Serial Baso & Beddu : Mandi Lahir Batin


Disela kesibukan para pengunjung yang tak terlepas dari beragam alasan mereka hadir menyeruput kopi di kedai Pak Ali, tampak di pojok depan, Baso yang sedang asyik menembang lagu walau dengan suara sumbang. Dibalut genjrengan gitar yang enggan menyatu dengan suaranya.  Ia tidak khawatir apalagi sampai terusik akan penilaian kerdil orang-orang atas suaranya. Menurutnya, yang ia lakukan tak lebih dari sekedar keinginan menghibur. Walau para pendengar di kedai itu lebih menginginkan ia agar duduk manis dan diam saja. Tentu penyebabnya ada pada suaranya. Suara yang hanya dianggap menyumbang polusi di telinga mereka. Baso pastinya sadar akan hal ini. Sebab, ia juga tahu jika dengan bunyi knalpot pun suaranya kalah telak.

Sementara Baso berjuang menyudahi lagunya yang tak kunjung usai, dari kejauhan muncul Beddu dengan rupa yang segar. Maksud kedatangannya, selain menuntaskan rindu dengan sahabatnya, tentu tak lain dari sekedar keinginan mencicipi kopi khas buah tangan lelaki yang kini beruban itu.

“Wah, gagah sore ini kau sappo”, sapa Baso. “Hendak bertamu ke mana hingga harus berpenampilan sesegar itu?” tanyanya kembali.

“Tidak sedang ingin kemana-mana, hanya membiasakan diri untuk tampil gagah saja di setiap kesempatan”, terang Beddu kepada sahabatnya sambil meletakkan kursi dan duduk di sampingnya.

“Saya kira ada tujuan lain, karena tidak biasanya kau muncul dengan wajah yang sedap dipandang mata”, kata Baso sambil menebar senyum dari bibir tebalnya yang sama sekali tidak ada manis-manisnya seperti kata iklan air mineral itu.

“Ini sekedar mengamalkan anjuran untuk menjaga kebersihan. Paling tidak saya memulainya dari perkara yang sederhana dulu. Kalau kemarin, dengan penuh tekad saya memegangi prinsip bahwa mandi itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang butuh, kini saya mengerti atas ucapan saya itu. Sejatinya, dari semenjak kita dilahirkan sudah muncul kebutuhan akan mandi, bahkan ketika sepeninggal kita pun nantinya demikian. Olehnya itu, saat ini juga saya memutuskan untuk melakoninya dengan serius”, terang Beddu mengenai alasan mandinya itu.

“Habis dari bertapa dimana lagi?  Jangan-jangan dapat petunjuk berupa wahyu yah, semacam seruan untuk bersegera mandi sebagaimana pedoman yang pernah diterima para Pemberi Kabar yang kita teladani? Bukannya apa-apa, saya heran saja, kok tiba-tiba seseorang yang dahulunya rajin mengoleksi daki sepertimu bisa tiba-tiba doyan mandi.”

 “Saya tidak sejorok dan sekumal dirimu sappo,” tanggap Beddu santai. ”Baru saja saya dapat ilham ketika sedang memandikan piring dan gelas kotor di rumah.”

“Apa kata piring?”

“Jelas bukan piringnya yang bicara dongo, tapi keberadaan piring itu yang menyampaikan pesan tersirat sehingga saya mengerti bahwa diri kita ini tidak jauh berbeda oleh mereka. Mereka adalah wadah yang kapan saja mendapati dirinya kotor, sama dengan tubuh kita ini, yang tak pernah luput dari daki dan aroma tak sedap di hidung.”

“Hanya karena kemalasan, kita rajin berdalih bahwa ketidakmandian itu adalah bentuk kepeduliaan terhadap lingkungan karena merasa berjasa telah melakukan penghematan air. Padahal, kita tahu kalau itu tidak lebih dari sekedar alibi dan bualan semata”, jelas Beddu dengan semangat yang berkobar seolah sedang berjuang.

”Tenang sappo, saya tetap mandi walau seringkali hanya menunaikan yang dianggap wajib saja alias kucek mata”. Kemudian Baso melanjutkan dengan memberi usul, “Pesan kopi dulu biar tidak tegang”.

Beddu kemudian menuju Pak Ali, dengan maksud memesan kopi sesuai arahan sang sahabat. Lalu kembali ke posisi semula. Dan tidak berselang lama, pesanannya telah tiba di atas meja dan siap untuk dinikmati.

“Lincah juga Om”,sahut Baso.

“Harus itu. Melayani kan harus semaksimal mungkin. Selain menu, kualitas pelayanan juga adalah investasi. Catat itu baik-baik nak,” jelas Pak Ali kepada bocah-bocah itu, lalu beranjak kembali ke balik dapur dengan menenteng nampan di tangannya.

Baso kemudian bersuara, mencoba mengalihkan perhatian Beddu yang sempat tercuri  oleh kehadiran Pak Ali tadi, “kalau boleh, bersedekahlah kepada kami yang fakir ini, mohon pasangan si kopi turut diadakan”, katanya memelas dengan senyum yang mungkin pas bila disebut pahit.

Beddu pun merogoh tas kecil yang ia kalungkan di badannya, lalu menyodorkan beberapa batang ke atas meja. Rokok yang sempat ia beli di warung Bu Ija kala melintas. Bu Ija, pemilik warung kecil di samping pos ronda  kompleknya itu adalah seorang janda beranak satu. Ia tengah berjuang menghidupi keluarganya seorang diri semenjak sang suami tersayang lebih dulu memurnakan tugasnya dan berpulang kepangkuan Sang Maha Kasih.

Kita tinggal dulu soal Bu Ija dan kembali ke persoalan semula. Tanpa canggung, Baso mengambil sebatang lalu mulai menyulut ujungnya dengan korek yang selalu bertengger di kantongnya kemanapun ia pergi. Memang baso sengaja selalu menentengnya agar ia tampak masih punya modal di hadapan oraang-orang yang dimintainya bersedekah rokok. Setelah menikmati, kembali ia berujar, “ Sudah ada kopi, begitu juga dengan rokok. Kini forum sudah kondusif dan diskusi santai kita, bisa dilanjutkan kembali”.

Beddu hanya mengumpatnya,”dasar bibir asbak.

Baso hanya tertawa mendengarnya. Dan karena itu juga, Beddu menyusul tertawa. Begitulah mereka bersahabat. Bagi mereka, kata cemohan serupa itu adalah sapaan keakraban. Tapi, ini bagi yang dekat dengannya. Tentu Baso akan menanggapi dengan respon yang berbeda jika sekiranya umpatan itu dilayangkan oleh orang asing kepada mereka.

 “Sepenting apakah mandi itu di matamu sappo? “tiba-tiba Baso menyerang tanya hingga menghentikan tawa Beddu.

“Tentu menempati porsi yang tidak kalah urgen dengan kebutuhan  manusia lainnya, tetapi maksudnya tidak untuk dilihat pada persoalan kebersihan fisik saja”,terangnya.

“Jika kaitannya bukan dengan fisik, lalu bagaimana cara memandikannya?


BACA SERIAL BASO & BEDDU LAINNYA DISINI


“Maksud saya begini, mandi itu bukan saja pristiwa membasuhkan air pada tubuh dengan niat melenyapkan kotoran yang melekat. Tetapi juga bisa diterjemahkan ke rana yang tidak tampak oleh mata lahiriyah. Jadi, mandi itu mengajarkan kita bahwa ada keharusan bagi setiap insan untuk membasuh dan membersihkan dirinya dari kotoran metafisik yang juga turut diproduksi setiap harinya. Jadi, ada mandi yang lahir dan ada juga mandi yang batin.”

“Seperti apa itu Bed?”

“Yah, seperti dosa yang  terus terukir oleh setiap perlakuan kita. Baik kepada makhluk lain atau sesama manusia. Sebab kita ini tempatnya lupa dan khilaf. Jika diri ini dibiarkan kotor. Maka, yang lahir adalah prilaku yang kotor pula. Bukakankah kau mengerti jika tubuh yang melewatkan hari tanpa terbasuh oleh air akan menimbulkan daki  tebal dan bau tak sedap. Hal itu tidak jauh beda jika kau tak segera membasuh jiwamu.

“Saya kira kau terlalu jauh mengambil perbandingan.”

 “Tidak juga. Sebab, oleh karena ketidakmandianmu itu akan meresahkan orang lain, baik mandi lahir ataupun batin,” tepis Beddu.

“Bagaimana bisa? Saya yang tidak mandi, lalu kenapa mereka yang gerah”, Baso mencoba membantah.

“Mandi atau tidak, buahnya adalah sedekah kita ke orang lain. Namun, jika kau mandi, tentu akan menjadi sedekah yang baik. Sebab, kehadiranmu tidak disertai dengan pemandangan dan aroma yang mengusik indera mereka. Dan jika tidak, sudah tidak menjadi soal lagi, jika kau akan menuai perlakuan sebaliknya. Nah, itu baru persoalan fisik. Akan lebih parah lagi jika jiwa juga tidak ikutan terbasuh. Maka, tak akan ada lagi keseganan pada diri mengusik keamanan dan kenyamanan makhluk lainnya”.

“Oh, begitu yah”, ucap Baso sambil mengangguk-anggukkan kepala seolah betul-betul faham.

“Ini hanya saran, dari pada difikir saja, mending dilakoni sebab tidak ada susahnya juga.”


“Bukannya saya malas mandi, hanya saja saya orangnya terbiasa dimanja. Mungkin bawaan dari kecil. Jangankan untuk mandi, bahkan untuk buang air kecilpun, saya butuh dipegangkan”, katanya disertai tawa membahana, yang membuat pekak di telinga para pengunjung.


“Mukamu,” balas Beddu.

 Kemudian ia melemparkan puntung rokoknya ke arah Baso, lalu pamit meninggalkan sahabatnya itu, yang masih saja setia tertawa dengan nada fals. Namun, sebelum melangkah keluar dari kedai, tak lupa ia melambaikan tangan seraya memberi kode ke Pak Ali kalau jatah kopinya hari ini dimasukkan ke dalam catatan. Memang keduanya kerap menikmati kopi orang tua itu hanya dengan modal mencatat. Dan kini catatan utang mereka berbaris rapi. hanya  menyisakan beberapa lembar ruang kosong lagi di buku kusam itu. Oleh dengan alasan itu pula, Pak Ali senantiasa menjemput kedatangan mereka dengan senyum yang kecut. Senyum, karena merekalah pelanggan setianya. Dan kecutnya, oleh karena bayaran yang ia peroleh masih saja dengan catatan sampe hari ini, yang tak seorang mampu menebak kapan akan terlunasi, bahkan oleh mereka berdua.

Abdurrhman Wahid Abdullah / Kangur (Kontributor Serial Baso & Beddu)

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama