Si Sekrup dan Sepenggal Cerita Buruh Upahan



Pernah suatu waktu saya membuka obrolan dengan seorang kawan buruh yang hari-harinya berpeluh dengan dunia kerja, yang dianggapnya bikin sesak karena saking beratnya dengan upah dan kondisi kerja seada-adanya. Disaat sampai pada dialog tentang dunia kerja, ia menggerutu, “gua kerja melulu, sejahtera kaga, yang ada malah nambah kering sama gondok aja, (sambil tertawa geram)gua kerja apa dikerjaiin?”

Karena malas menjawab pertanyaannya secara gamblang dan terang-terangan, tak lain, saya malah balik bertanya, “apakah cuma dengan bekerja aja kita bener-bener jadi manusia, lebih-lebih manusia yang sejahtera dan bahagia? Toh para Kerbau pun kerja, itu binatang kerja, ngelola daun-daunan jadi tai, kawin, jadi bersusu yang bisa diperah, beranak-pinak, terus digorok pelan-pelan.”

Tanpa butuh waktu lama, Si Sekrup(nama kawanku itu) menyahuti, “Nah iya, kita ga beda jauh kaya itu binatang Kerbau kali ya…”

Saya tak lantas mengiyakannya, tetapi menimpalinya lagi dengan pertanyaan, “Coba perhatiin barang-barang di sekitar lu Krup, mulai dari yang kecil-kecilan kaya rokok sampe teknologi-teknologi canggih sekarang ini, siapa yang ngebikin itu barang-barang? Itu barang-barang yang ada di gubuk-gubuk sampe gedong-gedong megah, karena hasil jerih payah siapa barang-barang itu bisa kecipta?”

Si Sekrup (yang bekerja di sebuah perusahaan produksi makanan) itu terdiam sesaat, tapi dari kerutan dahinya dan matanya yang tampak penuh renungan tergambar bahwa sesungguhnya ia ingin menjawab : ya kaum buruh kaya gua inilah yang kerja berbuah jadi itu barang-barang

Setelah selesai memperhatikan matanya yang terarah pada motor kreditannya yang nunggak selama 2 bulan belum lunas dan pada anaknya yang belum terpenuhi biaya sekolahnya. Setelahnya, saya teruskan pertanyaan-pertanyaan itu, “Mau ga mau kita mesti bilang itu barang-barang hasil dari keringat kaum pekerja keras (buruh dan tani jelata) kita kan? Terus kenapa kita yang udah kerja begitu keras, tapi ngapa kehidupannya…? Cuma jejal-jejalan di kontrakan kumuh, jaga kesehatan paling banter pake koyo sama kerokan, anak-anak pendidikannya terbengkalai kalo ga dikurang-kurangin jatah kita makan, rekreasi mentoknya paling sering mabok, nonton sinetron, seks atau ga judi, ngapa bisa hidup sebegini hina dan malah makin hari makin blangsak aja, sedangkan kurang apa kita kerja kasarnya sampe tulang rontok?”

Dengan raut muka yang masih termenung, sesekali ia menjawab singkat dan amat bernilai, “iya juga sih”

BACA SEMANTIK LAINNYA DISINI

Dengan harapan agar ia bisa secara aktif menyadari posisi dirinya dan pertalian dengan dunianya melalui gambaran dalam benaknya sendiri, dan lebih jauh dapat berpengaruh dalam hal kepraktisan, saya sambung lagi pertanyaan-pertanyaan itu, “Tapi kenapa, sedangkan segilintir orang yang duduk necis di belakang meja, yang disebut-sebut sebagai "kaum majikan" itu, yang kerjanya cuma oncang-oncang kaki sama nunjuk-nunjuk doang, ngapa bisa kehidupannya malah makin bergelimangan harta?”

“Iya juga sih bro,” ujarnya, “Ga masuk akal juga sih kalo begitu, harusnya kita (kaum pekerja keras) yang pantes nikmatin itu semua, ga usah bergelimangan, cukup sandang, pangan, rumah layak, cukup sejahtera sama bahagia bareng-bareng lah pokoknya.”

Setelah dalam banyak kesempatan kami berbicara satu sama lain tentang kejahatan dunia kerja, sempat, pada waktu tertentu saya beberapa kali menyaksikan suatu kejadian yang begitu janggal dan mencolok dari kawan tersebut. Kali ini Si Sekrup bermain licik terhadap teman sekerjanya yang kebetulan dia baru beberapa hari lalu masuk kerja di perusahaan produksi makanan itu, dengan maksud agar Si Sekrup bisa menikmati hari raya Lebaran dengan penuh waktu, maka ia menumbalkan teman sekerja barunya itu tanpa menanyakan kesanggupannya. Lain kali, ketika istirahat, karena saking terkuras dan lelahnya sehabis bekerja, Si Sekrup menyuruh teman sekerja barunya itu untuk membelikannya rokok dan kopi, dan berlagak layaknya seperti "kaum majikan"

Dari yang terakhir itu, saya sempat berpikir, apakah ini yang dimaksud oleh Paulo Freire sebagai “dualitas kaum tertindas, yaitu sikap mendua yang tumbuh di dalam diri mereka, dibentuk dan hidup dalam situasi penindasan dan kekejaman eksploitasi yang nyata. Mereka adalah dirinya sendiri sekaligus para penindasnya, yang alam pikirannya telah mereka internalisasi. Pertentangan itu terletak dalam memilih antara menjadi diri sendiri (yang berlawan) secara utuh atau menjadi diri yang terbelah (dalam kerterasingan dan perbudakan)… Dalam keterasingan mereka, kaum tertindas akan berusaha sekuat tenaga agar dapat menyerupai, meniru, dan mengikuti si penindas”, yang dengan ini mereka berkhayal seolah-olah “menjadi sejajar dengan manusia "unggul" dari kaum atas.”

Hal sama tapi tak serupa ditemukan tidak hanya di antara kaum buruh yang belum terorganisir, tapi tak sedikit pula di dalam organisasi-organisasi kaum tertindas (baik yang dikuasai elit birokrat serikat maupun yang mengaku kiri progresif-revolusioner) itu sendiri, mulai dari penerapan hubungan paternalis antara "pemimpin" dengan massa anggota atau lebih parah lagi ialah penerapan hubungan penunggang dengan kuda tunggangannya, manipulasi pengetahuan oleh "pimpinan" serikat, intelektualisme elitis "pimpinan" organisasi tanpa mengedepankan dialog bersama guna memajukan massa tertindas, pandangan seksisme, rasisme, dlsb. Sungguh menjadi dilema menyedihkan yang terjadi di tengah-tengah massa tertindas, dan menjadi salah-satu hal yang patut diperhatikan.

Menanggapi Si Sekrup yang berlagak ala "kaum majikan", awalnya saya mencaci-maki diri sendiri, “budak modern ga tau diri!”, dan terakhir dengan sabar bercampur kedongkolan saya melontarkan pertanyaan padanya, “Apakah dengan kita berlagak jadi penindas kecil akan seketika ngilangin penindasan yang jelas-jelas gede terhadap kita? Atau sebaliknya malah ngebuat bahagia kaum penindas karna udah ngewarisin dan ngelanggengin kultur brengsek mereka? Apakah ketika kita bertingkah layaknya "kaum majikan" itu bakal ngubah kenyataan hinanya diri kita sebagai budak modern? Atau sebaliknya ngebantu mereka memecah-belah barisan dan malah makin ngukuhin taring kaum penindas?”

GodamSamsara (Pengangguran Kampus)

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama