Tahun ajaran baru alumni SLTA berbondong-bondong masuk perguruan tinggi ternama, utamanya perguruan tinggi negeri. Mereka beranggapan bahwa perguruan tinggi negeri akan lebih murah dibanding universitas swasta. Namun, anggapan mereka salah ketika sistem Uang Kuliah Tunggal alias UKT menjadikan biaya kuliah universitas negeri dan swasta, itu sama.
Iming-iming biaya UKT lebih murah dibanding pembayaran SPP sebelum adanya UKT hanyalah kebohongan belaka. Berlakunya sistem UKT hanya membuat mahasiswa semakin menderita. Apalagi kebijakan UKT ini dibebankan oleh otonomi kampus. Belum lagi jika sistem kampus yang amburadul dan hanya mementingkan gengsi universitas semata. Mereka bisa saja menetapkan UKT setinggi-tingginya.
Pantaslah
jika kalangan aktivis dari mahasiswa melakukan aksi demonstrasi menolak adanya
UKT. Memperjuangkan aspirasi mahasiswa baru maupun orang tua/wali mahasiswa
baru adalah tugas mereka. Di tengah kebobrokan sistem UKT yang tak kunjung
usai. Mereka mengecam UKT karena sudah bersifat komersialisasi dalam dunia
pendidikan. Apa jadinya jika pendidikan dijadikan barang dagangan? Ingat! Dalam
pasal Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 “Setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan”. Jadi ini tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan hal itu.
Bukannya kita tidak mau membiayai pendidikan. Kita tahu kalau pendidikan itu
tidaklah gratis. Toilet aja bayar, apalagi pendidikan. Tapi apakah dengan
sistem UKT ini pasal 31 ayat 1 UUD 1945 tersebut bisa terwujud?
Sudah
dua tahun UKT diterapkan di setiap Perguruan Tinggi Negeri, baik itu yang
berlebel Islam maupun tidak. Sudah dua tahun pula demonstrasi UKT ada
dimana-mana. Namun belum ada perubahan dari cara penetapan penggolongan UKT.
Lucunya,
penggolongan UKT berdasarkan penghasilan orang tua disapuratakan di setiap
fakultas. Padahal setiap fakultas memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sebut
saja fakultas kesehatan atau fakultas MIPA. Mereka mempunyai mata kuliah
praktikum di laboratorium. Tentulah alat-alat praktik yang ada di laboratarium
membutuhkan dana untuk membelinya. Bebeda dengan fakultas humaniora. Mereka
tidak membutuhkan apa yang dipakai oleh fakultas kesehatan. Sehingga UKT-nya
lebih murah.
Ini bukan hanya membahas tentang
persoalan ekonomi. Tetapi juga persoalan politik kampus ; Komersialisasi
Tak
bisa dipungkiri, praktik komersialisasi pun mencuat di berbagai kampus. Pihak
kampus masih saja menyewakan gedung-gedung kampus untuk kegiatan mahasiswa.
Padahal mahasiswa telah membayar UKT dan pemerintah telah mengucurkan dana
BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri). Kita tidak bisa
menyalahkan kampus sepenuhnya karena sudah pasti ada dalang di balik semua ini.
Tahukah anda bahwa dari tahun ke tahun BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan
Tinggi Negeri) semakin menurun?. Menurunnya BOPTN pasti akan berdampak pada
UKT. Semakin menurun BOPTN maka semakin naiklah biaya UKT. Lantas, dimana peran
pemerintah untuk mencerdaskan bangsa Indonesia? Ini harus dipertanyakan karena
eksistensi pemerintah dalam menangani masalah pendidikan sudah berada diambang
kepunahan.
Permasalahan
UKT tidak sampai di situ. Hingga saat ini masih menjadi misteri, mengapa
mahasiswa yang masuk kampus melalui jalur mandiri berkemungkinan kecil bahkan
tidak bisa mendapatkan golongan UKT 1. Padahal tidak semua yang mengikuti jalur
mandiri tersebut berasal dari golongan elit. Entah apa sebabnya. Lagi pula Apa
orang kaya tidak boleh menikmati pendidikan yang murah?. Teori ekonomi
mengatakan, semakin kaya seseorang maka kebutuhannya semakin banyak.
Di
sisi lain, civitas akademik kampus yang menangani UKT sering kecolongan dalam
penetapan UKT mahasiswa. Pihak kampus juga harus waspada terhadap kecurangan
dalam penetapan UKT. Karena ada beberapa oknum yang memang melakukan kecurangan
agar mereka bisa memperoleh UKT yang rendah.
UKT
adalah salah satu polemik di dunia pendidikan khususnya di wilayah perguruan
tinggi negeri. UKT saat ini telah menuai polemik kontrofersial. Oleh karena
itu, pihak kampus harus memperhatikan penetapan UKT dengan teliti. Di samping
itu sangat perlu diadakan sosialisasi bagi orang tua/wali mahasiswa agar mereka
benar-benar paham dengan sistem UKT ini. Namun, perlu diingatkan bahwa ini
bukan tugas kampus semata. Tapi seluruh mahasiswa harus terjun dalam hal ini.
“Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan” Adlai Stevensor
Ulmi Mansur
(Mahasiswi Semester VI Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yokyakarta – Redaktur Ngemper!)
(Mahasiswi Semester VI Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yokyakarta – Redaktur Ngemper!)
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.