REVOLUSI MAHA-siswa ,menjadi MAHA-kuliahan!
(pasca pembunuhan ideology
MAHA-siswa)
(By
: KS)
Saya ingin mengawali goresan tinta ini
dengan mengutip sebuah ungkapan dari Soe Hok Gie, bahwa “Politik itu barang
yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat dimana kita tidak
dapat menghindar diri lagi, maka terjunlah.” Dan bagi saya, itu adalah salah
satu nasihat yang benar-benar relevan untuk merefleksikan diri ketika dulu
menjadi aktivis kampus .
Tahun 2014 saya memulai kisah baru saya
di kampus biru. Sebagai anak desa yang merantau di kota tempat presiden ke-3
Berasal, saya merantau dengan bermodalkan doa dan restu dari kedua orangtua ,
bahwa saya hanya akan fokus berkuliah, dan kemudian mencari kerja setelah itu nikah.
Tentu saja tidak ada yang salah dengan
semua itu. Bahkan pada awalnya saya pun mempunyai niat yang baik untuk kuliah,
kuliah, dan kuliah. Terlebih lagi karakter siswa bisa berubah lebih dewasa lagi
ketimbang sebelumnya. sebagai mahasiswa pun menjadi satu-satunya hal yang saya
fokuskan pada awal masa perkuliahan itu.
Sampai kemudian pendoktringan orang
orang untuk mengajak bergabung di salah satu organisasi jurusan yang saya ambil
. Saat pertama kali saya mencoba untuk bergabung di organisasi itu yang menurut
saya bisa mendapatkan hal lebih dari pada saya hanya sebatas kuliah saja dan
yang utama pada saat itu hanya sebatas mengisi waktu kosong saja.
Saya mulai menjadi tidak tenang menyimak betapa banyaknya persoalan ekonomi,
isu-isu sosial, dan banyaknya kejanggalan yang sedang memanas saat itu di
Indonesia. Dan ironisnya, pada saat yang bersamaan saya melihat tidak ada satu
pun teman-teman kuliah saya yang seolah sadar dan peduli dengan kejadian itu
tersebut.
Untungnya, saya bergabung di salah satu
lembaga kampus yang membuat saya bisa membangun komunikasi dengan banyak
mahasiswa dari dalam kampus maupun kampus-kampus lain di luar wilayah terlarang
itu . Berangkat dari situlah saya mengenal berbagai macam kelompok mahasiswa, mulai
dari HMI,
PMII, IMM,
Lembaga Pers
Kampus, hingga para aktivis
di BEM SI.
Yang membuat saya tertarik untuk mengenal
lebih jauh dengan mereka, adalah kepekaan dan pergerakan nyata yang mereka lakukan
terhadap berbagai isu-isu sosial politik yang ada di masyarakat. Mereka bukan hanya sibuk duduk di bangku kuliah saja
tapi ,Mereka bahkan turut andil menyikapi begitu banyaknya permasalahan yang
dikeluhkan masyarakat, dan mereka ternyata sungguh mempunyai eksistensi yang
cukup berpengaruh di goresan sejarah.
Ada sesuatu hal yang akhirnya berubah
pada diri saya sejak waktu itu, ialah munculnya kesadaran diri bahwa gelar MAHA-siswa, bukanlah gelar
yang sama seperti waktu pertama kali masuk SD, SMP, atau SMA. Ilmu Pengetahuan
baru pun membuka mata dan fikiran saya, bahwa ada banyak hal permasalahan lain
baik diluar persoalan akademik di kampus maupun yang wajib untuk dipikirkan bahkan
yang disadari keberadaannya oleh mereka yang katanya mengaku berstatus MAHA-siswa.
Kenapa tidak, negara ini saja dibangun
dan di perjuangkan oleh para kaum MAHA-siswa waktu itu. Maka sudah semestinya
mahasiswa sebagai bagian dari agent of change, kaum terdidik, dan sebagai
bagian dari generasi baru pengukir sejarah yang akan membangun dan memperbaiki yang salah dari bangsa ini.
“Janganlah sekali-kali meninggalkan
sejarah!” Begitu kata Bung Karno. Kita tidak berhak mengatur kehendak pribadi
setiap individu, tapi saya pikir mereka yang mengaku mahasiswa tidaklah boleh
menjadi A-politik. Sebab Sejarah Indonesia sendiri telah membuktikan bahwa
status mahasiswa mempunyai peran politis dan nilai historis yang tidak
main-main. Belajarlah dari generasi Angkatan ’45, Angkatan ’66, hingga para
reformis Angkatan ’98.
Menjadi mahasiswa yang cerdas, bukan
berarti juga menjadikan kampusnya sebagai tempat untuk berpolitik praktis.
Sebab sekali lagi, “politik itu barang yang kotor”, dan kampus sebagai lembaga
ilmiah, tidak selayaknya dikotori oleh kepentingan-kepentingan politik praktis,
baik dari MAHA-siswanya maupun pimpinan yang memimpin tapi masih mau di pimpin.
Seorang mahasiswa bisa menjadi terlibat
dalam arena politik tanpa harus mengorbankan independensi lembaga pendidikan
tinggi sebagai institusi ilmiah yang objektif. Peran seorang MAHA-siswa adalah
untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Itulah esensi
Pengabdian Masyarakat yang merupakan salah satu Tridharma Perguruan Tinggi.
Sudah selayaknya MAHA-siswa melakukan
hal tersebut ,melanjutkan tugas dan fungsinya yaitu sebagai agen perubahan yang
mestinya membawa perubahan kearah positif. tapi lagi-lagi ideology MAHA-siswa
masa kini telah di bunuh bahkan diracuni oleh kemasa bodohannya terhadap
sesuatu serta dibatasi dengan banyaknya tugas akademik dan mesti mereka
kerjakan serta kadang mereka dapat ancaman yang berujung pada nilai akademik
mereka,sadarlah kawan!!
Ada beberapa Hal yang meski selaku
MAHA-siswa menyikapi masalah itu seperti banyaknya pembayaran kampus yang tanpa
keterangan arahnya, korupsi di banyak lembaga yang tanpa kita sadari
keberadaannya, hingga persoalan ketidakadilan pembatasan setiap lembaga
MAHA-siswa dalam berkegiatan , hak individu, dan berbagai ketidakadilan sosial
lainnya. Tidak lagi hanya sekedar ke kampus duduk,diam bahkan hanya sekedar
mengejar IPK lalu pulang kos ,hura hura lalu tidur lagi tanpa mereka sadari
kalau mereka sedang dirampok dan di bodohi oleh bangsa saiya itu.
Anak kuliahan ke kampus hanya untuk
sekedar berkuliah saja bahkan sampai titip absen di teman sendiri. Kalau
Mahasiswa ke kampus untuk belajar meluruskan yang salah membawa suatu perubahan
positif, Dan proses pembelajaran itu diperoleh jauh lebih banyak di luar
lingkaran kampus yang diajarkan dosen di kelas. Kepekaan dan kepedulian sosial,
pendidikan moral dan kemanusiaan berdasarkan common courtesy diperoleh ketika
mahasiswa bersentuhan langsung dengan masyarakat
Tahun 2016 tahun yang lalu misalnya,
saya mengikuti salah satu kegiatatan MAHA-siswa di jawa ,. Saya berbincang
sambil berdiskusi dengan beberapa mahasiswa disana, dan mereka mengungkapkan
bahwa keterlibatan mereka dengan aktivitas politik seperti itu yang membuat
mereka sadar, dan akhirnya aku mulai sadar mengenai “rakus”-dan kejamnya bangsa
ini.
Seperti itulah sebuah kesadaran dan
pemahaman publik dibangun, yakni dengan melibatkan diri kita ke dalam sistem
yang ada. Begitulah sebuah perubahan (perbaikan) sosial diciptakan. Dan sebagai
insan akademis, peran MAHA-siswa sebagai bagian dari pemuda sangatlah
signifikan untuk menciptakan perbaikan-perbaikan kearah yang lebih baik.
“Tidak seru seseorang MAHA-siswa, jika
tidak pernah ikut demo dijalan.” Begitu perkataan salah satu teman saya dulu
setiap kali kami “turun ke jalan”. Tentu saja salah jika kita memaknai bahwa MAHA-siswa
wajib ikut demonstrasi. Bahkan menurut saya, konteks pergerakan sosial MAHA-siswa
sudah berbeda dengan dulu, dan era modern seperti sekarang ini tidak lagi
benar-benar membuat aksi demo di jalan-jalan menjadi efektif..
Makna terdapat dari candaan teman saya itu
sebenarnya adalah sebuah singgungan yaitu, ajakan kepada mereka yang mengaku MAHA-siswa,
untuk membantu “warga yang membutuhkan bantuan kita.” Untuk ikut berpartisipasi
dalam aksi peduli serta membantu menyelesaikan masalah-masalah yang ada di
msyarakat (KRITIK,KRITIS AKSI).
Begitupun maksud tulisan ini, adalah
sekedar mengingatkan sebuah solusi itu bukan hanya kita turun kejalan ,teriak
sekeras mungkin bahkan sampai merusak namuan tulisan ini hanya ajakan kepada
para mahasiswa untuk menjalankan perannya yang sangat krusial, yakni dengan
melibatkan diri ke dalam sistem sosial yang ada. Tulisan ini hanya Sebuah
ajakan kepada MAHA-siswa untuk menjadi peduli dengan realita sosial di sekitar
kita, bukan nilai akademik semata. Ajakan untuk benar-benar menjadi seorang
mahasiswa, bukan sekedar anak kuliahan saja!!!
-
South Sulawesi, 5 februari 2018 -
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.