Sepi ini beterbangan
dirimu datang memesan kopi
lalu memanggilku mendekat
memilih kursi paling nyaman
untuk membaca mimpi,
sekadar berteman atau menghindari
bujuk pramusaji yang ingin
ditemani ke kondangan
aku mengungkap rasa lega
yang lama diasuh malam
kepada sorot lampu delapan watt
dan dinding mural yang berdiri gagah
mereka telah menerangi warna kulitmu
menangkap wajah berseri
menjadi latar kita bicara
masa sekolah yang habis dipelihara waktu
di antara dua cangkir kopi
dan sesendok tawa melepas bungah
bau hujan masih baru
pengunjung datang dan pergi semisal
janji yang kita rajut juga harap
masih menyala walau pendarnya
malu malu mendiami tubuh
mereka berjalan ke arah bangku kosong
dan meja penuh mangkuk yang lelah
membujuk aku
untuk berani menatap bibirmu
kucing hitam dalam rak buku
meringkuk mengusir dingin
yang dikirim cuaca lewat daun
juga mata manusia
atau ia merasa kenyang
setelah lama mengunyah umpama
mengeong serupa berkata
seluruh keriaan terletak
dalam ingatan
tak sanggup menagih
balasan terlalu banyak
BACA KOLOM PUISI LAINNYA DISINI
seekor nyamuk mengecup pipi
berdengung seolah
mengirim kabar
barangkali Tuhan
memercik kasih
dari gerimis di sepanjang jalan
tiap bahasa hanya berguna
bagi puisi nan kosong
kata kata bukan jembatan
untuk mengantar hubungan
dering panggilan handphone
memecah kesan yang mulai kubangun
dari minggu penuh canggung
berkabar denganmu
pertanda pamit mengunci tawa
lebih keras dari nasihat
ibu di rumah
aku kira rumah hanyalah ruangan
tempat melempar pakaian kotor
menunda haus dan tidur
menabung sesal orang tua
sesekali mengambil sebungkus rokok
belajar menghembus asapnya
membentuk nama nama
minuman kesukaan
tempat berpulang sebenarnya
adalah wangi parfum
milikmu
(Karawang,
1 Mei 2018)
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.