Di pinggir jalan berjejer para pekerja seni,
ada yang memahat kayu menyerupai kepala hewan, pelukis yang redup matanya
tetapi jiwanya berbinar, perempuan paruh baya berusara merdu membuat sendu.
Bukan hanya itu, berbagai jenis jualan juga berjejeran dengan rapi pada sisi jalan
raya. Mereka menawarkan bunga untuk kau berikan kepada kesayanganmu atau
menjadi hiasan meja makan, permen lolipop yang ceria, buku-buku bekas
berkharisma, dan berbagai jajanan makanan ringan yang tidak mengeyangkan. Mereka
memilih pinggir jalan sebagai ruang interaksi sebab di jalanan mereka bebas
berekspresi, menatap apa saja di sekelilingnya seperti langit dan gedung-gedung
tua, bertemu orang-orang baru, berbincang hangat seperti dua orang kawan lama. Mereka
dapat memperlambat laju kendaraan setiap yang lewat, gara-garanya pengemudi
yang selalu menoleh ke arah sisi jalanan karena penasaran dengan karya para
seniman Kota Ini. Keberadaan para seniman dan penjual telah menjadi ciri Kota
Ini, rasanya seperti mengunjungi sebuah pameran karya yang digelar di di sepanjang
jalan, di sepanjang hari. Kemacetan adalah parade yang paling ditunggu oleh
setiap pengemudi, macet berarti mereka dapat lebih lama menikmati seniman yang
unjuk gigi mempertontonkan karya mereka. Begitupun dengan para penjual yang
ikut berjejeran di sepanjang jalan, mereka menyapa pengemudi dengan ramah
sambil menawarkan sesuatu dan berharap akan tertukar dengan uang. Kemacetan
begitu dicintai di Kota Ini.
Ada banyak hal yang membuat Kota Ini benar-benar
berbeda. Di kota-kota lain, menjadi PNS merupakan kebanggan dan segala bentuk
kenyamanan hingga jaminan hidup dapat terpenuhi. Maka dari itu, hampir seluruh
orang memimpikan pekerjaan itu tanpa terkecuali para orangtua yang memimpikan
anaknya. Tetapi di Kota Ini terjadi sebaliknya, menjadi PNS adalah hal yang
paling dihindari oleh sebagian besar orang muda, yang terbilang produkrif di
Kota Ini. Mereka lebih memilih memegang cangkul, mengemudi sampan atau menari
dengan kuas di hadapan kanvas. Seluruh pegawai yang mondar-mandir di kantor
milik pemerintah adalah mereka yang merantau jauh-jauh demi mengabdi kepada
negara, di dadanya ada rindu yang tersekat oleh kebanggan. Sanak keluarga
mereka di kampung halaman akan berbangga hati menceritakan siapa anaknya dan
sebagai apa anaknya di rantau, meskipun dalam benak kedua orangtuanya telah bersemayam
sunyi, yang mulai nampak kusam menunggu kepulangan anak-anaknya. Tiada lain
yang dapat orangtua lakukan selain merapal doa-doa ke angkasa, di hening malam
saat kening menunduk, itulah doa para orangtua yang melesat ke langit tanpa
putus, tiada henti.
Salah seorang penduduk di kota ini pernah
merantau dan bertahun-tahun menjadi pengabdi negara. Sepulang dari rantau, dia
bercerita banyak hal tentang pekerjaannya. Dia menceritakan bahwa menjadi
seorang aparatur negara adalah kesenangan tersendiri, sebuah alat yang sangat
ampuh untuk membeli rasa hormat dari orang-orang. Gaji yang tidak terlalu
tinggi tetapi bisa menjadi jaminan masa depan. Pekerjaannya tidak berat, tidak
harus menggunakan otot cukup menundukkan ego menerima perintah atasan, meski
keinginan memberontak selalu muncul, mereka harus memilih lapang dada sebagai
persembunyian. Berpakaian seragam ditambah dengan lambang dan ornamen yang lebih
berfungsi menegaskan siapa dirinya, setinggi apa pangkat dan jabatannya. Akhirnya
dia pensiun dan masih menerima upah dari negara atas jasa pengabdiannya, kemudian
negara mengembalikannya menjadi bukan siapa-siapa lagi.
Tidak ada restoran atau rumah makan di Kota
Ini, restoran hanya untuk orang-orang yang cinta kemewahan, sedangkan penduduk
kota ini penganut sederhana. Mereka tidak ingin membuang waktu duduk
berlama-lama menunggu pesanan makanan, yang sangat minimalis dan mahal.
Sepertinya restoran sengaja diciptakan untuk mengundang sunyi duduk bersama lalu
menertawainya. Hampir sama dengan kafe-kafe, penduduk di kota ini tidak tahan
duduk berjam-jam hanya untuk membicarakan negara yang terkatung-katung.
Penduduk Kota Ini tidak membutuhkan kafe untuk menghindari sunyi atau duduk
mengenang kekasihnya yang entah sekarang sedang berada di pelukan siapa. Mereka
tidak perlu ke kafe bertemu teman-temannya, lalu tertawa terbahak hingga tanpa
mereka sadari pengunjung yang lain telah tanggal satu persatu, juga minuman di
gelas telah tandas. Cara yang buruk membunuh waktu.
Perekonomian di Kota Ini bergerak mengalir
seperti air, tidak ada yang mendominasi dan makan dari perbuatan mencurangi
orang lain, melalui tawaran produk atau asuransi jiwa. Masyarakat paham betul
dengan apa yang mereka lakukan sehari-hari, mereka mengenal tiap resiko dari
pekerjaannya, mulai dari resiko kerugian hingga resiko kehilangan nyawa. Mereka
menganggap pekerjaannya hanyalah memberi manfaat bagi siapapun yang membutuhkan,
maka kehilangan nyawa karena pekerjaan hanyalah cara Tuhan menggenapkan amalnya
masuk ke surga, tidak ada yang perlu dirisaukan. Tawaran asuransi jiwa hanyalah
seperti menabung untuk sebuah perayaan menunggu kematian, kita menimbun agar
dapat menghibur orang-orang yang akan kita tinggalkan kelak, agar mereka tidak
nelangsa dan segera ikhlas.
Selain aasuransi jiwa, asuransi kesehatan juga
tidak berlaku di Kota Ini. Penduduk tidak perlu merasa terancam oleh berbagai
penyakit yang akan bersarang pada tubuh mereka. Angka kematian dengan alasan
sakit jumlahnya hampir tidak ada, kecuali penduduk yang sudah tua dan memiliki
usia menghampiri satu abad, mereka akan lumpuh dan menuggu hari untuk
ditangisi. Betapa bahagianya setiap keluarga yang tak pernah menyaksikan
penderitaan orang terkasih yang menanggung rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Seorang istri tak perlu mendekap di rumah sakit menunggui suaminya sembuh,
orang-orang kurang mampu yang pesakitan,tak usah dimasukkan ke bangsal dan
membuat keluarganya terlelap di lantai dingin rumah sakit bermalam-malam.
Jaminan kesehatan penduduk Kota Ini terletak
pada petani. Para petani adalah kaum perempuan, sejak awal mereka yang
meciptakan budaya bertani untuk mengisi waktu luang, saat suaminya pergi melaut atau berburu ke
hutan. Halaman depan rumah adalah lahan yang dipergunakan untuk memulai
kegiatan bercocok tanam. Mulanya mereka hanya menanam untuk memenuhi kebutuhan
menjaga kepulan asap di dapur. Seiring berjalannya waktu, akhirnya mereka memproduksi
untuk memenuhi kebuthan orang lain. Tanaman berupa sayuran dan padi mereka
tanam dengan sistem bertani alami, tanpa meggunakan bahan kimia, mereka
mengandalkan alam untuk bekerja menumbuh suburkan seluruh tanamannya. Gulma
dibiarkan tumbuh tanpa mencabut atau melumurinya dengan bahan kimia. Gulma ini
berfungsi untuk mengendalikan hama saat lahan petani terserang serangga atau
oragnisme pengganggu tanaman lainnya. Jadi, meskipun tanaman petani terserang
hama, jumlah tanaman yang gagal panen tidak sampai merugikan petani. Mereka memahami bahwa alam ini telah
berjalan sekian lamanya, sehingga manusia dirasa tidak perlu terlalu mengubah
hal-hal yang sifatnya alami. Terbukti, seluruh hasil pertanian alami yang
dijual ke pasaran dan dikonsumsi oleh seluruh penduduk, mampu menghindarkan penduduk
dari penyakit dan umur yang pendek.
BACA TULISAN SEMANTIK LAINNYA DISINI
Sedang kaum laki-laki, sebagian besar berprofesi
sebagai seorang nelayan tradisional. Para nelayan berangkat melaut setelah
matahari tertelan di ujung cakrawala. Mereka menangkap ikan menggunakan alat
pancing tradisional, hasil tangkapan ikan tidak pernah berlebihan, asalkan
dirasa telah memenuhi kebutuhan sehari dua hari, maka nelayan akan memutar
kemudi menuju pantai. Hasil tangkapan segera dijual dalam kondisi ikan yang
masih sangat segar. Sungguh berbeda dengan kapal-kapal besar yang menjaring
ikan di tengah lautan selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, kemudian
pulang membawa beberapa ton ikan yang nampak segar, karena kerja baik es batu
dan sedikit bahan kimia. Ikan-ikan inilah yang terpajang dengan tampilan seksi
di supermarket kota-kota besar, lalu menempuh perjalanan panjang menuju piring
keramik pada sebuah restoran.
Tidak banyak perusahaan yang dapat hidup di
Kota Ini. Tidak ada bank yang biasa digunakan untuk mengatasi berbagai hal yang
berkaitan dengan uang. Bank hanya cocok bagi masyarakat yang memiliki harta tak
terhitung akan tetapi miskin rasa aman, maka bank hadir untuk mengatasi masalah
tersebut. Penduduk Kota Ini tidak pernah punya masalah dengan rasa aman. Aksi
pencurian dan sejenisnya sangat jarang terjadi, bahkan tidak pernah terdengar
ada yang mengalami kehilangan barang
berharganya. Di Kota Ini tidak ada semacam pengacara atau notaris, yang
dipercaya dapat mengurus segala persoalan pelik yang terjadi diantara penduduk.
Tanah-tanah tempat mereka berpijak adalah tanah tanpa sertifikat, mereka tidak
memerlukan itu untuk menjamin rasa percaya kepada orang lain, mereka tidak
punya cukup uang membayar jasa notaris hanya untuk selembar kertas sebagai
pengganti rasa percaya kepada keluarga. Di Kota Ini tidak ada yang mampu
membayangkan untuk mencurangi penduduk lainnya. Mereka tercipta utuk hidup
harmonis.
Hingga pada suatu kala seorang peneliti yang
sedang menyelesaikan tugas akhir skripsi bertandang ke Kota Ini. Seorang
laki-laki remaja yang di dalam benaknya merembes pertanyaan kebingungan tentang
sebuah kota yang lebih mirip desa, dia penasaran apa yang telah terjadi hingga
sebuah kultur yang aneh menurutnya, bisa berjalan di Kota Ini. Dia memutuskan
mewawancarai seorang supir angkutan umum selama beberapa hari, dari hasil
wawancaranya dia mengetahui bahwa dulunya Kota Ini merupakan sebuah kota yang
sangat metropolitan dan dihuni oleh mahluk individualis. Tujuan hidup para
penduduknya hanya untuk mempertegas siapa yang paling berbahagia diantara
mereka, dengan menunjukkan seberapa besar rumah dan kemewahan yang dimiliki,
seberapa sering mereka mengadakan pesta yang menghabiskan uang tidak sedikit,
dengan begitu mereka merasa akan terlihat lebih bahagia daripada orang lain,
hal ini terjadi terus menerus.
Berbagai usaha akan mereka lakukan agar
mendapatkan kekayaan, bekerja bukan lagi persoalan manfaat melainkan, segala
cara menjadi halal untuk dikerjakan, sekalipun harus menipu dan menyusahkan
hidup orang lain untuk mendatangkan uang. Tanpa terkecuali walikota, yang
membuat kebijakan lalu memajangnya di etalase dan melabeli harga tertentu untuk
kepentingan perusahaan si asing. Hutan digundul, gunung dikeruk, perut bumi
dicungkil dan air diracuni. Penduduk menjadi kacau balau, air bersih menjadi
langka, penyakit bermunculan dimana-mana, petani meringkih kelaparan, anak muda
kota menjadi kriminal dan warga makin memlihara dendam satu sama lain. Tak ada
kahidupan berkeluarga apalagi bermasyarakat, semuanya menjadi mahluk individual
yang mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Akhirnya setelah berapa lama, kondisi seperti itu tiba pada satu titik kekacauan yang memuncak tanpa terkendali. Masyarakat tidak lagi merasa aman, mereka telah memenuhi segala ambisinya, rasanya sia-sia lagi hidup bermewah-mewahan, tak lagi ada guna berpesta setiap hari gelap. Mereka disergap kehampaan, Hati mereka sunyi, pikirannya kosong, kepedihan mendalam menjalar di dalam dadanya, seperti seorang nelangsa sehabis kehilangan sesuatu. Seorang istri kehilangan suaminya, suami kehilangan istrinya, anak kehilangan ibunya, orangtua kehilangan anaknya, hal itulah terjadi di kota metropilitan ini. Pekerjaan, jalanan macet, tempat hiburan, restoran, kafe dan toko besar telah meceraiberaikan keutuhan seluruh anggota keluarga di Kota Ini.
Pada akhirnya seluruh masyarakat kembali
menemukan keluarga mereka di meja makan. Sebab ternyata mereka baru menyadari
bahwa masakan seorang ibu adalah wujud kasih sayang dan tingkat cinta paling
tinggi yang dapat membanjiri setiap hati anggota keluarganya. Dalam sehari,
setiap keluarga melakukan perayaan selama tiga kali, saat sarapan, makan siang
dan makan malam. Sebuah perayaan tanpa musik yang menggema, tanpa kembang api
dan hiasan pesta berupa tawa yang dibuat-buat, tetapi seluruh kebahagian
berkumpul di sana. Mereka makan masakan yang hangat tapi hati mereka jauh lebih
hangat, oleh sesuatu yang melampaui kata mewah dan berharga. Kita selalu
memilikinya dalam bentuk apapun, ialah keluarga.
Syahrani Said, Atas
izin Tuhan yang Maha Kuasa, saya diberi roh seorang perempuan, sekaligus tiket
perjalanan keliling dunia melalui rahim ibu pada tanggal 26 Mei 1992, Orangtua
memberi saya nama Syahrani Said. Demi kebutuhan hidup di masa yang akan datang,
saya disekolahkan dari Taman Kank-kanak hingga menyelesaikan perjalanan
menuntut ilmu di jurusan Agribisnis, fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin
Makasaar pada akhir tahun 2014. Setelah menuntut ilmu di perguruan tinggi, saya
melanjutkan perjalanan menuntut ilmu di kehidupan bermasyarakat, belajar dengan
metode berbagi. Mengerjakan apa saja yang saya rasa mampu untuk membawa manfaat
bagi hajat hidup orang sekitar. Tiap hari saya dikerjain oleh pemerintah daerah
menjadi tukang kebun pada Kebun Raya Jompie Parepare, saya selalu berharap
dipecat agar punya kisah hidup yang pilu. Aktifitas saya terbagi dua, aktifitas
fisik dan pikiran. Pikiran saya bekerja part time dan teramat sibuk. Saya
senang membaca, menulis, berbagi apa saja yang menjadi milikku, bukan membagi
milik orang lain. Saya bersama kumpulan teman-teman yang kesepian membuat
sebuah zine yang kami beri nama “Orazine” sebagai media yang terbit sebulan
sekali dengan tema yang tidak menarik bagi media-media. Saya juga telah
mendirikan oragnisasi pemerhati lingkungan bernama “Bumi Lestari” yang harapan
dan doanya selalu menginginkan kebaikan untuk kehidupan bumi, meskipun tindak
terbesar kami hanyalah menanam pohon. Saya tinggal pada kompleks perumahan
nasional blok E.64 Kelurahan Lompoe, Kecamatan Bacukiki, Kota Parepare,
Provinsi Sulawesi Selatan.
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.