Yang Disangka Receh, Belum Tentu Receh


Bukan kali ini saja, di hari-hari sebelumnya Baso sering memunguti beberapa keping koin temuannya saat  mengitari komplek perumahan, tempat dimana ia bermukim. Aktifitas yang sengaja ia tunaikan demi sebuah harapan. Harapan akan sesuatu yang jauh hari telah terenggut darinya, yaitu harapan pada bentuk tubuhnya yang kini tak lagi ideal sebagaimana dahulu kala si perut masih berkotak-kotak laksana roti maros. Menurutnya, pola hidup yang tengah ia nikmati sekarang adalah alasan utama tubuhnya menumbuh ke samping. Olehnya itu, ia bertekad berkeliling tiap sore, membakar habis lemak yang bersarang di sekujur tubuhnya, termasuk di perut. Bukan perkara mudah memang. Sebab, bukan hanya kesanggupan meninggalkan kebiasaan serba nyaman saja yang dibutuhkan. Akan tetapi, keseriusan melatih diri untuk terus memupuk kesabaran juga adalah kuncinya. Tanpa itu, usaha yang dilakukan bisa saja terhenti di tengah jalan. Lalu, kembali memutuskan bertolak kemudi menuju arah sebelumnya.

Kembali ke soal koin temuan Baso. Beberapa hari ini, selama ia bertawaf di kawasan komplek, memang tidak jarang ia mendapati koin-koin berserakan begitu saja di jalan yang dilaluinya, tanpa ada sepasang mata yang menunjukkan rasa empati atas nasibnya. Dengan berbalut tanah, Baso tahu jika uang logam itu sudah menghabiskan banyak hari disitu.

“Apa yang membuatmu sampai jauh terbuang ke sini? Tidak seharusnya kau di sini. Sebab, takdirmu berpindah dari tangan ke tangan. Sungguh malang nasibmu, sayang kau tak semujur saudaramu, si uang kertas”, bisik Baso dalam hati merenungkan nasib si koin.

“Tapi sudahlah, dari pada memikirkan nasibmu lama-lama. Alangkah baiknya jika kau ikut saja denganku. Semoga saja kau betah dikantong ini”, katanya kepada koin sambil meletakkannya pada saku bajunya, baju yang sudah lama berpuasa dari sentuhan air kecuali oleh keringatnya sendiri.

Setelah menjauh dari lokasi pertemuannya dengan si koin,  Baso kini tengah melintas di depan rumah karibnya. Siapa lagi kalau bukan Beddu. Hanya mereka berdua yang tidak mendapat ruang di kelompok lain. Oleh karena berujung dengan nasib  serupa, yang bisa dikata tidak jauh berbeda dengan apa yang menimpa si koin. Maka, atas dasar persamaan sebagai nasib orang terpinggirkan, lahir kata sepakat untuk merajut tali pertemanan diantara mereka. Namun soal prinsip dan isi kepala, Baso mengekor dibelakangnya. Seperti soal prinsip ketika ia menegaskan untuk tidak berlaku latah dengan mengenyam bangku sekolahan. Hal yang pernah ia utarakan alasannya kepada sahabatnya itu kala bersua di kedai Pak Ali dahulu.

Kebetulan sore itu, Beddu sedang di teras rumahnya, menikmati pisang goreng dan kopi hitam hasil olahan tangan Emaknya terkasih. Dan tepat saat itulah Baso melintas di mukanya.

“Singgahki sappo”, sapa Beddu menawarkan.

Mendengar tawaran itu, Baso menunjukkan wajah sumringah, tanda bahwa ia senang ditawari. Namun bukan lansung menerima, melainkan tawaran itu ditanggapinya dengan basabasi dulu. Ia menolak halus. Meniru kebiasaan orang yang lagi malu-malu ketika ditawari sesuatu.

“Iye sappo, terima kasih. Lain kali saja”, katanya sambil berharap untuk dicegah. Seumpama cewek yang hendak dimengerti walau hanya memberi kode terserah.

Tetapi bukan Beddu namanya kalau ia tidak kenal maksud Baso. Sepertinya, ia sudah sering melihat adegan itu. Makanya, ia melontarkan respon dengan nada canda.

Baiklah kalau begitu. Sebenarnya saya juga cuma pura-pura menawari. Sekedar berbasabasi, supaya disangka baik seperti yang biasa orang-orang lakukan. Kalau mau terus, malah lebih bagus. Setidaknya, saya tidak perlu berbagi pisang goreng dan kopi denganmu”, katanya.

“Kurang ajar”, umpat Baso dengan nada jengkel.

“Bercanda, tidak usah didramatisir segala kalau memang butuh.”

Dengan senyum yang merekah di bibir tebalnya, Baso menjawab, “ya sudah, kalau kita memaksa, saya akan mampir sejenak demi menyenangkanmu”.

Beddu langsung saja melayangkan sendalnya ke arah Baso, karena merasa geli dengan apa yang barusan dikatakannya, “gayamu, lagu lama.”

Sore itu, mereka bercengkrama begitu akrabnya. Dari kejauhan orang akan melihatnya sebagai percakapan lepas yang tampak bahagia dan bersahaja. Sambil menyeruput kopi yang baru saja dihidangkan Beddu untuknya. Tanpa rasa segan lagi, Baso lansung berterus terang.

“Sudah ada kopi, tapi belum dengan temannya sappo? ”tanyanya.

Tanpa babibu, Beddu lansung paham arah yang dimaksudkan  sahabatnya itu. ia merogoh kantongnya untuk mengeluarkan sebungkus rokok yang tidak lagi penuh, lalu menawarkannya.

“Merokokki sappo, lebih massadidu lagi rasanya itu pisgor sama kopi kalau dinikmati sambil merokok ”, tawarnya dengan basabasi.

“Bah, biar tidak bilang, semua perokok juga tahu itu sappo”, jawab Baso sambil tertawa.

BACA SERIAL BASO DAN BEDDU LAINNYA DISINI

Kepulan asap yang sesekali mereka hembuskan, menambah kehangatan pertemuan dua anak muda sore itu. Tidak terasa sudah berapa batang yang telah menjelma abu dan menyisakan puntung pada asbak mungil di tengah mereka. Kini kopi tinggal seperdua. Begitu juga halnya dengan pisang goreng buatan Emak. Tetiba saja Baso kembali  merenungkan nasib si koin yang kini menjadi penunggu sakunya. Karena dirundung kecamuk di kepala, ia pun menceritakan ihwal pertemuannya dengan si koin.

“Bed,” sapaan mesra Baso kepada sahabatnya itu.

“Apa?”

“Setiap saya mengitari komplek ini, selalu saja ada koin yang saya temukan tergeletak tanpa daya di pinggir jalan,” terangnya kepada sang sahabat.

 “Lalu, apa masalahnya?” balas Beddu yang terkesan cuek saja.

“Maksud saya, kenapa orang-orang tidak lagi memperlakukannya sesuai peruntukkannya. Jangankan dilihat sebagai alat tukar, bahkan untuk  melihatnya sebagai sesuatu yang masih memiliki guna bahkan nyaris sirna. Botol plastik malah lebih kerap dipungut dibanding ia. Apa ia memang telah kehilangan nilai dan fungsi sebagai salah satu mata uang yang sah? Karena jikalau ia masih saja uang, pastinya ia tidak terhempas jauh hingga ke jalan. Orang-orang akan ramai memperebutkannya. Sama dengan kedudukan uang lainnya.

Beddu terdiam sejenak. Seolah memberi isyarat kepada sahabatnya bahwa ia tengah berfikir, mencari jawaban yang pas untuk mengobati kerisauan sahabatnya akan nasib si koin. Kemudian Beddu pun bersuara, “seperti kau tidak tahu saja sappo apa yang berlaku di tengah masayarakat kita ini. Dan besar kemungkinan, hal sama tidak hanya berlaku disini tapi juga disetiap belahan dunia lainnya. Sejatinya kawan, sangat kecil kemungkinan untuk mendapati seseorang yang dengan rela mengarahkan perhatiannya ke arah sesuatu yang  telah dianggap bernilai rendah, apalagi jika sesuatu itu malah disangka telah kehilangan nilai”.

Beddu masih melanjutkan, “namun bagi saya, si koin yang dihinakan itu masih tetap dengan nilainya yang sama seperti dulu. Hanya saja ia mengecil jika dikaitkan dengan kebutuhan manusia. Di mata manusia sekarang, keberadaannya tak lebih dari sebuah barang yang telah kehilangan daya tarik. Mungkin sama dengan pakaian yang telah usang atau makanan yang baru saja disisakan oleh pengunjung restoran dengan sengaja. Tidak ada yang mau memakai pakaian itu. Begitupun kiranya dengan makanan sisa tadi, tidak ada yang berminat lagi memakannya. Dengan sigap, keduanya lantas dibuang oleh orang-orang. Tapi ini pengecualian. Sebab,  tidak semua kalangan sama dalam memandang nilai. Yang menjadi inti, bahwa di era ini, ia telah ditinggal masa kejayaannya. Cahayanya meredup, telah lekang seiring dengan gulirnya waktu”.

“Apakah tak ada lagi guna yang tersisa untuknya?” kembali Baso mengharap jawaban.

“Jawabannya tentu masih sappo, berbicara nilai sebaiknya tidak dengan mengebiri maksudnya. Namun, perlu kau ketahui bahwa tidak semua orang merawat kepekaan dalam dirinya jika hanya berurusan dengan hal perkara sepele dan sia-sia, sama urusannya dengan si koin yang bersarang di kantongmu itu. Setelah dianggap tak lagi bertugas sebagai alat tukar, kepeduliaan orang-orang terhadapnya pun akan perlahan menguap, lenyap entah kemana. Padahal jika beralih fungsi ke hal lain tentu ia bahkan sangat berguna dan bernilai. Dan untuk mengetahuinya, si koin dan hal lain yang bernasib sama itu harus berada di tangan seseorang sepertimu sappo”, terang Beddu.

Mendengar penjelasan yang seakan memujinya, pipi Baso pun merona, nampak kemerah-merahan. Mungkin saja merahnya sama dengan pipi St. Aisyah ra, kala dipuji oleh Baginda Rasulullah SAW. Dengan agak tersipu, ia segera menegakkan posisi duduknya. Mencoba mengendalikan rasa bangga yang sedang memenuhi dadanya agar tidak sampai berbuah angkuh.

Melihat itu, Beddu kembali melanjutkan penjelasannya, “Begini sappo, jika si koin tadi kau bawa dan letakkan pada tempat dimana ia telah dianggap tak lagi bernilai. Tentu yang dijumpainya adalah nasib yang serupa dengan barang yang telah diabaikan. Namun sebaliknya, jika diletakkan pada sesuatu yang dimana ia memiliki fungsi. Maka jelas ia tetap bernilai”.

“Seperti apa contohnya?” tanya Baso lagi.

“Sederhananya, kau bisa gunakan untuk menggesek voucher”, katanya sembari memperdengarkan tawa.

“Hanya itu?”

“Tidak juga. Kau bisa juga menggunakannya untuk mengerok punggung, jika sedang terserang masuk angin”, ledek Beddu ke sahabatnya.

“Mungkin terdengar sangat receh, sama kedudukan yang disematkan kepadanya. Tapi fungsi-fungsi seremeh itulah yang kadang membuatnya dicari. Dan pastinya bukan hanya itu saja, masih banyak fungsi lainnya. Jika saja kita tahu bagaimana menempatkan dan memperlakukan ia sesuai porsinya sappo,” kembali Beddu mencoba menerangkan.

“Betul juga,” Baso mengamini penjelasan sahabatnya.

Beddu masih meneruskan, “sama seperti dengan kita sappo, yang katanya manusia. Jika sekiranya kita diperhadapkan pada sesuatu yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan dengan kapasitas kita. Tentu kita akan kehilangan nilai di mata yang lain. Pastinya tuduhan tak berguna pun akan menghampiri telinga kita. Parahnya, jika sampai status sampah masyarakat juga dihadiahkan untuk kita. Yang mana keberadaannya dianggap sebatas turut menyumbang kotoran saja. Maka bijaknya, jika segalanya diatur peletakannya sesuai porsi masing-masing. Sebab, pakaian lusuh dan usang pun akan berguna walau hanya menjelma sebagai kain pel saja, seperti yang sebelumnya saya umpamakan. Memang, terkesan rendah. Namun, orang kerap lupa bahwa lantai mengkilap oleh karenanya.”

Baso hanya membalasnya dengan anggukan, menunjukkan tanda keseriusan mendengarkan. Karena begitu seriusnya, mereka lupa menyeruput kopi dan menghisap rokok. Beddu kembali menyalakan rokoknya yang semenjak tadi terabaikan. Setelah menikmati beberapa isapan, yang tak jarang ia membentuk lingkaran dengan asapnya, ia pun kembali berceramah dihadapan Baso.

“Jika kau tidak menginginkan nasib yang serupa dengan koin di kantongmu itu sappo, maka lekaslah belajar agar kelak kau jumpai kualitas dirimu semakin terasah. Hingga pada waktunya nanti, kau semakin faham bagaimana cara memperlakukan dan juga menerima perlakuan dari sekitar. Tidak usah ditanya lagi, tentu kau faham mengenai hakikat nilai. Kau pastinya juga tahu kalau itu jauh dari jangkauan manusia seperti kita. Sebab, itu jelas hak paten dari Maha Pemberi Nilai.”

“Bukan di tangan kita tugas menilai ditaruh. Apa yang dialami si koin, hanya karena hari ini orang-orang dengan sukarela menjadi budak hasratnya. Lantas dengan pongah menilai berdasar pada hasratnya. Semoga kita berujung dengan tidak menjadi seperti mereka sappo,” lanjut Beddu.

Tidak berselang lama setelah harapan itu disampaikan oleh Beddu, adzan maghrib pun terdengar dikumandangkan dari corong mesjid Babanna Soroga, mesjid yang sengaja diberi nama bugis sesuai identitas jama’ahnya. Dengan adzan sebagai penanda, kini telah tiba waktu dimana mereka harus segera menghadap. Baso pamit undur diri, setelah mengucap syukur dan terima kasih kepada sahabatnya atas nasihat dan jamuan sederhananya.

Abdurrahman Wahid Abdullah / Kangur

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama