Serial Romansaktivis : Lani, Orator Ulung yang Dikagumi Anwar


Seketika pagi sudah menyapa, riuh renda dapur Pak Imam tetangga sekretariat sedari tadi berusaha membangunkan. Kulit kacang berserakan, gelas bersisa ampas kopi telah kering dan kartu domino belum habis dibereskan menjadi pemandangan pagi di pelataran Sekretariat.


Di lain tempat, Lani kemudian membersihkan wajah, sedikit berolahraga di panas matahari pagi, setelahnya sajian roti dan teh hangat dirasanya cukup untuk mengganjal perut seharian nanti.


Begitu juga Rey, Jane dan George, mereka beberes, bersiap-siap untuk turun ke jalan, menyapa untuk kesekian kalinya gedung yang di isi oleh mereka yang mengatasnamakan wakil dari segala golongan dan elemen.


Lani dan kawanannya lantas bergegas ke titik kumpul, di sana sudah menunggu dengan baris rapih massa aksi lainnya, dari kampus dan organisasi yang lain tentunya. Dari jauh spanduk utama tertulis tegas “reformasi dikorupsi – Cabut UU Ciptakerja” sebagai isu utamanya.


Di lokasi yang sama, Lani bertemu dengan Anwar, mahasiswa Teknik yang rebel itu, ia datang seolah membawa beberapa kompi pasukan tekniknya yang tidak lagi diragukan soal solidaritasnya. Sebagai seorang kawan gerakan, setelah saling menyapa dan menanyakan kabar masing-masing, berlanjut pada obrolan serius soal bagaimana reset aksi di lapangan nantinya jika terjadi hal-hal yang tidak sesuai pembacaan saat rapat teknis lapangan sebelumnya. Tidak hanya Anwar dan Lani, ikut nimbrung pula Anton ketua Front Pembela Mahasiswa, Risna Ketua Himpunan Mahasiswi Kece, dan beberapa elite gerakan lainnya yang turut dalam aksi itu.


Mereka kemudian long march dari kampus UTS sebagai kampus yang menjadi pusat euphoria gerakan menuju titik-titik selanjutnya, kemudian rencananya berakhir di kantor DPRD kota Halabis. Lagu-lagu juang dan perlawanan rakyat mengalun di sepanjang jalan, seolah tak habis suara dan tenaga ratusan massa aksi yang dengan disiplin berjalan dengan satu komando.


Massa aksi yang kebetulan di koordinatori oleh Rey sebagai Koordinator Lapangan (Korlap) tiba di pusat kota Halabis. Tepat di bawah monumen kota, massa aksi berkumpul dan bersorak sorai. Satu persatu perwakilan dari setiap organisasi, kampus dan individu bebas naik menyampaikan orasi politik dan ilmiahnya di atas Mobil Komando (Mokom).


Setelah Anton dari FPM, kini giliran Lani. Megaphone beralih dari tangan Rey ke Lani. Tanpa basa-basi Lani membuka dengan suara lantang yang menggelegar. “Hidup Rakyat !!!”, teriak Lani, kemudian disambut massa aksi dengan gemuruh “hidup !!!!”.  Mahasiswi jurusan pendidikan itu melanjut orasinya dengan semangat menggebu, dengan kaos putih lengan pendek dan manset hitam sebagai dalamannya membuat ia tampak semakin cantik.


Matahari sudah tepat di ubun-ubun, membuat pipi Lani kemerahan dan basah oleh keringat. Mulutnya tanpa terbata meneriakkan tuntutan, semangatnya terus bertumbuh seperti di lain sisi ada hati yang tengah beradu, ialah Anwar dengan senyum tak henti sedari tadi khusyuk memandangi Lani dari bawah.


Ini bukan kali pertama Anwar tak berhenti senyum melihat Lani, di beberapa kesempatan, entah di jalan sebagai demonstran atau saat sedang bersama di ruang-ruang diskusi. Lani selalu menjadi pusat perhatian yang sebenarnya bukan hanya Anwar, melainkan Anton, dan beberapa elit gerakan mahasiswa lainnya. Tak demikian Risna, yang selalu sinis memandangnya.


Tapi perasaan semacam itu selalu membuat Anwar kalah sebelum berjuang, apa yang di alaminya tak sejalan dengan teori yang ia pahami selama ini. Ia selalu gagal dalam hal mendapatkan cintanya, ia bahkan pernah mengatakan, “sepiawai apapun Lenin meyakinkan rakyat sovyet untuk berjuang pada revolusi oktober, tak akan mampu meyakinkanku untuk berjuang lagi pada soal-soal hati”. Pernyataan itu punya landasan historis menurutnya, dan bisa jadi karena hatinya telah direnggut habis-habisan oleh orang yang membuatnya jatuh hati sebelum mengenal Lani. Belum sempat bangkit dari jatuhnya, hatinya sudah terlanjur patah berserakan.


Di tengah demonstran yang mulai acak kadut, Anwar menghela nafas dan sejenak memejamkan matanya. Baginya, Lani bisa jadi hanya sekadar bunga revolusi yang telah layu sebelum disemai.

***


(Bersambung)



A. I. Said

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama