“Sumber daya di dunia cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak akan cukup memenuhi keserakahan beberapa orang”, Mahatma Gandhi.
Pembangunan yang timpang semakin mengancam kehidupan bumi. Pembangunan hingga saat ini berbasiskan pertumbuhan ekonomi yang diyakini dapat menaikan kesejahteraan. Namun orang lupa bahwa pembangunan yang ditawarkan berasal dari perkembangan industri dan pertumbuhan kapitalisme berawal dari masa kolonialisme. Pembangunan semacam itu tidak memanfaatkan sumber daya alam sebesar-besarnya bagi kebutuhan rakyat serta tidak memelihara sumber alam itu secara berkelanjutan sebagai sumber kehidupan dan pendukung penghidupan manusia.
Pembangunan yang timpang
tersebut menekankan pertumbuhan ekonomi yang memakai ukuran Produk Nasional
Bruto (PNB). PNB adalah alat lain untuk mengukur berbagai jenis biaya dan
memberlakukannya sebagai manfaat (misalnya, pengendalian pencemaran), sedangkan
biaya-biaya lain sama sekali tidak dihitung. Biaya-biaya lain ini disebut biaya
tersembunyi, antara lain beban baru akibat bencana ekologi. Sehingga tidak
mengherankan jika PNB naik, tidak berarti kesejahteraan akan naik.
Bila kegiatan memproduksi
barang sebagai kegiatan pokok ekonomi dianggap sama dengan pembangunan,
kegiatan itu merusak potensi alam menghasilkan penghidupan dan barang jasa
untuk memenuhi kehidupan pokok. Makin banyak barang dan uang tunai, makin
mundur kehidupan dalam alam (karena ekologi makin rusak) dan dalam masyarakat
(karena kebutuhan pokok tidak terpenuhi). Terus meningkatnya pembangunan yang
timpang justru berarti menurunnya kelangsungan hidup dan sistem-sistem penopang
kehidupan. Proses-proses produksi yang banyak menggunakan energi dan sumber
daya, yang lahir dari pertumbuhan ekonomi pasar ini, menuntut pasokan sumber
daya yang kian tinggi dari ekosistem.
Baca Juga : Menutur, Eksis atau Pansos?
Dalam model pertumbuhan
ekonomi yang seperti itu, kerusakan lingkungan hidup menjadi akibatnya. Seorang
jurnalis Bloomberg Market Magazine Amerika Serikat, Ronald Henkoff
(2010) menyatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup kerap menjadi taruhan dari
pesatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Isu lingkungan bukan hanya menjadi
wacana, perbincangan di tempat-tempat diskusi, ataupun kajian-kajian dari para
aktivis lingkungan. Isu Lingkungan saat ini menjadi persoalan yang semakin
meluas baru dikenali dalam wujud polusi, produksi sampah yang semakin tinggi,
limbah-limbah pabrik yang tidak diatur lagi cara dan tempat pembuangannya, dan
pembabatan hutan lindung.
Padahal, bila diusut
semakin ke hulu, terdapat sektor pertambangan yang paling besar menyumbang
kehancuran lingkungan. Bisnis tambang yang merajarela di penjuru sumber tambang
di Indonesia semakin masif setelah diberlakukannya UU Penanaman Modal Asing No
1 Tahun 1967 yang diperbaharui lagi menjadi UU Pertambangan No 11 Tahun 1967
tanpa mengindahkan UU Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan-peraturan tersebut merupakan pintu masuk eksplorasi dan eksploitasi
tambang hingga hari ini, tanpa izin administrasi negara yang ketat.
Bisnis Tambang dan
Pembangunan Infrastruktur
Jaringan Advokasi Tambang
(JATAM) mengemukakan bahwa 70 persen kerusakan hutan terjadi akibat eksplorasi
tambang. Sekitar 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam aktivitas bisnis
pertambangan, termasuk keragaman hayati di sana. Tak hanya itu, daerah aliran
sungai (DAS) yang rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Dari sekitar
4.000 DAS di Indonesia, 108 di antaranya rusak parah. Hampir 34 persen daratan
Indonesia telah diserahkan kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan
mineral dan batubara (minerba). Itu semua belum termasuk izin perkebunan skala
besar, wilayah kerja migas, panas bumi, dan tambang galian C.
Di Samarinda, Kalimantan
Timur, 71 persen wilayahnya bahkan sudah dijadikan konsensi pertambangan
batubara. Menurut Greenpeace, Indonesia merupakan negara pengekspor
batubara terbesar di dunia, melebihi Australia. Beberapa perusahaan
pertambangan yang melakukan perusakan lingkungan hidup di Indonesia, seperti PT
Freeport di Papua, PT Newmont di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, PT Kaltim Prima
Coal dan Adaro, pertambangan liar di Kalimantan, perusahaan kelapa sawit
seperti Wilmar, Perusahaan kertas April (RAPP).
Di Papua, Freeport sudah
sejak 1967 mengeruk emas dengan menghasilkan keuntungan 70 Trilyun per tahunnya
diatas ribuan orang papua yang mati dibunuh tentara penjaga tambang emas
sepajang tahun 1975-1997. Dan tidak berhenti disitu, eksploitasi tambang di
Degeuwo merusak alam dan merengut banyak nyawa manusia. Sejak wilayah adat
Degeuwo dibuka menjadi pertambangan pada tahun 2001 banyak terjadi masalah,
mulai dari perampasan hak-hak adat rakyat, peredaran minuman keras, hiburan
liar, barter seks dengan emas, pencemaran lingkungan, dan soal sosial lain yang
berakibat ancaman serius atas eksistensi masyarakat sekitar.
Baca Esai Lainnya Di Sini
Belum lagi ketika bisnis
tambang mulai beroperasi, pembangunan infrastukur menjadi syarat utama untuk
menarik pembisnis tambang menanamkan modalnya di Indonesia. Jawabannya
pemerintah adalah MP3EI (Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia),
dengan fokus membenahi infrastruktur dan terus meningkatkan konektivitas antar
teritori, terutama daerah di luar jawa, guna meningkatkan investasi yang
dijadikan lahan akumulasi yang rentan korupsi.
Bisnis Tambang vs
Perlawanan Rakyat Anti Tambang
Berjalannya program MP3EI
berpeluang menghancurkan lingkungan dan konflik agraria. Bahkan sebelumnya,
berbagai perlawanan rakyat baik perjuangan hak atas tanah hingga perjuangan
rakyat atas dampak lingkungan terus meningkat. Perlawanan ini pun tak sedikit
memakan korban dari yang terluka hingga meninggal.
Banyak kasus konflik
agraria terjadi beberapa tahun belakangan ini di beberapa daerah, seperti Ogan
Ilir, Mesuji, Degeuwo-Kabupaten Paniai, Papua, termasuk penolakan masyarakat
adat pada REDD—Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation.
Sepanjang tahun 2012, jumlah kasus yang selesai hanya 1.778 kasus dari total
sengketa agraria yang berjumlah 7.491 kasus. Dari sekian banyak kasus yang
terjadi, belum diimbangi dengan perlawanan masyarakat.
Perlawanan rakyat terhadap
bisnis tambang ini berpotensi menuju perjuangan politik lingkungan secara
keseluruhan termasuk melawan bisnis tambang itu sendiri. Bukan hanya dampak
kerusakan lingkungan telah melukai sendi-sendi kemanusiaan, namun bisnis
tambang merupakan bisnis raksasa yang sedang berlangsung di Indonesia
tanpa ada batasnya mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi namun melanggengkan perusakan
lingkungan itu sendiri. Bisnis tambang semestinya dilawan dengan menyatukan
kekuatan perlawanan rakyat yang terkena dampaknya.
Perlawanan terhadap
korporasi tambang merupakan perjuangan lingkungan melawan kapitalisme yang
terus-terusan mengeksploitasi alam demi keuntungan.***
Christina
Yulita.
(Aktifis Feminis,
Staf Komnas Perempuan)
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.