Saat
ini, kita sedang dikejutkan dengan kehadiran virus jenis baru yang bermula di
kota Wuhan, China. Virus yang menjadikan paru-paru sebagai sasaran utamanya
tersebut diberi nama Covid-19 (Corona Virus
Disease 2019) atau biasa disebut virus Corona. Pada saat virus ini mulai
merebak di Indonesia, pemerintah mengeluarkan kebijakan agar masyarakat lebih
banyak menghabiskan aktivitas di dalam rumah. Karena jumlah positif Covid-19
yang semakin merebak, kebijakan lebih masif pun dicanangkan yaitu dengan
menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Beskala Besar) di beberapa wilayah Indonesia
terutama pulau Jawa.
Setelah
beberapa bulan mengistirahatkan segala aktivitas yang ada di masyarakat, akhirnya
pemerintah menerapkan sebuah kebijakan tatanan baru yang diberi nama New Normal atau normal baru. Bahkan,
tidak hanya di Indonesia saja yang menerapkan hal serupa, namun juga beberapa
negara lainnya. Dosen Politik Universitas Gajah Mada
Sigit Pamungkas menerangkan, Normal Baru adalah suatu cara hidup baru atau cara
baru dalam menjalankan aktivitas hidup ditengah pandemi Covid-19 yang belum selesai.
Mekanismenya pun dilakukan sesuai protokol kesehatan yang digaungkan oleh World Health Organization (WHO) demi
meminimalisir dampak negatif yang terjadi. Bukan tanpa alasan pemerintah
mengeluarkan kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan karena Covid-19 telah
merubah berbagai struktur kehidupan ke tingkat regresi yang rendah. Oleh sebab
itu, diperlukan pemulihan kondisi negara terutama pada sektor ekonomi.
Seberapa
efektifkah kebijakan New Normal ini?
Lantas, Bagaimana menerapkannya di tengah masyarakat yang hidup di daerah yang
tinggi fertilitasnya (angka kelahiran) sehingga sulit menghindari keramaian
ketika beraktivitas? Lalu mengapa jumlah Covid-19 terus melonjak pra kebijakan New Normal padahal gerakan atau anjuran
hidup sehat selama pandemi telah digaungkan?
Apa kebijakan New Normal tidak
terlalu beresiko mengingat pra dan pasca kebijakan ini sama-sama mengajarkan
protokol kesehatan kepada masyarakat?. Tentu saja, masyarakat sendiri menjadi
penentu keberhasilan kebijakan ini karena manusia adalah faktor utama penyebab
penularan Covid-19. Pra New Normal mengalami kuantitas angka
positif yang banyak karena banyak masyarakat yang tidak sepenuhnya menerapkan
pola hidup sehat yang dianjurkan selama pandemi. Selain itu, masih saja ada
orang yang merasa biasa saja di tengah wabah karena wilayahnya masih berada di
zona hijau.
Terdapat
pro dan kontra atas kebijakan New Normal ini.
Pendapat yang menyetujui kebijakan ini beralasan bahwa hal ini merupakan solusi
untuk memperbaiki berbagai sistem yang mengalami destruktif akibat terhambatnya
berbagai sektor . Seperti yang kita ketahui banyak sektor yang mengandalkan
jasa untuk melakukan distribusi barang ataupun menjalankan roda aktivitas
sehari-hari. Seandainya ada banyak ‘robot’ yang dapat menggantikan posisi
manusia, tentu saja berbagai sektor akan terbantu dan tidak mengalami
kendala. Manusia hanya duduk diam dan
mengontrol para robot dari rumah tanpa takut tertular virus Corona karena tidak
melakukan interaksi dengan orang lain. Tentu saja, hal yang seperti itu tidak
bisa dilakukan untuk saat ini, apalagi kita hidup di negara yang masih sedikit
pengembangan robotisasinya. Selain itu, tak ada robot yang mampu menandingi
kecerdasan manusia yang memiliki berjuta sel otak.
Pengamat
dan masyarakat yang memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan kebijakan New Normal beralasan bahwa walaupun
telah mengikuti protokol kesehatan, namun ditakutkan akan menambah jumlah
penularan virus di masyarakat. Hal ini memunculkan rasa khawatir masyarakat
akan terjadinya gelombang wabah kedua yang lebih besar. Masyarakat awam pun
berpendapat ‘kebijakan PSBB disertai protokol kesehatan pun tak dapat mengurangi
jumlah orang yang terinfeksi, apalagi dengan aktivitas New Normal’. Pendapat ini
tak sepenuhnya benar karena kebijakan New
Normal bukan berarti pelanggaran terhadap PSBB. Bahkan presiden Ir. Joko
Widodo tak pernah mengungkapkan untuk melonggarkan PSBB. Dalam artian, PSBB
tetap berlaku dengan tetap melaksanan aktivitas normal tanpa meninggalkan himbauan
menjauhi kerumunan dan tetap menjaga jarak. Dalam hal ini, aktivitas
sehari-hari dapat dilakukan namun dengan pengawasan yang lebih ketat dengan
memperhatikan protokol kesehatan.
Dilansir dari News.detik.com, Achmad Yurianto
selaku Juru bicara pemerintah terkait penanganan Covid-19 mengatakan "New normal itu kan sebenarnya sudah kita
ajarkan sejak pertama kali COVID masuk di Indonesia. New normal itu adalah
hidup dengan mengedepankan Pola Hidup Bersih Sehat, PHBS." Nah, pernyataan
tersebut juga menjadi dalih bagi penolak kebijakan New Normal karena sejak awal sudah menerapkan pola hidup bersih dan
sehat dengan aktivitas di rumah yang lebih dominan, tapi tidak bisa
mendegradasi jumlah positif Covid-19. Jika New
Normal diterapkan, maka menjadi pemicu lahirnya jumlah positif yang semakin
bertambah. Hal ini didukung karena masih banyak masyarakat yang hidup dalam kemiskinan
sehingga tidak memperhatikan sanitasi terhadap dirinya maupun untuk lingkungan
sekitar.
Mereka
juga berkaca dengan pandemi mematikan yang terjadi di masa lalu tepatnya pada
tahun 1918. Kala itu, flu Spanyol menyeruak dan muncul dalam tiga gelombang.
Namun, kejadian terparah terjadi pada masa gelombang kedua dimana masyarakat
yang mulai jenuh dengan karantina dan jarak sosial akhirnya diperbolehkan
keluar rumah lagi. Tak lama setelah itu, serangan flu tersebut membabi buta dan menyebabkan puluhan juta
nyawa melayang.
Orang-orang
yang menyandingkan flu Spanyol dengan Covid-19 era new normal mengalami
ketakutan akan terjadi peristiwa yang sama dengan gelombang kedua wabah 1918.
Agaknya hal ini sedikit berlebihan karena peristiwa gelombang kedua flu Spanyol
terjadi karena mereka mengabaikan anjuran kesehatan dan kebijakan pemerintah
suatu wilayah yang tidak menggubris keramaian yang ada di masyarakat. Selain itu, kemunculan wabah flu Spanyol yang
berbarengan dengan PD I (Perang Dunia I) menyebabkan negara-negara yang
terlibat dalam perang tidak siap dengan wabah sehingga mereka melanjutkan
perang daripada harus ‘mencari aman’ guna menghindari flu tersebut. Perang
inilah yang menjadi salah satu faktor terbesar penyebab kematian orang-orang
pada saat itu.
Berbeda dengan saat ini dengan kebijakan ‘new
normal’ yang menghimbau melakukan berbagai aktivitas namun tetap menerapkan
protokol kesehatan. Dengan melakukan berbagai cara untuk menghindari Covid-19,
Virus pandemi tersebut’ tak akan berani’ menyerang tubuh seseorang. Walaupun
Covid-19 masih menginfeksi, tapi tidak akan separah gelombang kedua flu Spanyol. Tampaknya, orang
yang menyamakan antara New Normal dengan
kejadian gelombang kedua Spanyol terlalu menghiperbolakan perspektifnya.
New Normal
perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi terutama yang berskala makro.
Jika aktivitas ekonomi tidak ditangani, maka yang akan terjadi adalah defisit
negara dan justru negara tidak akan mampu lagi menangani Covid-19 jika tidak
ada anggaran yang dikucurkan dalam menangani masalah pandemi tersebut. Namun,
bagaimana dengan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa “Mengapa pemerintah
lebih mengedepankan ekonomi daripada harus menangani Covid-19 terlebih dahulu?”
Pemerintah tidak bermaksud mengabaikan penanganan Covid-19, justru keduanya harus berjalan beriringan
agar suasana menjadi kondusif. Oleh sebab itu, dibutuhkan protokol kesehatan dan
digitalisasi harus tetap dijalankan serta beberapa aktivitas yang beresiko
harus diawasi secara ketat.
Karena
pembuat kebijakan New Normal adalah
pemerintah, maka pemerintah itu sendiri harus menjadi penanggung jawab atas output yang akan terjadi kemudian hari.
Pemerintah juga harus berkaca dengan negara lain misalnya Korea Selatan yang
telah menerapkan New Normal namun
persebaran Covid-19 masih terus meningkat. Pemerintah harus menemukan cara yang
lebih efektif agar kebijakan New Normal
tidak menjadi persoalan baru. Dalam mempersiapkan New Normal, pemerintah harus sudah memikirkan matang-matang
mengenai persiapan, misalnya menambah infrastruktur kesehatan serta memberikan
sosialisasi protokol kesehatan secara masif kepada masyarakat dan membatasi
ruang gerak masyarakat dalam bidang tertentu. Selain itu, TNI dan polisi yang
dikerahkan pemerintah guna menertibkan masyarakat harus terus dilakukan secara
berkelanjutan hingga angka penularan mengalami penurunan.
Tidak semua masyarakat harus melakukan
aktivitas rutin seperti biasa. Terkhusus untuk institusi pelayanan publik
misalnya, sebagian dari pegawainya harus melakukan aktivitas dengan cara WFH (Work From Home) dan sebagian lagi
bekerja di kantor. Sistem bergantian (shift)
setiap harinya pun perlu dilakukan untuk mengurangi banyak keramaian dan
menghindari kemacetan di jalan.
Perihal
petisi yang menolak adanya institusi pendidikan yang melakukan tatap muka, maka
menjadi acuan untuk menunda New Normal
dalam sektor tersebut. IGI (Ikatan Guru Indonesia) juga berpendapat bahwa
kebijakan New Normal dalam institusi
pendidikan lebih baik tidak dilaksanakan dahulu walau dengan protokol kesehatan
yang ketat dan memperpendek durasi belajar secara langsung. Hal ini disebabkan
potensi penularan dari anak sangat besar dan guru yang mayoritas merupakan
honorer tidak akan sanggup mengawasi anak-anak dari masuk pagar sekolah hingga
kembali ke luar pagar (masuk dan pulang sekolah).
Dapat
disimpulkan bahwa New Normal
merupakan tatanan baru yang dikerahkan guna memperbaiki kesinambungan sistem
yang ada pada suatu wilayah/negara yang mengalami degradasi akibat Covid-19.
Jika memang kebijakan ini benar-benar diimplementasikan secara kontinuitas,
maka masyarakat hendaknya mengikuti
protocol kesehatan karena sebenarnya aktivitas apapun tak akan menyebabkan
penularan apabila manusia itu sendiri mengetahui dan menerapkan pola hidup
sehat yang sesuai di tengah pandemi yang melanda.
Lili Sutriani
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.