Perasaan
destruktif ; bersifat merusak, memusnahkan, atau menghancurkan. Aneh bin ajaib.
Abrakadabra. Sesuatu yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, kini
terjadi. Cerita cinta terlarang, aku menegahkan rasa ini bahkan membiarkannya
hidup mencapai batas nalar.
Kau
berbisik… tidak!!... bantu aku
“Dasar beleng ! (di maknakan bodoh atau gila), itu sama halnya kamu Valakor (baca pelakor : perebut laki
orang), apa kamu nggak takut? Bagaimana jika pacarnya sampai tahu? Bagaimana
pula penantianmu atas kepulangan Hasan?” ujar reinkarnasiku seolah sedang mengingatkan diri agar
tidak melipir dan segera mengakhiri ikatan tersembunyi yang tengah kujalani
bersama Hasan.
Sebelum bertemu
Hasan, hari-hariku sempat berbunga saat berkenalan dengan Gilang. Seorang lelaki
yang kini mengiringi ruang bersekat dinding kelengangan yang dipenuhi oleh cerita
derita. Keakraban di antara kami berdua bisa dikata seumur jagung. Sebulan yang
lalu awal pertemuanku dengannya pada malam satu dekade Ketapang Band yang di
selenggarakan di lantai dasar gedung syari’ah kampus Stain Parepare, dimana aku
dan ia kuliah.
Lelah hatiku bertahan hidup dalam kesendirianCinta tak pernah datang seakan jiwaku tenggelamAkankah kutemukan cinta yang tak meragukanAkankan datang sinar terang, terangi jiwaku yang gelapDatang, datanglah cinta…
Malam itu
bagai semilir angin yang datang membawa kabar gembira di tengah amukan badai,
menyapu kilas kesedihan, untuk pertama kali Gilang memanggil namaku, “Sekar?
Kau Sekar toh?” Tanyanya yang tiba-tiba sudah berada disamping kiriku,
duduk manis layaknya kami sudah saling kenal dan akrab saja, padahal tidak. Menemani
kesendirianku di pojokan paling kiri, sengaja aku menjauh dari keramaian.
Seketika makhluk berkulit hitam, gigi putih berjejer rata membuyarkan lamunanku
yang kian jauh terbang ke Tanah Arab Egypt Cairo, tempat dimana Hasan lelaki
yang kini berstatus pacar melanjutkan
kuliah S2. Banyak hal yang kami perbualkan hingga tidak terasa pementasan telah
usai.
Komunikasi tetap kami lanjutkan dengan bertukar nomor kontak WA. Ada
kenyamanan yang tiba-tiba mengalir secara adagio, sebab kami ternyata memiliki
banyak kesamaan.
Hubunganku
dengan Gilang boleh dibilang sangat terbuka, ini antara kami berdua saja. Aku
sudah mempunyai kekasih dan ia pun kini kepunyaan orang lain. Sering kali yang
jadi pokok pembincaraan adalah berkenaan kecuekan pacar, gaya menanti kabar
pacar, membanggakan perwatakan baik pacar, yang kenyataanya berujung kini
kamilah yang diam-diam mengadakan kesepakatan di luar dari status berpacaran,
menetap di dalam ruang kenyamanan yang kokoh.
***
Hasan, sejak
kabar kepergiannya ke Egypt Cairo pada tanggal 11 Januari 3 bulan lalu, ia
mulai cuek. Berkabar sebulan sekalipun enggan, atau kini ia tengah kecantol
dengan gadis Arab? Deretan luahan perasaanku lewat chat WA satupun tidak
digubrisnya. Aku bukannya tidak berusaha mengerti kesibukannya, hanya saja
sepertinya ia kini tidak lagi membutuhkan kehadiranku, teman dimasa sulit.
Gilang pun
merasakan hal demikian. Bedanya pacar Gilang adalah kawanku sendiri, Susan,
seangkatanku di Program Studi Bahasa Inggris. Jauh sebelum kedekatanku dengan
Gilang terjalin, Susan mulai pergi menjauh dari sisinya. Sering kali aku
mendapati mereka di kantin duduk berjauhan tidak saling menyapa, entah perihal
apa, aku tidak begitu ingin tahu pada waktu itu sebab retaknya senyum merekah
diantara mereka. Yang pastinya hubunganku saat ini dengan Gilang tidak
diketahui oleh siapa-siapa, seandainya “iya” maka aku akan di cap sebagai Valakor
seantero kampus mengingat banyak yang mengidolakan kisah cinta mereka,”bagai
pinang di belah dua” kata salah seorang diantara ratusan fans mereka. Bagaimana tidak, Gilang yang
dikenal aktivis yang kekinian dan kekirian itu banyak di gandrungi
Mahasiswi-mahasiswi cantik dan juga Susan menjabat sebagai ketua HMJ (Himpunan
Mahasiswa Jurusan) yang juga di pandang sebagai seleb kampus. Lengkap sudah
buah pinangnya, menurutku.
“Sekar, aku tidak tahu di mana dan
kapan awal mula timbulnya perasaan ini, aku sendiri aneh dengan apa yang
kurasakan, tiba-tiba cemburu dan sakit melihat kedekatanmu dengan laki-laki
lain meskipun kau bukanlah pacarku. Aku membencimu, karna terlalu membuatku
nyaman dan menyadari kesusahanku menghindar dari kenyamanan ini,” ungkap Gilang di sore itu, tepatnya
saat kami menghabiskan akhir pekan dengan memancing ikan di Pulau Dutungan
Barru selama tiga hari. Tidak lain liburan itu kami rencanakan demi menghilangkan
kepenatan akibat tumpukan tugas-tugas dari kampus dan juga senasib dicuekin
pacar tanpa tahu sebab.
Mendengar
pengakuaan Gilang yang dipenuhi sendu gulana, aku sempat berandai bahwa kenapa
bukan Gilang yang pertama kali mengetuk pintu hatiku. Kenapa bukan aku
perempuan yang pertama kali muncul di hadapan Gilang sebelum Susan. Seandainya
waktu bisa di putar ulang seperti kaset. Tapi itu mustahil. Inilah kenyataannya
bahwa kini kami sedang menantang rasa, tetap mempertahankan pacar sendiri
hingga batas akhir. Dalam seni berpacaran hanya ada dua muara; jika bukan
berakhir di pelaminan, maka berakhir di linangan air mata, yaitu putusnya
ikatan status berpacaran.
Jahatnya
aku. Tidak, perasaan ini yang jahat. Tidak juga, rasa adalah anugerah dari
Tuhan. Jadi, siapa yang salah? Ah! Tidak seharusnya aku menyalahkan Tuhan.
Memangnya ini perasaan apa? Apa tiap-tiap rasa adalah anugerah dari Tuhan? Aku
pun tidak tahu menahu perihal rasaku.
Mencintainya, sayang, suka, benci ataukah marah? Yang mana sebenarnya diantara
perasaan itu yang seharusnya kusematkan pada hubungan yang di bangun atas dasar
kenyamanan ini. Aku hanya sedang menantang, menempuh dan merasai pada setiap
sela-sela suguhan rasa. Membiarkannya mengalir ke muara yang belum diketahui.
***
[Pulau Dutungan] 17:36
Gerimis
jatuh membasahi permukaan jilbab biru yang kukenakan, kepalaku mendongak
meyakinkan, “ah! Belumpi deras” aku kembali melantingkan kail
pancinganku berharap segera mendapatkan ikan kesekian kalinya. Kulihat Gilang
pun melakukan hal yang sama, ia tetap ingin melanjutkan memancing meskipun
sudah tahu gerimis tengah melanda.
“Belum
mau paka pulang daeng kalo belum adapi ikan kudapat,” seru Gilang dengan nada mantap “maluka
sama kau yang sudah dapatmi ikan, mau tongka saya” lanjutnya sembari
memoncongkan bibir tanda ia belum bisa menerima kekalah dariku.
“Dasar
anehko cowok”
umpatku dalam hati, tapi diam-diam aku menyukai tingkah anehnya itu, ia
terlihat lucu menurutku.
“Sudahmi
je Lang, ayomi istrahat, lagian langit dari tadi menggalau dan takutka kalo
makin deras i menangisnya” ajakku “sakit gammaki” tiba-tiba aku berkata dalam hati, hehe
punya hati nurani juga aku, menjaga pacar orang.
“Yeee…
dapat maka! Akhirnya dapatja juga” seru Gilang kegirangan tanpa menghiraukan orang-orang di
sekitar yang juga tengah memancing. Aku pun yang berjarak dua meter darinya
berasa pecah gendang telingaku akibat lengkingan suaranya. Semua mata mengarah
kepadanya, tetapi ia tidak menghiraukan tatapan itu malah berlalu dengan
coolnya berjalan kearahku sembari memamerkan hasil pancingannya meskipun hasil
pancinganku jauh lebih besar darinya. “Sombong sekaliki deh” kembali aku
mengumpat dalam hati melihat tingkah kekanak-kanakannya, hehe tapi lucu, aku
suka sisi kelucuannya ini yang jarang ia tampakkan jika berada di kampus.
Dengan gaya rambut gondrong, muka yang urakan di tambah celana robek-robek
persis dibagian lutut, kemana-mana di tangannya terdapat sebatang lintingan
rokok dan satu buah buku, mana ada yang beranggapan ia punya sisi lucu macam
Hello Kitty? Akupun heran mengapa ia begitu banyak di gandrungi seleb kampus
hanya bermodalkan tampangnya yang memang terlihat hitam manis. Aku baru sadar
ternyata ia seperti kopi hitam pahit manis sedikit yang banyak disukai.
“Sekar,
wee kenapa ko benga?”
tanyanya mengagetkanku “dari tadi ka suruhko fotoka, mauka dokumentasikan i
hasil pancinganku” perintahnya menyuruhku memotretnya dan kemudian di
pajang sebagai up date status WA dengan caption “Tangkapan pertamaku eee…
mana kau?
“Ededeh
magaya sekaliki”
kataku sewot
“Biar mi
je, kau kah kayak datang bulan ko saja marah-marah terusji mukerja” balasnya mengejek
Seperti yang
kuduga, isakan tangis dari para pasukan-pasukan langit yang sedari tadi di
tahannya akhirnya turun juga dan meluapkan rasa entah kecewa atau terharu.
Guyuran deras air hujan kini membasahi
permukaan kulit dan pakaian yang kukenakan, orang-orang sekitar
berbondong-bondong berlarian mencari tempat bernaung. Kusadari kini Gilang
tidak lagi berada di sampingku, entah kemana hilangnya lelaki aneh itu,
tiba-tiba aku merindu, merindukan seseorang, entah siapa… kurentangkan
tanganku, perlahan-lahan memejamkan mata menikmati kilasan hujan berharap
menyapu bersih kegundahan di dada.
Aku mencoba
mencari-cari wajah seseorang, menghadirkannya dalam imajinasi kerinduan. Hasan,
tidak! Kemana dia? Ia tidak hadir dalam imajinasiku. Siapa… siapa… siapa?
Tiba-tiba hadir sesosok wajah yang
menjengkelkan, ukh! Gilang? Kenapa dia hadir sih?
“Wei… apa
mubikin disitu? Kayak orang beleng-belengko saja, bukan di korea ini nah!
Dramatis sekali pake acara meresapi hujan segala” sergap Gilang tiba-tiba membuyarkan
imajinasiku. Ukh! Tidak dalam imajinasi bahkan di dunia nyata pun ia tetap
menjengkelkan.
“Urusanku
toh” ujarku berjalan
melaluinya, kembali ke beranda rumah tempat kami menyimpan barang.
“Jangan
mako ingat terus i Hasanmu… haha adami itu cewek Arab nadapat” katanya dengan enteng berhasil
membuatku menggalau.
“Kamu
juga jangan mako urusika, urusmi saja Susanmu biar tidak nabawa lari i orang” balasku tidak kalah ketus.
Sejenak
keadaan mulai hening, aku dan Gilang bermain dengan fikiran masing-masing.
“Sebenarnya
untuk apa je itu pacaran di? Kenapa nah kebanyakan menggalau terusji kurasa,
lebih nyamanka kurasa kayak begini sama kau tanpa harus berpura-pura”
ungkap Gilang membuka pembicaraan.
“Memangnya
selama ini selaluko pura-pura sama Susan kah?” tanyaku menyelidiki
“Tidak
beginika itu sama Susan, kaku sekalika kalo ketemu, asik sendiri dengan Hp
masing-masing sampainya bilang i, (kak pulang maka dulu nah! Ada tugasku mau
kukerja, dikumpulmi besok, assalamu alaikum…) formalnya deh, kayak di forum
saja kurasa” kata
Gilang sambil memperagakan gaya Susan pamit mengakhiri pertemuan. Haha lucu
juga aku melihat peragaan itu. Entah kenapa aku merasa special bisa melihat
sisi kepribadiannya satu ini, menurut pengakuannya ini kali pertama ia merasa
nyaman dengan lawan jenis dari sekian deretan nama perempuan yang ia kenali.
“Kenapaki
pale pacari kalo begitu?” tanyaku menghembuskan nafas seolah merasakan kejenuhan yang tengah
bersemayam di hatinya.
“Entahlah!
Heranka juga kenapa begini, lebih mengherankannya lagi tidak mauka kurasa lepas
dari kamu,”
ungkapnya “terlambatki ketemu”lanjutnya
“iye,
begitumi kapang”
***
“Sekar,
janganki tinggalkanka nah! Butuhka dukunganta, semangatika dimasa-masa sulitku” pinta Gilang senja kala di atas
balkon kos-kosannya
“Kenapa
saya yang kita suruh? Kenapa bukan Susan,” tanyaku penasaran menyadari perubahan rasa dalam diri
yang tiba-tiba berputar arah 180 derajat. Langkahku menuntunku tanpa alasan
yang jelas setiap hari mengunjunginya walau sekedar ingin tahu apakah dia sudah
makan ataukah pakaiannya telah ia cuci. Konyol kan? Rasanya tahi kucing sudah
berubah rasa coklat.
“Terpenjaraka
kurasa pacaran, diambil kebebasanku, mauka berhenti pacaran, tapi tidak mauka
juga sakiti hatinya Susan dengan memutuskan ikatan,” akhirnya Gilang meluapkan rasa yang
kini menjeratnya
“Mesti
kita tau, kalo kini kurasakan juga apa yang ta rasa, keanehan mengalir merasuki
fikiran dan rasaku yang belum bisa kupastikan apakah betul inimi yang dinamai
cinta, jangan sampai hanya kenyamanan sesaatji, entahlah…” tegasku ingin menyudahi perdebatan
rasa, terlebih aku baru-baru memutuskan ikatan status berpacaran dengan Hasan
lewat chat singkat di akun WhatsApp. Tersadar oleh kenyataan bahwa berpacaran
hanya mengader rasa dan nalarku menjadi seperti seekor tedong yang kapan
dan dimanapun harus terikat, mengambil alih paksa kebebasanku. Teori berpacaran
seperti seekor tedong inilah yang membelenggu cinta suci seseorang, memaksakan
diri mengambil jalan ke-beleng-an alias jalan ke-valakor-an.
Inilah aku apa adanya, menikmati keindahan senja yang kau suguhkanAku takut menebar harap lalu tenggelam di kesunyian malam
L. Amaliah (NH)
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.