Ketika kita membahas mengenai tubuh, apakah yang ada dalam pikiran kita di tengah masyarakat patriarkis?, yang terlintas adalah tubuh perempuan. Tubuh perempuan yang mempunyai standar kecantikannya; yang bisa diatur oleh masyakarat atas nama moralitas dan agama bahkan Negara dan memberikan banyak keuntungan bagi industri kecantikan di masa kapitalisme hari ini.
Ya, tubuh perempuan. Sejarah membuktikan
dari sejak beralihnya kepemilikan pengelolaan mata bajak menjadi individu pada
corak masyarakat komunal primitif hingga sekarang bukan perempuan yang memiliki
kuasa, dan semakin dalam penindasannya. Mengapa? Pertama, meningkatnya serangan
konservatisme, perda syariah dan aturan hukum yang mengatur perempuan atas nama
moralitas dan agama, statemen pejabat publik yang melecehkan perempuan.
Terlebih kemenangan UU Pornografi dan Pornoaksi memberikan keleluasaan pada kaum
konservatif untuk semakin merepresi tubuh perempuan. Kebangkitan konservatisme
menjadi suatu hal yang baru, dan ini termanifes melalui produk hukum dan
semakin sering intensitas yang dihasilkan.
Serangan kedua adalah komodifikasi. Belum
banyak aktivis/organisasi perempuan mengubris serangan ini. Seluruh daya
politik feminis Indonesia saat ini berkonsentrasi pada aspek pertama. Yang
pertama memang kasat mata. Komodifikasi adalah segala macam hal yang dibuat
sebagai komoditas. Dalam pengertian marxisme, Kapitalisme adalah produksi
komoditas yang merajalela. Perempuan memiliki penindasan berlapis. Sudah
ditindas, menjadi bertambah arena komodifikasinya di masa kapitalisme. Misalkan
saja dapat kita lihat komodifikasi perempuan dalam aspek ketenagakerjaan, produk
kecantikan, perdagangan seks, dan lain-lain.
Mengapa tubuh perempuan menjadi medan
serangan?
Patriarki meletakkan tubuh perempuan
sebagai objek. Perempuan tidak pernah jadi subjek. Sehingga jelas, tubuh
perempuan selalu disalahkan, diatur sedemikian rupa sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh masyarakat patriarkis kita. Kenapa orang melakukan kekerasan
seksual pada perempuan? Selain karena patriarki, ada pandangan bahwa tubuh
perempuan itu hanya sebatas benda (di masa kapitalisme=barang). Perempuan tidak
diposisikan sebagai manusia yang mempunyai hak yang sama dengan manusia
berjenis kelamin laki-laki.
Ia dijadikan sasaran seksual oleh patriarki
(kontrol laki-laki). Kaitan dengan peningkatan serangan di konteks politik
Indonesia, dalam kekhususan politik saat ini kita sedang berhadapan dengan
kekuatan politik konservatif, termanifestasikan dalam bentuk partai politik,
ormas sipil reaksioner berbasis agama yang menyetujui diberlakukannya
perda-perda diskriminatif. Bentuk represinya adalah berbagai macam paket
undang-undang yang meningkat di era reformasi. Sebanyak 342 perda diskriminatif
atas nama moralitas dan agama membatasi perempuan untuk memajukan kapasitas
mereka. Menjadi perangkat yang lebih hebat lagi menyerang. Mengapa lebih hebat
lagi menyerang? Serangan menara kembar
WTC/11 September, situasi internasional ini memberikan kepercayaan diri kembali
pada gerakan konservatif untuk bangkit. Di Indonesia, reformasi membuka jalan
berbagai gagasan untuk tumbuh kecuali komunisme. Selain gagasan liberal masuk,
gagasan konservatif berkonsolidasi dan
semakin menguat terlebih adanya situasi internasional tersebut. Situasi ini
yang menyebabkan gagasan konservatif semakin berkembang dan mengancam
demokrasi, khusus mengancam kebebasan perempuan untuk berpengetahuan dan
bertindak atas pengetahuannya tersebut.
Sama halnya dengan serangan komodifikasi,
serangan ini semakin terstruktur dalam masa kapitalisme. Sehingga munculnya
perkembangan kapitalisme ini erat kaitannya dengan komoditas dan arena-arena
komodifikasinya. Berbagai lini kehidupan harus dikomodifikasikan untuk
keuntungan modal. Demi profit, perempuan menjadi sasaran kembali dalam
komodifikasi. Serangan tubuh perempuan dalam hal komodifikasi itu bagaimana
tubuhnya yang mau dijadikan arena perdagangan.
Baca Juga : Pembangunan Berbasis Tambang, Untung Bagi Pemodal Rugi Bagi Mayoritas Rakyat dan Alam
Misalnya, saat ini yang
paling dikonsumsi oleh masyarakat kita dan “dinikmati” juga oleh perempuan itu
sendiri adalah industri kecantikan yang membangun standar kecantikan yang
disesuaikan pasar (tubuhnya ditentukan oleh pasar). Industri
ini meliputi tiga aspek, diantaranya adalah ukuran dan bentuk tubu ; fashion;
dan make up. Keuntungannya bukan main hebatnya. Misalkan saja terhadap industri
fashion (pakaian, tas, dan lainnya). Menurut Majalah Forbes, Ortega yang
memiliki Zara lewat perusahaan tekstilnya bernama Inditex, merupakan orang
terkaya nomor tiga di dunia dengan kekayaan US$ 57 miliar atau sekitar Rp 570
triliun, naik 1% dibanding periode yang sama tahun lalu[1]. Ketika krisis,
industri kecantikan inilah yang memliki posisi aman. Semua industri yang bergerak
dalam barang-barang kebutuhan perempuan tidak pernah mengalami kejatuhan,
bahkan berkembang. Komodifikasi lainnya adalah trafficking, baik dalam bentuk
buruh migran yang diprostitusikan (untuk tujuan seksual) dan dalam bentuk
lainnya.
Dalam perjuangan pembebasan perempuan,
tentunya tubuh perempuan harus bebas dari dua serangan tersebut. Sehingga
perjuangan tersebut tidak selesai pada konsep “be your self” (jadilah dirimu
sendiri) karena pilihan “be your self” bukannya pilihan yang tepat ketika budaya
patriarkhi masih mendominasi pikiran bawah sadar masyarakat kita hari ini.
Konsep ini dipakai oleh sistem Kapitalisme untuk masuk ke generasi muda kita
melalui budaya. Bukan menjadi dirimu sendiri jika kamu tidak pakai bedak,
lipstik, eye shadow, baju, tas, dengan merek-merek yang beredar dipasaran. Atau
seperti iklan Dove, iklan ini punya perspektif feminis, ada dorongan untuk
lebih feminis di dalam pasar. Tampil apa adanya hingga usia tua, tapi tetap
tampil apa adanya hingga tua dengan memakai Dove. Tujuannya adalah pasar yang
tetap konsisten memakai Dove hingga tua tanpa produk lainnya. “Be your self”
menjadi ada ketika akses pengetahuan kita dapatkan. Kita sadar terhadap
pilihan. Ketika kita masuk pasar itu kita masuk pilihan. Namun, dalam sistem
kapitalisme yang juga melanggengkan budaya patriarkhi tersebut, kita tidak
diberi pilihan.
Sekali lagi, tujuannya adalah profit.
Sehingga kapitalisme akan berbuat berbagai cara untuk meluaskan pasar, termasuk
dengan memakai jargon-jargon feminisme, mengatasnamakan pembebasan perempuan.
Profit dalam kebijakan neoliberal bergerak lebih menindas lagi. Pada Tahun
70-an ketika mulai kebijakan sistem neoliberalisme[2] lahir bersamaan dengan
feminisme gelombang II, terdapat banyak lompatan tekhnologi baru, yaitu dalam hal
alat kontrasepsi. Dampaknya besar terhadap pilihan perempuan. Oleh neoliberal,
hal ini dianggap pasar. Melalui resep-resep penyesuaian struktural (SAP/
Structural Adjustment Policy) yang disahkan pada Konsesus Washington
menyebabkan ketergantungan negara dunia ketiga terhadap hutang luar negeri dan
persaingan bebas dengan menghapuskan hambatan modal serta barang
sebebas-bebasnya, menjadi tak terhindarkan. Negeri-negeri dunia ketiga dipaksa
bersaing satu dengan lainnya untuk investasi asing dengan menekan tingkat upah
dan standar perlindungan tenaga kerja. Sejak resep SAP[3] diterapkan, sejak
itulah komodifikasi terus bergerak tanpa kontrol. Alhasil, negeri-negeri dunia
ketiga tak lagi mandiri secara ekonomi politik.
Kapitalisme mendapatkan keuntungan besar
dari perempuan. Ujung rambut sampai ujung kuku kaki, semua menambah semakin
pesatnya komodifikasi terlebih dari persaingan bebas ini. Neoliberalisme
membuat industri fashion kecantikan berkembang setiap harinya, membuat
perempuan semakin erat dengan budaya konsumtif yang dampaknya tidak berbatas.
Lihat saja model pakaian, rambut, gaya ala Korea yang kini membanjiri generasi
kaum muda. Dampak langsungnya ke tubuh, perempuan menjadi mendisiplinkan
sendiri tubuhnya, melalui diet berlebih untuk mendapatkan tubuh mungil dan
ramping, pergi ke klinik-klinik kecantikan yang sekarang mulai bertebaran,
operasi wajah dan tubuh. Semuanya didapat tentu dengan harga selangit. Semakin
banyak uang semakin “cantik”. Hal ini juga berdampak pada tubuh laki-laki.
Mereka juga mendisiplinkan tubuhnya, namun lebih sedikit mengalami derajat itu
karena mereka subjek.
Baca Esai Lainnya Di Sini
Industri yang lebih mengerikan lagi adalah
pornografi yang merupakan bentuk penindasan seksual paling besar. Pornografi
sudah ada dari dulu sejak masa perbudakan, namun di masa kapitalisme lah yang
membuatnya menjadi komoditas, melalui kepingan CD, internet, TV kabel, dan
lainnya. Dengan adanya globalisasi,
dampaknya porno dapat dikonsumsi secara bebas termasuk anak-anak dan remaja.
Bahkan, tontonan-tontonan pornografi ini menjadi salah satu alasan banyaknya
anak-anak , remaja hingga dewasa melakukan kekerasan seksual. Namun menuntaskan
masalah pornografi dalam UU Pornografi dan Pornoaksi, justru perempuan yang ada
dalam video tersebut yang dikriminalisasikan atau anak-anak/remaja yang
disalahkan karena menonton tayangan porno tanpa menghancurkan industri
pornografinya. Itu hanya omong kosong.
Sama halnya dengan prostitusi, posisi
perempuan adalah tidak ada pilihan. Tidak ada pilihan ketika dalam budaya
patriarki perempuan disingkirkan dari publik, serangan terhadap hak-hak sosial
semakin meningkat. Sehingga perempuan mau tidak mau masuk dalam arus
perdagangan perempuan untuk tujuan seksual ini. Alasan ekonomi menjadi utama,
dan yang kedua adalah gaya hidup (tingkat gaya hidup yang berlebih), itulah
sebabnya mengapa prostitusi juga menyasar pada perempuan “high class”. Sehingga
perempuan menjadi seorang PS (Pekerja Seks) adalah pilihan tentu tidak bisa
berdiri sendiri atas pilihan tersebut ada faktor ekonomi yang menentukan.
Ya, semakin mengerikan kondisi perempuan
saat ini. Di masa kapitalisme ini, perempuan berada dalam serangan komodifikasi
dan konservatisme yang semakin meningkat terhadap tubuh perempuan. Sehingga
perjuangan pembebasan perempuan adalah mendorong perempuan tampil sebagai
subjek dan melawan pasar (melawan komodifikasi). Bukan membebaskan perempuan
menjadi subjek dan memasukkannya dalam arus pasar. Perjuangan politik atas
tubuh adalah juga berjuang melawan kapitalisme (melawan komodifikasi). Begitu
juga dengan perjuangan identitas yang erat kaitannya dengan standar, di semua
LGBT, itu dipertahankan dan dikomodifikasikan. Hak atas tubuh adalah hak untuk
tidak diperjualbelikan. Dimana ada standar atas tubuh, disitu kita tolak.
Menolak untuk tidak boleh ada campur tangan Negara, standar seksualitas,
menolak ekspolitasi seksualitas untuk kepentingan kapital. Sehingga perjuangan
hak atas tubuh/seksualitas melebihi dari (tidak sekedar) perjuangan identitas,
tetapi perjuangan mencapai preferensi seksual yang memanusiakan.
Perjuangan pembebasan
perempuan ini adalah yang sangat sulit, karena ini mensyaratkan demokrasi yang
mengikutsertakan seluruh kepentingan masyarakat dan partisipasi perempuan
mayoritas pada khususnya, bukan demokrasi liberal yang hanya milik segelintir
elit/perempuan yang duduk di parlemen. Tapi masih ada
peluang, karena pengetahuan terus berkembang dan terbuka untuk kita pelajari
bersama serta solidaritas masyarakat kepada perempuan yang sekarang sedang
meningkat atmofernya. Kaum perempuan jangan lewatkan kesempatan ini, kemarahan
harus menjadi gerakan!
[1] www.detik.com:
http://finance.detik.com/read/2013/09/18/154134/2362363/68/baju-zara-untung-rp-13-t-harta-orang-terkaya-dunia-ini-bertambah
[2] Obat dari krisis kapitalisme; sebuah
sebuah metode ekonomi politik yang merubah dunia menjadi sebuah ‘hiper-market’
tempat para pemilik modal dan perusahaan raksasa internasional dapat dengan
mudah membeli dan menjual berbagai komoditas sebebas-bebasnya dari intervensi
negara. Neoliberalisme juga melucuti tangung jawab sosial negara, dan
menggunakan negara beserta aparat pemerintahannya, hanya sebagai kaki tangan
dan alat pemaksa (represi) nya, yang sama sekali tidak dijalankan di
negeri-negeri perumus neoliberalisme sendiri (pemerintah AS dan Inggris, misalnya,
sangat ketat mengintervensi, dalam bentuk subsidi, pada sektor pertanian, dan
perlindungan bagi perdagangan dalam negerinya, dalam bentuk kuota-kuota ekspor
dari negeri berkembang).
[3] Resep-resep tersebut meliputi:
pencabutan subsidi sosial, liberalisasi perdagangan dan investasi, disiplin
fiscal, reformasi perpajakan, privatisasi, deregulasi (penghapusan tarif dan hambatan
perdagangan), serta perlindungan hak kepemilikan.
Christina Yulita
(Aktifis Feminis / Staf Komnas
Perempuan)
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.