Tepat saat
terdengar azan Isya yang bersahut-sahutan dari arah masjid, saya menyusuri
malam kota Parepare. Gemerlap lampu jalan dan lampu hias turut memberi kesan
tersendiri saat perjalanan yang tak bertuju itu.
Beberapa jam
setelah berjalan-jalan tak bertuju malam itu, entah kenapa kuda besi yang
kutunggangi melipir ke pinggiran jalan tepatnya di samping Lapangan A. Makkasau
atau yang kini menjadi alun-alun kota yang dahulunya menjadi pusat kesibukan
malam para waria juga menjadi tempat beradu nafsu baginya atau menjadi tempat
(bagi mahasiswa kere) beradu harga untuk kenikmatan sesaat itu.
Sebenarnya
aku salah satu mahasiswa kere itu (dahulu), setelah kurang lebih 3 tahun
mengais ilmu di tanah Jawa, saya kembali ke Kota Parepare, tempat dimana banyak
kisah yang tersemat cerita kelam malam hari, sebotol bir, serta keriuhan tempat
karaoke yang menjanjikan paha mulus anak-anak SMA.
Parepare
menjadi cerita tersendiri, di sinilah saya melanjutkan pendidikan tepatnya di salah
satu Universitas di kota Parepare yang setelahnya menyeberang ke pulau Jawa
demi melanjutkan S2 karena tuntutan sosial yang mengukur masyarakatnya dari
tingkat pendidikan.
BACA TULISAN LAINNYA DISINI
Sekembalinya
saya ke kota kecil ini, entah mengapa sepiku membawa ke Lapangan A. Makkasau.
Seketika banyak kenangan yang mencoba menerobos batas memori yang tak harusnya
datang lagi. Lapangan yang tampak tak sama saat masih di Parepare, tak menutup
ingatan akan beberapa tahun silam.
Sebelumnya,
waktu itu saya adalah mahasiswa rantau dari daerah pedalaman bagian utara
Sulawesi Selatan, melanjutkan pendidikan di Parepare sebagai anak petani memberi
tantangan tersendiri, laju pergaulan dan kultur kota yang sebelumnya tak pernah
kutemui. Sebagai mahasiswa kere di rantauan, memanage uang kiriman dari
kampung haruslah pandai-pandai, ditambah lagi kiriman yang tidak seberapa itu.
Tuntutan kota memang pelik ternyata, entah apakah karena pergaulan yang tak
sama dengan kawan-kawanku yang lain, yang sama-sama anak miskin, yang sama-sama
di rantauan.
Ada satu
kisah yang begitu sulit terlupa, ditambah karena saat ini saya tengah
berjalan-jalan di atas layu rumput lapangan A. Makkasau, yang mempunyai
keterikatan khusus. Duduklah saya di bawah pohon beringin, pohon yang menyisakan
peluh seorang mahasiswa kere di rantauan, juga menyisakan cerita tentang sebuah
Partai tua yang track recordnya tercatat korupsi dan nepotisme
gila-gilaan, saparatisme birokrasi, pembunuhan demi pembunuhan dan sebagainya.
Seketika
ingatan itu gagal berbisik saat mataku tertuju pada sosok lelaki yang tengah
menggendong anaknya dan dengan riang gembira bercanda dengan isterinya yang
tepat duduk di sebelahnya. Wajahnya mengingatkanku pada pelakon utama dari
cerita masa lalu, cerita yang berlatar belakang lapangan yang tengah kupijak
ini. Setelah kupandangi dengan penasaran dan bertanya-tanya, apakah benar ia
yang pernah ada di masa lalu?. Saya kaget setelah ia juga turut memandangiku
kembali, mungkin ia tak sengaja melihatku, tetapi yang pasti ia mengingatku,
tergambar dari pandangannya yang disertai senyum. Seketika kagetku bercampur
rasa yang tak karuan, salah tingkah dibuatnya. Belum mereda debar jantung yang
tengah deg-degan ini, ia kemudian berjalan ke arahku, setelah menitip anak ke
isterinya yang tadinya duduk di rangkulannya.
Ternyata
benar, dia adalah orang yang pernah begitu dekat denganku. Tak terasa ia telah
berdiri tepat di depanku. “Kamu Andri kan ?” ia menanyaiku dengan memandangi
wajahku. “I..i.. iyaa” jawabku terbata dengan rasa yang tak karuan. “Kamu apa
kabar Dri” ia menanyaiku seolah tersirat pembenaran bahwa dulunya kita pernah
begitu dekat. Entah mengapa tanyanya hanya kujawab dengan senyum. Senyum yang
berlandaskan kegembiraan atau mungkin kerinduan yang menorobos malam.
Ia kemudian
duduk di sebelahku, seketika kami larut dalam obrolan panjang. Namanya Fani,
namanya yang ia gunakan saat kami pertama kali bertemu beberapa tahun silam,
tepatnya di bawah pohon beringin yang kami tempati saat ini. Namun ternyata ia
bukanlah Fani yang kukenal dahulu, sekarang ia adalah Ivan, seorang suami dan
bapak dari seorang putri kecil bernama Fani Febrianti Ivanka.
Ivan adalah
waria yang dahulunya dekat dengan keriuhan malam Lapangan A. Makkasau, satu
dari banyak waria yang mencari jejaka tangguh yang lagi butuh uang untuk
penghidupan atau sekedar sebotol minuman dan sebungkus rokok. Ivan adalah waria
yang punya keterikatan khusus denganku, saat ia masih menjadi seorang waria dan
saya masih menjadi seorang mahasiswa di Kota Parepare. Bagaimana tidak, kami
sempat menjalin hubungan selama (kurang lebih) 2 tahun. Awalnya memang hanya
untuk melepas nafsu dan juga karena ketergantunganku untuk menutupi kebutuhan
ekonomis sebagai mahasiswa kere di rantauan, tetapi lama kelamaan, karena
sering bertemu dan jalan bersama, perasaan itu mulai berubah. Entah mengapa
mulai tumbuh rasa sayang di titik paling suci dalam diriku. Suatu pagi waktu
itu, beberapa tahun silam, saya jatuh cinta.
Ivan bisa
dibilang salah satu waria yang berwajah cantik koleksi Lapangan A. Makkasau dan
aku dibuat luluh olehnya. Tetapi jujur, setelah setahun menjalin hubungan
dengannya, bukan lagi karena semua kebutuhan ekonomiku dipenuhi olehnya bahkan
lebih dari itu orientasi seksualku pun mulai berubah. Rasa sayang pun semakin
dalam kepadanya.
Tetapi saat
ini, ia bukanlah Ivan yang dahulu kucintai. Sekarang Ivan adalah seorang bapak
yang begitu peduli dan perhatian kepada anaknya dan seorang suami yang begitu
sayang pada isterinya. Tapi saya yang masih sama seperti dahulu, perasaan itu
masih ada, bahkan semakin memuncak setelah bertemu lagi dengannya. Saya mencoba
jujur kepadanya bahwasanya saya masih mencintainya walaupun ia tidak lagi
berperawakan seperti halnya Fani atau Ivan yang dahulu.
BACA CERPEN LAINNYA DISINI
Menjalani
hubungan yang tidak biasa, ialah antara saya dan Ivan memang sedikit sulit.
Bahkan untuk menghabiskan waktu bersama di tempat umum pun begitu jarang. Kami
lebih sering menghabiskan waktu dengan mendaki bersama dan disaat-saat
kebersamaan itulah rasa cinta semakin tumbuh.
Setelah
setahun berhubungan dengan Ivan, pertanyaan demi pertanyaan mulai menghujam
kepalaku. Entah apakah wajar mencintai Ivan?. Entah apakah paradigma umum
masyarakat akan menerima kenyataan tentang seorang pria yang menyukai sesamanya
pria? dan kemana hubungan ini akan berlabuh?. Tetapi yang pasti kami larut dalam
hubungan yang begitu intim.
Hingga
akhirnya semua berubah setelah saya harus hijrah ke tanah Jawa, demi
melanjutkan pendidikan. Dua bulan menjalani hubungan jarak jauh, kami masih
mencoba menjaga keintiman dan terus menopang setia walaupun lewat jejaring telepon
dan sosial media. Hingga akhirnya Ivan susah dihubungi. Kami pun kehilangan
kontak, hingga akhirnya kami dipertemukan kembali di Lapangan A. Makkasau malam
itu.
Apapun yang
menjadi pilihan Ivan, saya sebagai orang yang sampai hari ini mencintainya akan
tetap mendukung dan memberi support dan yang pasti pula saya akan tetap
menjaga perasaan ini, sampai tiba masa semuanya akan hilang atau justru semakin
memuncak.
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.