Tradisi Unik yang Nyaris Sirna - Nurul Ulmi Mansur |
Gerhana
bulan merupakan fenomena yang terjadi dimana posisi matahari, bumi dan bulan
purnama berada di titik garis lurus. Bulan akan tertutup oleh bayang-bayang
bumi dan bumi berada di antara matahari dan bulan pada satu garis lurus,
sehingga cahaya bulan akan tampak samar. Walaupun bulan tertutupi oleh
bayang-bayang bumi, cahaya yang dihasilkan oleh bulan tetap ada. Hal ini
disebabkan oleh atmosfer bumi memancarkan gelombang cahaya dari matahari.
Cerita-cerita
yang beredar di kalangan masyarakat Indonesia mengenai gerhana bulan sangatlah
beragam. Di tanah Jawa, orang-orang mengatakan fenomena ini merupakan ulah buto
alias raksasa yang memakan bulan, sehingga cahaya bulan terlihat samar
bahkan tidak nampak.
Lain
halnya di tanah Bugis, orang-orang Bugis menyebut fenomena ini dengan nama “yemme’
i ketengnge” (bulan yang tertelan). Biasanya, ketika terjadi gerhana bulan,
para warga akan melakukan tradisi “Mappadendang”. Mappadendang merupakan
kegiatan yang dilakukan dengan memukul “palungeng” alias lesung dengan “alu” alias pemukul lesung.
Dari kegiatan ini, akan dihasilkan irama beraturan dari alu dan palungeng
tersebut. Hal ini dilakukan agar bulan kembali bersinar cerah, seperti bulan
purnama pada umumnya. Pasalnya, mitos yang beredar sejak dahulu yaitu, ada
seekor naga yang menelan bulan sehingga cahaya bulan yang biasanya nampak cerah
ketika bulan purnama, kini tidak begitu nampak dan akan tergantikan oleh
bayang-bayang sinar matahari. Dengan memukul palungeng, si naga akan
memuntahkan kembali bulan yang ia telan. Dengan begitu, bulan akan kembali
bersinar. Umumnya, orang-orang yang melakukan tradis “Mappadendang” menggunakan
pakaian adat “baju tokko”.
Bukan
hanya itu, mitos lain yang menjadi tradisi di kalangan masyarakat Bugis dahulu
khususnya bagi para kaum Hawa ialah mandi dengan menggunakan daun buah ceremai
atau di Bugis biasa disebut dengan buah “ceremele”. Buah ini adalah buah
yang terasa masam. Sehingga ketika kita memakan buah ini, karena saking
masamnya, liur kita akan keluar. Nah, tujuan dengan dipakainya daun buah ini
untuk mandi agar perempuan yang belum menikah atau janda sekali pun yang ingin
menikah lagi akan segera didekatkan jodohnya. Seperti arti dari makna yang
terkandung dalam rasa buah ini, “ngiler” membuat para kaum adam akan ngiler
saking tertariknya terhadap kaum Hawa ketika berada di dekatnya.
Selain
daun buah cermai “ceremele”. Daun picu-picu juga dipercayai bisa
mendatangkan jodoh bagi kaum hawa. Konon, daun ini sering digunakan oleh kaum
hawa zaman old untuk luluran. Dari arti kata picu berderivasi menjadi
maddapicu atau maddapisu yang artinya “ngesot”. Jika mandi menggunakan daun ini
ketika terjadi gerhana bulan, maka para lelaki akan tertarik dan mendekat dengan cara “ngesot” pada kaum wanita. Cara
ini menunjukkan betapa hormatnya seorang lelaki kepada wanita sehingga ia
mendekati wanita dengan cara seperti itu.
Sayangnya,
tradisi di atas tidak begitu diketahui oleh kids jaman now. Mereka
lebih mengenal Mappadendang hanya cocok dipentaskan dalam
penyambutan tamu atau pada saat pesta panen saja, karena dominannya orang-orang
memang sering menggelar Mappadendang pada acara tersebut. Sehingga,
tradisi unik seperti ini nyaris lenyap ditelan zaman.
Oleh
karena itu, tidak ada salahnya melakukan Mappadendang ketika terjadi
gerhana bulan. Sekedar untuk meramaikan dan menarik perhatian wisatawan lokal
maupun mancanegara.
Pegiat Komunitas Penulis Semesta Pena
dan Debater Al Motayat Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.