11 Bait Untuk Delula



Langit Jakarta tiba-tiba mengisyaratkan hujan

yang entah kapan turunnya
yang entah kabar buruk apa lagi yang turut dibawanya
seperti hari-hari kemarin.

Namun semua berubah,
dan itu bermula saat dirimu memilih
untuk mengakhiri penantian,
menanti untuk beberapa mentari lagi.

Simpang Harmoni menjadi penyaksi lalu lalang pasang kaki
yang seolah jejaknya mengisahkan peluh, tentang makan, hidup, makan, hidup,
begitu saja tanpa ada bahagia dan keikhlasan yang terselip diantaranya
dan asal kau tahu, aku salah satu diantara mereka.

Seketika handphoneku berbunyi,
dan hal yang tak pernah terduga sebelumnya
Setelah sekian lama tak berkomunikasi
karena perpisahan yang menorehkan luka itu,
kau datang dengan pesan singkatmu,
yang tanpa basa basi,
yang seolah tak pernah terjadi sesuatu,
kau dengan tenang meminta bantuanku untuk merapihkan skripsimu.

Sejenak terdiam dan tak membalasnya
setelah ku tahu nomor baru yang mengirimkan pesan itu adalah kamu.
Seseorang yang telah dua kali kujadikan teman dekat
 yakni dimasa SMA yang kemudian berakhir karena kesalahanku
Berlanjut lagi untuk kali kedua, kita kembali menjalin hubungan,
masa dimana sudah lumrah dan bukan lagi gurauan
untuk menyinggung soal pernikahan,
walau pun masih sebatas targetan.

Dibangku belakang busway yang melaju
dari arah Harmoni menuju Kampung Melayu.
aku terdiam memandangi handphoneku
Aku ingin marah !
dan kau pun pasti tahu alasannya apa
karena sakit hatiku yang belum pulih.
Walaupun bahagia juga turut kurasa
bagaimana tidak setelah sekian lama menahan rindu,
akhirnya kau menghubungiku juga.

Tapi tidak ! tidak semudah itu kemudian menarik kalimat
yang sempat kujadikan sumpah serapah.
Janjiku kepada semesta untuk tidak akan menemuimu lagi,
janjiku untuk tidak akan berkomunikasi denganmu lagi,
dan janji untuk menjadikanmu hanya sebatas kenalan masa lalu,
tanpa harus dikenang selalu

Tapi ternyata aku larut dalam obrolan maya itu,
kita kemudian melanjut komunikasi yang bahkan sesekali menyinggung soal masa lalu
Entah rinduku lebih besar dari pada kecewaku,
atau mungkin karena kita hanya gengsi untuk kembali saling menyapa,
atau bahkan kembali untuk kali ketiga.

Tetapi kecewaku belum jua hilang !
semangat hidupku redup seketika,
puisi dan lagu tentangmu lenyap terbakar,
begitupun skrip buku 247 lembar yang mengisahkan hidupku
dan perjumpaan denganmu,
buku yang dihalaman depannya tertulis nama kedua orang tuaku
yang kusandingkan dengan namamu Delula Indrawati !
telah berakhir dalam nyala api,
telah berakhir menjadi abu hitam pekat.

Aku tak berani menerka tentang ujung dari komunikasi yang kini terajut kembali,
apalagi untuk menaruh harap tentang diriku dan dirimu dihari esok.
Aku hanya bersikap sebagaimana seorang teman yang dipintakan bantuan,
walau terkadang menahan hasratku
yang sesekali ingin menyakan siapakah lelaki yang kini dekat denganmu,
atau mungkin bertanya masih adakah rasa dihatimu untuk diriku.

Tapi aku teguh,
teguh bersikap sebagai seorang teman yang telah lama tak saling menyapa.
Memang benar bahwa kisah kita belumlah usai, bahkan menolak untuk selesai.
Tapi alurnya kupasrahkan semua pada Yang Maha Pengendali.
Sebagai director terbaik, dari mengatur alam semesta
sampai membuat narasi cerita-cerita kita selanjutnya.
Berdoa saja dalam sujud, aku tak pernah lupa meng-amini dari kejauhan.
Idam Bhaskara (Graphic Designer Ngmeper!)

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama