“Argumentasi Brutal” Dalam Perdebatan Online Para Netizen Indonesia


Argumentasi Brutal Dalam perdebatan Online Netizen Indonesia - Idam Bhaskara
Dari berbagai fenomena yang terjadi didunia begitu pun juga di dalam negeri melahirkan ragam tafsiran mulai dari para  ilmuan, politisi, agamais, hingga tafsiran dari obrolan ibu-ibu di pasar atau bahkan di kondangan. Yang lebih menarik kemudian ialah debat online para netizen di media social setahun terakhir hingga hari ini. Dari perdebatan flat earth dan globe earth, pribumi dan non-pribumi (yang dipantik dari pernyataan Gubernur Jakarta), sampai pada perdebatan kesolehan (lebih soleh siapa, yang ada di Monas atau yang tidak ada di Monas)-seperti yang di paparkan Prof. Rocky Gerung disalah satu media TV nasional.

Hari ini hiruk-pikuk dunia maya mungkin tengah di hebohkan oleh fenomena DILAN 1990, tetapi betapa kepala tak bisa lupa bagaimana caci maki, justifikasi brutal, penghakiman sporadis, hingga rasisme dipertontonkan dari para Nitizen di kolom-kolom komentar social media, setahun terakhir bahkan sampai hari ini. Netizen yang mungkin lebih cerdas dari para ilmuan dan lebih sholeh dari para Kiai dan Ustadz.

Garis batas ruang demokrasi di internet memang sedikit buram jika dilihat dari kacamata konstitusi, seolah tidak ada yang jelas. Justru memperlihatkan kepincangan dan kegagapan dari konstitusi saat mencoba menindak atas persoalan-persoalan genting di era social media dengan adanya aturan yang tumpang tindih. Namun bisa juga karena adanya tuntutan dan tuntunan dari narasi politik rezim yang berkuasa. Artinya bahwa memilah-milih siapa saja yang harus ditindak dan siapa saja yang harus dilindungi.

Pengkotakan itu terlihat jelas, perdebatan sporadis pun terbaca oleh semua mata pengguna internet, dari netizen yang saling hantam menghantam argument, puncak parahnya adalah ketika internet dipenuhi dengan pemberitaan-pemberitaan atau bacaan yang absurd dan tidak berlandaskan keilmiahan dan dasar obyektif, atau yang kita kenal dengan Hoax. Hal demikianlah yang ikut menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap media mainstream, kemalasan membaca, hingga degradasi nilai-nilai luhur dari literasi. Walau tak bisa dipungkiri tersebarnya Hoax di internet turut mendukung perseteruan politik di Negara ini, dan bisa saja ada unsure kesengajaan dari rezim berkuasa yang notabenenya mampu mengendalikan kebenaran public atas bantuan badan intelligent serta media nasional. 

Yang menjadi persoalan pertama ialah, hal yang memantik atau melandasi perdebatan itu. Seringkali perdebatan itu didasari atas hal-hal yang Abrusd, tarik saja contoh perdebatan Siomay dan Batagor yang kemudian merembet ke persoalan pribumi dan non-pribumi yang selanjutnya memperlihatkan dengan gamblang para pendebat telah mengalami rasis akut. Begitu dangkalnya kita yang seketika bisa menjadi rasis hanya karena perkara makanan.

Memang fenomena tersebut tak bisa dilepaskan dari konstalasi politik hari ini, yang seolah internet atau social media menjadi tempat tarung paling seru demi meninggikan tensi perseteruan, karena mungkin perseteruan politik Indonesia lebih massif jika ditopang oleh perdebatan konyol bin dangkal dari para pengguna Internet.

Point kedua yang krusial untuk diperhatikan ialah, adanya penggiringan isu yang massif dan hegemonic yang kemudian secara tidak langsung mengantisipasi fokus dari rakyat untuk lebih memperhatikan ruang-ruang demokratis yang baik. Artinya fokus untuk mengkritisi dan memblejeti pemerintahan tak lagi ada melainkan seteru antar jagoan satu dengan jagoan lainnya. Berlanjut kepada hal yang lebih kritis ialah-berkat penggiringan isu ini-rakyat tak lagi terkotakkan berdasarkan klas sosialnya melainkan identitas kelompoknya, yang akhirnya melahirkan fragmentasi di lingkungan masyarakat yang diikuti dengan fanatisme kelompok atau identitas.

Perdebatan yang terjadi menjadi anti-progress jika diukur dari bagaimana fundamental bernegara. Karena yang terjadi adalah perseteruan horizontal antara rakyat yang mengeuluh-eluhkan identitas kelompoknya, antara ormas ini dan ormas itu, antara komunitas ini dan komunitas itu, antara daerah ini dan daerah itu. Hal tersebut kemudian menjadi ukuran adanya kemunduran sikap dan orientasi politik dari rakyat, karena yang terjadi adalah pembenturan identitas yang mengarah pada anti persatuan dan keberagaman.

Lalu bagaimana kita harusnya bersikap di tengah perseteruan politik yang bermuara pada pemilu 2019 ? ini lah yang kemudian harus kita jawab dan kerjakan kedepan. Bisa menjadi pertimbangan untuk dikerjakan ialah kalimat penutup Prof. Rocky Gerung disalah satu media swasta, bahwasanya untuk mengurangi Hoax dan perdebatan dangkal di era social media ialah setiap individu meng-up grade IQ-nya masing-masing. Artinya, jadilah cerdas dengan tidak memperuncing perdebatan konyol di social media, karena secara tidak langsung kita bisa saja lupa pada hal-hal obyektif dan krusial yang seharusnya di sikapi dan diperhatikan. Karena jika sibuk membela jagoan politik dengan semakin memperlebar sekat antara rakyat, serta memperuncing perdebatan yang berlandaskan identitas, niscaya pembodohan sistematis yang dilakukan Negara akan tetap berlangsung, massif dan hegemonic, dan kita ada didalam mekanisme itu.

Jadilah cerdas sejak dari tongkrongan. Dan yakinlah kepada Tuhanmu bukan kepada kelompok atau ormasmu, apalagi kepada jagoan politikmu (Penggalan puisi Kurnia Sandhy). Hal itulah yang kemudian mengarahkan kita untuk bersikap lebih dewasa dan cerdas dalam menggunakan instrument peradaban millennial.
 
IdamBhaskara
(Graphic Designer Ngemper!)

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama