Perihal Omong Kosong Dari Romansa Maemunah


Perihal Omong Kosong Dari Romansa Maemunah - Idam Bhaskara
Mari kita memulai dari dasar pijakan berpikir ilmiah dan meng-amini bahwasanya pernyataan “Aku ingin mencari yang lebih baik dari dirimu” it’s a fu*king bullshit ! hal demikian seringkali kita dengar dari cerita romansa kalangan muda kekinian. Cerita yang tiada berujung, cerita yang terkadang dijelaskan secara implisit lewat status up date facebook atau sekedar emoticon di status WA yang mengisyaratkan cerita mengenaskan. “Astagfirullah… semoga sanggup ja lanjut ki ini tulisan” kataku dalam hati.

Mengenai persoalan omong kosong yang pertama tadi, anggaplah dialognya seperti ini, “kenapaki galau gelisah merana bebcu ?” Tanya seorang mahasiswi (sebut saja Zubaedah) kepada teman kosannya (sebut saja Maemunah). Mengusung dada menghela nafas, dengan lirih Maemunah menjawab “na putuskan ka babangcu ka ndak sejalan mi katanya prinsip kedepan”. “masaaaaa weee… !!!???” lanjut sergap Zubaedah dengan geliat kepo yang menjadi-jadi, “iyaa… dan sekarang nasuruh ka cari yang lebih baik dari dia” jawab Maemunah dengan rintih yang menjadi-jadi pula. Dengan memasang wajah prihatin serta penasaran tingkat kecamatan Soreang, Zubaedah kembali menghujamkan tanya “kenapa bisa bebcu.. ceritakan duleee… dimanaki na putuskan.. jam berapa .. pake baju apaki… bayar utangmu eee… masih tidak habis pikir ka bebcu… tapi mau mi diapa, sabar meki saja. Mungkin bukan dia yang terbaik buat kita juga”. Tiba-tiba pintu kamar mengisyaratkan hadirnya karakter baru dalam dialog ini. “tok..tokk..” Zubaedah bergegas membuka pintu dan seketika si Karakter baru (sebut saja Humairah) menyeru dengan sedikit nada tinggi, yang bahkan security STAIN dibuat kaget olehnya “makanya jangan pacaran, mending ta’arufan” tegas Humairah, mahasiswi yang mengembor-gemborkan untuk berhijarah. Hijrah yang hanya dilihat dari status WA dan status up date facebooknya. Tapi kita tidak sedang membahas fenomena hijrah dan nikah muda kalangan muda mudi jaman now, so mari lanjut.

Jika saja boleh menambahkan karakter baru dalam dialog tadi, mungkin saya akan datang dan menyerukan fatwa yang didasari dalil-dalil ilmiah nan obyektif atas persoalan yang tengah dialami Maemunah. “yaa masuk saja bro.. toh kita’ ji yang menulis” celetuk temanku yang sedari tadi ngintip dari belakang saat menulis tulisan ini. Yah memang bisa saja, tapi sayang dialog itu terjadi di malam hari, tepatnya di kos-kosan putri yang membatasi waktu bagi tamu atau pengunjung, sudah pasti saya akan diusir jika ada disana, apalagi Ibu kostnya terkenal galak, bahkan lebih galak dari Amirah si redaktur Ngemper! yang sedari kemarin meminta agar tulisan segera dimasukkan.

Masalahnya bukan itu yang mau kita telaah lebih dalam, bukan soal bagaimana cara menyelinap masuk ke kostan Maemunah dan Zubaedah. Tetapi bagaimana kemudian ngomong ke Maemunah bahwa pacarmu memutus hubungan karena ia selingkuh atau memiliki teman dekat yang lain, dan kamu sudah diballei (dikibuli) dengan bahasa yang penuh konspirasi retoris.

Memang pada hakikinya pertemuan adalah syarat dari perpisahan, jadi jika tidak mau berpisah yah jangan bertemu. Tetapi yang membuat kita ngakak guling-guling di jalan Laupe’ ialah alibi dari sikap atau pilihan memilih berpisah. Pada dasarnya hasrat manusia selalu berusaha untuk menyelundupkan kebohongan dengan mencipta kejujuran ngambang alias tidak berlandas obyektifitas tetapi kerennya otak seolah dikendalikan agar tidak terfokus pada benar atau salahnya, dan kemampuan mendelivery kejujuran itu agar tidak kecium ngibulnya, dibantu oleh logika yang mapan dan kemapanan itu ditopang oleh kemampuan mengolah kalimat dan pastinya juga dari pengalaman-pengalaman si pelaku (track record of Pabballeang).

Ingin sekali rasanya ngomong ke Maemunah dengan memasang wajah prihatin seperti halnya Zubaedah, bahwa bukan karena kamu tidak lebih baik dari selingkuhannya, atau jika dia tidak meninggalkanmu, bukan berarti kamu lebih baik dari perempuan lain. Maaf ! jangan berpikir saya akan menulis bahwa semua itu karena cinta. Saya tidak akan percaya apa itu cinta sebelum ada yang mampu menjelaskan secara defenitif apa itu cinta, dan selama belum ada yang mampu menjelaskannya, keyakinan saya akan tetap sama bahwa cinta (dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan) adalah persoalan nyaman dan selangkangan (kapan-kapan kita bahasa soal ini).

Karena begini Dek Mae (panggilan akrab Maemunah), perkara baik dan lebih baik adalah perkara abstrak yang tak bisa di ukur oleh penilaian subyektifitas individu manusia, dan jika pun lahir sebuah landasan ukuran (tidak baik, baik, lebih baik) yang kemudian berubah menjadi paradigma umum (kesadaran universal), hal itu diilhami oleh subyektifitas kelompok yang diawal sudah ditarungkan secara habis-habisan antara subyektifitas dari kepala yang satu dengan kepala yang lain-yang kemudian mampu di hegemoni secara massif melalu instrument public maupun instrument negara, dan jadilah ia sebagai kesadaran umum yang disepakati (mau tidak mau) oleh semua orang di satu wilayah.

Artinya bahwa, baik dan lebih baik hanyalah omong kosong yang berusaha dipertahankan oleh kesadaran manusia, dan tidak menutup kemungkinan didasari atas kepentingan-kepentingan tertentu. Kesadaran manusia hanyalah resonansi dari kesadaran absolute. Punya kuasa apa kita memberi penilaian si A baik dan si B lebih baik ? bahkan hal ini juga menyangkut penilaian tentang jelek, cantik, ganteng, atau bahkan penilaian Shleh dan Sholehah. Manusia punya otoritas mengendalikan kesadaran tapi tidak punya kemampuan untuk mencipta kebenaran sejati.

Walaupun terbaik berartikan luas, tetapi jika konteksnya sama dengan yang sering kita temui dari cerita romansa muda mudi jaman now, bisa jadi “terbaik” adalah kata yang pas untuk mengatakan “ada yang lebih canti’/ganteng dari pada kau”.

Inti sari dari tulisan bebapa paragraf di atas ialah, saya hanya ingin mengatakan ke teman-teman pembaca bahwasanya kalo na putuskan ki pacar ta dengan alasan se-bullshit “bukan kita yang terbaik buat saya, atau bukan saya yang terbaik untuk kita”, biarkan mi saja, suruh lalo pergi. Karena jika seseorang sibuk mencari yang terbaik, secara tidak langsung ia telah membuat dirinya lebih buruk, karena sebenarnya yang terbaik adalah dia yang akan tetap bertahan, terus mencoba berlaku baik satu sama lain, mencoba mencipta kebaikan-kebaikan baru, berusaha merubah yang baik dihari kemarin untuk hari esok yang jauh lebih baik, dan menjaga kebaikan itu dengan tidak mengedepankan selangkangan (bagi yang belum menikah) dalam hubungan. Karena yang terbaik sejatinya hanya datang dari Yang Maha Baik.
 
IdamBhaskara (Desain Grafis Ngemper!)

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama