Euphoria kebangkitan Islam (dilihat dari rentetan situasi dinamis dua tahun terakhir) hingga fenomena hijrah kaum muda atau yang mendadak menjadi ustad/ustadzah menjadi situasi objektif yang mampu menjadi salah-satu bukti untuk meng-amini kebenaran kebangkitan Agama Islam di Indonesia, maaf ! tapi hal demikian juga justru bisa menjadi kemunduran. Walaupun memang tidak bisa dinafikkan bahwa rentetatan aksi “Bela Islam” hingga Bela Palestine kemarin menjadi instrumen-instrumen yang mendorong kebangkitan tersebut, kebangkitan yang bersifat paradoksal.
Selanjutnya, rentetan situasi dinamis ke-Islam-an Indonesia
itu kemudian memberikan suntikan positif kepada Negara-negara Islam yang
berkesepahaman langgam dan sebaliknya menjadi momok bagi kapital barat, yang
kian hari menunjukkan keterpurukan ekonominya. Harus di akui bahwa invest dan
ekspansi ekonomi (yang dipelopori) Negara-negara Islam menjadi salah-satu yang
diperhitungkan dalam mekanisme ekonomi-politik global, bukan tidak mungkin
menjadi wabah yang semakin menguakkan krisis yang terus menerus dialami
ekonomi-politik barat (Amerika Cs dan Uni Eropa) tak terkecuali komplotan Blok Timur (Chinese, Amerika Latin,
Russia dkk).
Tetapi hal demikian justru bisa menjadi boomerang seperti yang kuungkapkan sebelumnya (bahwa euphoria
kebangkitan Islam di Indonesia, bisa menjadi barometer kebangkitan atau bahkan
kemunduran)bagi politik Islam, karena diantara euphoria kebangkitan tersebut
terselip semangat anti kebhinnekaan, terkhusus di Indonesia. Jika berangkat
dari dasar teori bahwa ketika pusaran ekonomi global bermekanismekan ekonomi
capital, maka semua Negara (maju maupun Negara dunia ketiga)pun ikut dalam
system kapitalistik tersebut. Hal demikian dibuktikan dari situasi yang ada di
Indonesia. Kemjuan yang ada adalah kemajuan disatu sisi yang kemudian secara
tidak langsung dibuntuti pula kemunduran di sisi lain. jika semua Negara masih
terkungkung dalam mekanisme ekonomi global yang kapitalistik, maka sudah
dipastikan Indonesia pun juga termasuk.
Mencoba kembali menekankan bahwa situasi yang ada di
Indonesia jelas memberikan dua hasil analisa, antara kemjuan dilihat dari sisi
spiritual masing-masing individu (karena seketika fenomena hijrah semakin
ditularkan, dan lahirnya ustad-ustad muda yang bahkan belum mengerti perbedaan
fatwa dan dakwah) dan juga kemunduran dilihat dari kemanusiaann dan
kebhinnekaannya sebagai warga Negara yang berkultur Indonesianis.
Ekonomi
kapitalistik selalu membawa semangat rasialis ketika diambang krisis, yang
kemudian berakhir pada terjadinya persekusi dimana-mana atau fasistik. Dan hal
itulah yang menjadi masalah pokok di Indonesia, dari penggiringan isu yang massif
dan hegemonik sampai pada tumbuhnya fanitesme kelompok dengan budaya-budaya
radikalistik yang berkecenderungan anti demokrasi.
Tumbuh dan Layunya
Fundamental “Kanan” di Indonesia
Indonesia tercatat sebagai Negara yang berpenduduk
(mayoritas) beragama Islam. Negara yang berasaskan ke-bhinneka-an mempunyai situasi dinamis tersendiri dibandingkan
dengan Negara lain, namun yang menjadi tanggugjawab kemudian ialah bagaimana
menjaga Ke-bhinneka-an itu agar tetap
mampu menjadi Tunggal Ika. Ragam
etnis, kultur, bahasa, agama dan corak produksi sudah sering menjadi alat pemantik
bagi kelompok-kelompok gerakan radikal yang berkecenderungan memecahbelah,
ditambah lagi dengan menigginya tensi gerakan
fundamental kanan atau gerakan radikalisme yang berdasarkan agama. Bukan
tidak mungkin jika dilihat dari keragaman Negara ini, ditambah lagi dengan
keberadaan ormas-ormas yang berbasis agama dari tingkatan sekolah menengah
sampai pada tingkatan yang geraknya sudah politis. Tidak bermaksud menolak atau antipati terhadap keberadaan ormas
itu, sebagai orang yang beragama saya tidak menolak itu. Tetapi yang terjadi
adalah justru keberingasan ber-Tuhan itu yang terkadang diperlihatkan, yang
kesemuanya dipicu oleh dogma yang lahir dari doktrinisasi ormas-ormas berbasis
agama. Kemudian yang terjadi kemudian ialah perseteruan horizontal antara umat
beragama, antara kaum ini dan kaum itu, antara jamaah ini dengan jamaah itu.
Saling menyalahkan dan membenarkan ego dan kelompok masing-masing dan
mengesampingkan keberagaman serta keharmonisan sebagai Negara yang terdiri dari
ragam bangsa, bahasa, ras, dan agama.
Meningkatnya gerakan fundamental kanan bisa menjadi alat
politik bagi sebagian kelompok, tidak heran ketika sejauh ini telah mengalami
kemunduran, jangan bilang karena pilkada Jakarta telah usai, tidak ! Saya tidak
membenarkan hal itu, hanya saja ada ketakutan bila trend positif dijadikan
momen bagi sebagian pelakon politik untuk meninggikan perseteruan politik
negeri, dan kalaupun memang benar, kupikir belum lah selesai, toh ujungnya
ialah event politik atau pemilu 2019.
Hijrah, Nikah Muda
Hingga Poligami
Fenomena hijrah seolah menjadi trend baru beberapa tahun terakhir,
dari kalangan Artis, pejabat, hingga kalangan pemuda. Entah hijrah yang hakiki
itu seperti apa, apakah hijrah adalah dengan seketika merubah penampilan dengan
mulai menumbuhkan jenggot bagi kaum pria, berpakaian agamais, atau dengan
mengenakan hijab syar’I atau bahkan ber-niqab (baca: bercadar) bagian
perempuan ?, atau mungkin memamerkan foto-foto tengah menghadiri pengajian
dengan dalih tuntutan dakwah ? atau memposting kutipan-kutipan ke social media
atau vidio potongan ceramah ustad-ustad yang kian hari juga mulai ngehits di social media ? atau bagaimana kah
sebenarnya.
BACA JUGA INI : FENOMENA HIJRAH ANAK MUDA
Trend itu sebenarnya adalah trend positif yang seharusnya
bagi semua muslim hendak melakukan, terkhusus bagi saya pribadi. Menurut logika
cabul bin analisa gembelku, hijrah adalah soal niat dan proses, hijrah tidak
sekedar merubah penampilan tetapi lebih dari pada itu, seperti bagaimana
kemudian merubah pola pikir serta perbuatan, atau singkatnya ialah proses
perpindahan dari hal yang buruk ke hal yang lebih baik, dan itu didasarkan oleh
kejujuran pada diri sendiri.
Tidak ada yang salah dari fenomena hijrah di kalangan anak
muda, saya hanya dibingungkan oleh fenomena kecil yang kemudian membuntuti atau
terselip didalamnya, seperti kemudian propaganda ta’arufan dan nikah muda sampai pada obrolan soal poligami
dikalangan anak-anak SMA dan mahasiswa yang nikah saja belum.
Saya pribadi tidak kemudian menihilkan hal-hal tersebut,
hanya saja berusaha mengantisipasi lahirnya pemikiran nikah muda adalah solusi pokok
untuk menghindari hal-hal yang dianggap Zina
dan dosa. Kemudian melahirkan asumsi di kepala perempuan-perempuan muda
bahwa tugas seorang perempuan adalah menyiapkan dirinya menjadi ibu rumah
tangga, dan mengesampingkan kultur ketimuran yang kaya, pendidikan, hak, dan
sampai pada hal-hal yang justru merendahkan perempuan, sebab menurunkan
statusnya hanya sebatas alat reproduksi dengan dalih sebagai bentuk pengabdian
kepada Tuhan, jujur itu hal yang konyol, kupikir Tuhan tidak sadis itu
memposisikan perempuan.
Belum lagi soal poligami, dengan alasan sunnah seringkali poligami menjadi salah satu hal yang di idam-idamkan (terkhusus bagi laki-laki), walaupun sunnah rasul bukan hanya itu, dan masih banyak yang jauh lebih berfaedah dari itu. Masalahnya adalah, tidak kemudian hanya terpakem dalam kepala laki-laki bahwa poligami adalah hal yang baik yang seharusnya terus digemborkan dan dipropagandakan, melainkan mulai juga tumbuh sebagai pemahaman di kalangan perempuan, bahwa dengan membagi hak nya sebagai seorang istri kepada perempuan lain, adalah bentuk pendekliran sebagai Ummat nabi yang taat dan hamba Tuhan yang bertaqwa. Walau demikian hal itu kembali lagi kepada diri masing-masing, yang terpenting tidak menjadikan hal tersebut sebagai dalih, “dengan alasan sunnah, menikahi perempuan-perempuan muda, dengan iming-iming surga, mempersunting anak SMA yang pembalutnya saja masih di beliin sama orang tua”. I think, it’s a fucking bullshit !
Bersambung….
Idam Bhaskara (Graphic Designer Ngemper!)
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.