humanis yang ujung-ujungnya merekrut kolaborator lokal. Because for
any capitalist, there is no free lunch. Tidak ada makan siang gratis.
Beasiswa atau sumbangan yang diberikan kapitalis kepada rakyat terjajah hanyalah
rumput yang diberikan kepada sapi agar sapi itu tetap mau menarik bajaknya.
Bahkan seringkali sumbangan itu berupa hutang atau bahkan hasil eksploitasi
bumi terjajah. Semuanya hanya untuk memenuhi tenaga terdidik dari kebutuhan
sistem kapitalis bahkan mengampanyekan betapa ‘baik’nya sistem kapitalis ke
kawan-kawan lokalnya yang terjajah.
Mulai dari sekarang sebagai mahasiswa yang
terproletariatisasi dan tereksploitasi, kita harus membangun kesadaran besar.
Bahwa cepat atau lambat kita akan berakhir ke kalangan pekerja. Bahwa cepat
atau lambat kita akan menjadi bagian dari kelas buruh. Oleh karena itu kita
harus segera menyatukan diri dengan perjuangan kelas pekerja. Perjuangan
melawan kapitalisme bersama mereka yang sama-sama tereksploitasi. Singkirkan
semua pragmatisme, etnosentrisme, dan primordialisme. Selama ini gerakan
mahasiswa masih pragmatis. Berteriak menolak kapitalisme namun berebut beasiswa
yang justru didanai hutang. Etnosentris, karena masih terjebak ego golongan,
mudah diadu domba, dikecoh oleh pengalihan-pengalihan isu, serta cakar-cakaran
sesama aktivis. Primordial karena masih terpecah identitas golongan
masing-masing, tunduk pada kebesaran senior meski seniornya berubah reaksioner,
serta tidak mampu menjadikan kapitalisme sebagai musuh bersama untuk menggalang
persatuan gerakan.
Dengan menyatukan diri ke kelas pekerja, maka
perlawanan tidak lagi bersifat parsial. Mahasiswa tidak cuma melawan SPP mahal.
Bersama-sama kelas pekerja, akan timbul perlawanan total terhadap semua bentuk
kapitalisme, baik komersialisasi pendidikan (dari UU BHP, SBI, PSB mandiri,
sampai penilaian manusia hanya dengan angka-angka UNAS), perburuhan dengan
sistem outsourcing, kejahatan korporasi macam Lapindo, mafia perpupukan,
pemboikotan terhadap produk imperialis-kapitalis Israel, serta penuntutan atas
kemerdekaan 100% bagi rakyat. Mahasiswa—golongan Golput terbesar—juga
berpotensi berkembang menjadi preassure group terhadap pemerintahan
kapitalis ketika telah menggabungkan diri dengan perjuangan kelas pekerja.
Persatuan inilah yang mampu mengembalikan kemerdekaan Indonesia. Merdeka 100%.
Merdeka dari kapitalis asing, merdeka dari pengkhianatan borjuis-komprador,
merdeka dan mandiri dengan penguasaan penuh atas SDA untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat banyak. (Lintang/ Mimesis).
Oleh : Bustamin Tato
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.