Bayang-Bayang Asumsi Politik Dibalik Aksi HmI Parepare



“Kami mengutuk kebijakan pemerintah yang mencabut subsidi listrik rakyat Bahwa Pencabutan Subsidi listrik adalah merenggut hak Rakyat dan sangat membebani rakyat karena dangan pencabutan subsidi tersebut membuat tarif dasar listrik meningkat lebih dadri 100%. sehingga kami mendesak pemerintah untuk mengembalikan subsidi listrik milik rakat”

Demikianlah point pertama yang termaktub dalam pernyataan sikap Aksi Hmi Cabang Parepare, aksi yang diikuti ramai sepasang kaki yang sesekali berseru “hidup mahasiswa, hidup rakyat !”, aksi yang mencoba memblejeti rezim Jokowi-Jk di akhir-akhir kekuasaannya, sebelum bergulir dalam pesta ilusi demokrasi di tahun 2019 nanti.

Mendengar seruan aksi dan melihat gegap gempita mahasiswa berbondong turun kejalan menjadi pemandangan yang indah dipelupuk mata, bagaimana tidak, setelah kian hari telah jarang ditemui. Gerakan mahasiswa yang telah lama sibuk di kantin-kantin kampus seolah digedor kembali untuk ikut sadar dan kembali pada koridor sebagaimana tradisi dan budaya alamiah gerakan mahasiswa, gerakan yang terhubung dengan elemen diluar dirinya ; petani, buruh, nelayan, kaum kere kota-rakyat secara umum.

Siang tadi teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam telah berusaha melakukan apa yang semestinya dilakukan oleh gerakan mahasiswa. Tidak hanya kemudian menyikapi keluh kesah rakyat akan berbagai macam kebijakan yang semakin menyengsarakan dirinya, tetapi bagaimana mengembalikan khittah gerakan mahasiswa yang sejati.

Berbagai macam tuntutan diserukan (Baca Pernyataan SikapAksi HmI), rentetan kalimat agitatif terdengar lantang dari toak yang tergenggam erat ditangan orator. Berusaha menyampaikan keluh kesah rakyat atas kedzaliman si pemegang tahta kuasa, begitu menurutnya.

Tetapi ada yang kemudian mengganjal sisi lain dari diri saya, ekstrimnya langsung menjatuhkan penghakiman yang bersifat asumsi, bahwasanya aksi Hmi Parepare bertendensi menolak rezim Jokowi dan berdiri pada barisan sebagai pendukung salah satu kandidat yang sudah pasti bukan Jokowi dan gerbong PDIP. Tetapi tenang saja, sisi lain diri saya pun tak sependapat dengan pernyataan tersebut, itu tuduhan yang ngawur, bukan analisa kritis.

Lama kelamaan seolah apa yang disampaikan sisi lain dari diri saya mencoba untuk kembali diperdebatkan dalam pikiran dan hati, seolah-olah memeberikan beberapa pemaran sebagai penopang dari argumentasinya. Memang agak rumit memberikan sikap terhadap Aksi tersebut, dilain sisi ikut mendukung gebrakan yang dilakukan (karena seolah kembali memperlihatkan betapa runcingnya mata tombak gerakan jika terus di asa) tetapi juga meninggalkan rentetan pertanyaan, mengapa dilakukan ditahun-tahun politik seperti sekarang ini, tidak kah itu akan mengundang banyak sikap (pemblejetan) dari berbagai kalangan, begitupun saya sebagai salah satu kader.

Kita bisa kembali menengok dan belajar dari kasus Puisi “Ibu Indonesia”. Jelas bagaimana reaksi berlebihan masyarakat terhadap Puisi “Ibu Indonesia” dari Soekmawati Soekarno Putri. Kesalahan dari puisi itu sebenarnya tidak ada, kalaupun ada anggaplah itu tidak signifikan, toh orang bebas mengeksplor kata demi kata dari pikiran dan apa yang ia rasakan, tetapi yang keliru ialah ketika dibacakan dalam konstalasi politik yang sedang sensitif, belum lagi soal latar belakang si pembuat dan pembacanya, dimana kita tahu Soekmawati adalah adik dari pemegang kendali PDIP sebagai partai yang memegang rezim hari ini. Hal yang sama lah yang saya (sebagai Kader) takutkan terhadap aksi teman-teman HmI Cabang Parepare siang tadi, jelas akan berpotensi melahirkan banyak asumsi bahkan pemblejetan dari berbagai kalangan.

Tetapi memang agak sulit menghindari asumsi bahkan kritik itu, apalagi jika ditopang oleh track record dan historical HmI itu sendiri. Riuh rendah para senior sudah mulai terlihat dibeberapa perhelatan politik nasional dan daerah, artinya nilai luhur yang coba dijaga kian zaman mulai terkikis hingga syahwat politik sudah mulai tumbuh didalam lingkar organisasional.

Di ulang tahun ke 70 Nurcholis Madjid sempat mengeluarkan pernyataan tentang pembubaran HmI, pernyataan itu ditopang oleh hal yang ia temui di masa dewasa HmI, dimana HmI sering kali dijadikan batu loncatan senior dalam menyulam karir politiknya. Sebenarnya hal semacam ini tidak hanya dialami oleh HmI saja, organisasi lain pun demikian. Kekeliruannya memang berdasar pada budaya senioritas yang terus dijaga dan kembangkan sebagai dogma, hingga kerap kali kita temui praktik “pencabulan” senior terhadap intelektualitas dan analisa kritis kader-kader baru atau junior.

BACA TULISAN OPINI LAINNYA DISINI

Politik praktis memang sering kali menjadi penyakit bagi lingkar gerakan, organisasi apa pun itu. Belum lagi soal hubungan antara junior yang masih terwadahi oleh organisasi dengan para senior yang sudah berkarir dalam politik parlementariat, senior yang terkadang menyelipkan latar belakangnya bahwa ia dari bendera ini dan itu. Celah ini lah yang terkadang mengotori khittah gerakan organisasi khususnya kelompok cipayung yang memang banyak mengkontribusikan kadernya dalam konstalasi politik negeri. Dan parahnya jika ada kebanggan dengan alumni-alumni (baca kakanda-kakanda) yang kini duduk di kursi-kursi kekuasaan, karena hal ini bisa berakibat pada pengendalian licik terhadap organisasi oleh senior demi menopang kepentingan politiknya.

Begitulah demikian sisi kelam gerakan mahasiswa dari jaman ke jaman, peralihan politik jalanan ke politik parlementariat sudah sering kali terjadi (Baca Gerakan Mahasiswa : DariPolitik Jalanan ke Politik Parlementariat). Kita juga bisa belajar dari bagaimana memori kelam peristiwa 98 dimana sebagian mahasiswa tertembus peluru aparat, dan sebagiannya lagi kini berteman dengan aparat yang (dahulu) menembaki teman-temannya.

Sekali lagi tulisan ini tidak sedang memblejeti siapapun dan apapun, hanya berusaha menghadirkan bahan evaluasi dan refleksi agar kedepan kita sama-sama mampu melahirkan sikap yang (setidaknya) tidak bertendensi kepentingan politik. Semoga kita (sesama kader) bisa saling menjaga nilai luhur organsiasi dan selayaknya kader maju, tidak gagap dalam bertindak, selanjutnya mulai mengikis praktek komando kaku senior agar tidak mudah digerakkan sana sini sesui dengan tuntutan kepentingan politik yang tengah dibangunnya.

Saya ikut mendukung dan berseru atas kedzaliman rezim Jokowi-Jk yang kian hari makin beringas dengan berbagai kebijakan dan regulasi yang tidak pro terhadap rakyat dan mencoba menyumbat ruang-ruang demokrasi rakyat. Tetapi bukan berarti saya mendukung kelompok politik lain atau kandidat politik dalam pesta ilusi demokrasi 2019 nanti, karena saya sadar siapapun kandidatnya selama ia berkendara partai politik borjuasi, selama itu pula ia akan menjadi penyambung tangan ekonomi global dalam memeras rakyat Indonesia.


Idam Bhaskara (Desain Grafis Ngemper!)
Penulis Bisa Dihubungi via Wa 085397849128


Catatan : Setiap tulisan yang masuk didalam daftar list redaksi menjadi tanggungjawab si penulis atau pengirim tulisan. Baca Selengkapnya Disclaimer.

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama