Setiap saat
kita bersenda gurau tak letih waktu, merencanakan apa apa lalu mendapati tak
sesuai kemauan.
Setiap itu terjadi
kau selalu melamun sedikit tertegun, meratapi hidup yang kita sepakati
terlampau kejam.
Kau yang menangis aku
yang sesenggukan, kau
merangkulku dengan tangan kirimu sedang tanganmu yang satunya \masih sibuk menyeka air mata yang
sedari tadi menerjang pipimu.
BACA SEMANTIK LAINNYA DISINI
Malam lalu
datang kau masih saja berduka, kukatakan, "Nenekmu hanya telah menyelesaikan
perjalanan fananya,
kini ia telah abadi. Kau harus percaya bahwa manusia diciptakan bukan untuk
kebinasaan melainkan untuk keabadian,". Tangismu kian menjadi, merubah malam yang tadinya berhias
gemerlap bintang kini menjadi pekat, hanya burung hantu yang berani menyahut
nyanyian sendumu.
Berbulan-bulan kau meratap, hingga tiba saatnya
ketika kau jenuh berkabung, ada
yang berubah. Kali
ini kau terlihat sedikit berbeda. Rambutmu yang tertiup angin menghembuskan
aroma semerbak,
akhirnya kau pakai sampo. Bukan, bukan itu yang kumaksud berbeda. Kulihat kau
tersenyum pada gelandangan di pojokan pasar malam beberapa waktu lalu kemudian
tanganmu seperti memberikan sesuatu padanya.
INTIP TULISAN LAINNYA DISINI
Kulihat lagi
kau kemarin,
memaki seorang pemuda yang memintai uang anak anak sepulang sekolahnya, kulihat
kau sedikit kasar waktu itu. Aku mengikutimu setelah kejadian tersebut, kau
memang berbeda.
Kini kau menuju
yayasan, kulihat dari kejauhan kau sedang asik bermain gundu dengan anak anak
disana. Lalu hari ini kuperhatikan kau sibuk menanam beberapa pohon
ditanah bekas reklamasi, tak peduli apa resikonya, kelihatannya kau sangat
bahagia.
Kau lalu
datang, kau dekatkan bibirmu ke
telingaku dan berbisik, "kita adalah manifestasi harapan
orang orang terdahulu, kita adalah sebuah jawaban doa mereka. Dahulu, mereka
yang menginginkan kedamaian bagi bangsa ini menitip angan kelangit lalu
turunlah kita dari langit tadi. Kita adalah lanjutan kisah perjuangan moyang.
Tak perlu lagi keluh kesah sebab kita adalah manifestasi juang mereka. Kita tak
pernah sendiri. Kita terlahir untuk melanjutkan apa yang belum pantas berakhir,"
Aku tak sadar
menganga, mencoba memahami mantra apa yang baru saja kau bacakan padaku, aku
merinding. Kepalamu mungkin terbentur sesuatu, atau kau mengoplos air matamu
lalu kau minum sampai mabuk.
Tapi sepertinya kau
memang benar, aku sahabatmu dan aku setuju. Kita mungkin memang terlahir
sebagai jawaban. Dan aku hanya jawaban yang selalu saja bertanya "untuk
apa aku didunia ini ?"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.