Serial Baso & Beddu : Anjing Tidak Terlahir Hina


Serial Baso & Beddu, - Pagi buta Baso sudah rapi. Padahal ayam baru saja berkokok. Kabut juga masih menutupi jalan. Bahkan para tetangga belum sepenuhnya rela beranjak dari tempat tidur. Ada yang masih asyik mendengkur. Meski tidak sedikit juga yang telah bersiap memulai aktivitas. Memang daya pikat kasur susah untuk ditolak. Belum lagi jika ada bidadari manis tergeletak pasrah di atasnya. Yang belum punya, tidak bijak membayangkannya terlalu jauh. Nanti malah menyiksa diri sendiri.

Kembali ke Baso. Pagi itu ia tengah bersiap menuju kota. Rencananya, ia berangkat lebih awal. Sebab, ia turut serta  mengikuti ujian bersama yang diadakan di kota. Kebetulan sekolahnya mengekor ke sekolah unggulan. Menurut Baso, hadir di awal waktu itu penting. Pasalnya, moment itu adalah celah yang tepat untuk mempersiapkan catatan sebagai bekal menjawab soal-soal yang akan dihadapi. Sangat terkesan negatif memang, karena yang dipilih bukan menyisiatinya dengan belajar melainkan dengan trik murahan semacam itu. Tapi ingat, ia hanya meniru dari apa yang pernah ditempuh para pendahulunya. Maka sebaiknya, kita berhati-hati dalam memberi contoh.

Setelah segalanya siap. Baso berpamitan kepada Ambo’ dan Indo’nya. Tak lupa ia mencium tangan kedua orang terkasihnya itu. Orang-orang memang mengenal sosoknya yang nakal. Sebab, tak jarang ia mengundang keonaran di kompleknya. Namun pada bilah lain tentunya, ia adalah anak yang penurut oleh titah dan kehendak orang tuanya. Hal itu yang terus dijaganya.

Dengan mengenderai belalang tempur (julukan besi tua yang ia kendarai) warisan Ambo’nya, ia berangkat ke lokasi. Namun sialnya. Di tengah perjalanan, ia dihadang kemacetan. Bagian buruk wajah negeri ini yang kerap hadir di mana-mana. Bahkan untuk daerah kecil serupa tempat Baso dan Beddu tinggal. Memang hampir tiap hari ia berhadapan dengan kondisi ini. Namun di luar dugaan kalau ia masih saja harus berjumpa dengannya sepagi ini.

Kemacetan tak akan betul-betul teratasi, jika ruas jalan yang tersedia tidak mampu mengimbangi pertumbuhan kuda-kuda bertenaga mesin. Bukan menjadi soal lagi jika pembenahan jalan mesti menunggu momen semacam pemilihan para pemangku jabatan dulu. Sementara produksi kendaraan terus melaju dengan pesatnya.

INTIP SERIAL BASO & BEDDU LAINNYA DISINI

Menunggu sambil menggurutu dalam hati. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Yang dipikirkan olehnya adalah kehilangan peluang mempersiapkan bekal oleh karena waktu terbuang habis di jalan.

Sedikit demi sedikit, kendaraan bergerak pelan. Saking pelannya, tidak sedikit di antara pengendara yang terjebak memilih bersantai dengan membaca koran. Ada pula yang mulai menyantap sarapan di atas motornya. Tak peduli lagi jika asap knalpot juga turut ditelannya. Mungkin khawatir jika makanannya keburu dingin atau barangkali cacing dalam perutnya sudah menuntut agar segera diberi jatah.

Pelan tapi pasti. Celah itu terbuka juga. Ada sisi terbuka yang muat untuk ia lalui. Maka dengan sigap ia menarik gas. Namun sayang, karena kebelet, fokusnya jadi berkurang dan sialnya, ia tidak menduga datangnya pengendara dari arah yang sama, tepat di belakangnya. Karena bersamaan, maka tubrukan pun tak mampu  dihindari. Berbeda dengan pengendara satunya, keberuntungan tidak berpihak pada Baso. Ia tak cukup gesit menahan keseimbangan motornya yang oleng. Dan akhirnya terjatuh. Muka baso memerah menahan amarah. Dengan sakit yang masih mendera, ia bangkit lalu berteriak mengutuk pengendara yang menerobos jalannya sembari mengacungkan jari tengah.

“Anjiing!!” kutuknya dibarengi pose acungan jari tengah yang diarahkan kepada pengendara itu. Namun terkesan sia-sia. Itu tak mampu menghentikan laju motornya. Justru sosoknya semakin jauh melesat hingga tak mampu lagi dijangkau oleh mata Baso.

Jatuhnya Baso sontak mengundang orang-orang di sekitar area itu berkerumun. Seperti laron yang mengurumuni lampu. Mereka datang untuk memastikan keadaannya.

Kecelakaan memang selalu ramai penonton. Tapi, semoga saja itu alamat bahwa masyarakat timur masih mengedepankan tradisi bahu membahu. Baso hanya meringis oleh karena luka kecil di tangannya, selebihnya tidak masalah. Walaupun sempat ada diantara orang yang berkerumun tadi menaruh curiga bahwa ia mendapat luka serius lantaran melihat desain wajah yang mungkin kasarnya dibilang berantakan. Tapi Baso sudah menjelaskan perihal wajahnya yang memang sejak dilahirkan sudah begitu adanya. Si belalang tempur juga hanya mendapat lecet sedikit di bagian kanan depan, di bawah lampu utama. Goresannya tidak begitu terlihat. Itu karena kondisinya memang sudah butut. Namun sebutut apapun, Baso telah jatuh cinta dibuatnya.

Dengan suasana hati yang kunjung membaik dan macet juga mulai surut, Baso kemudian melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda oleh drama jatuh tadi.

Lonceng masuk telah bergema menjemput kedatangannya. Gerutuannya kembali menjadi-jadi dalam hati. Ia sangat kesal karena tak sempat lagi mempersiapkan diri menghadapi ujian. Waktunya banyak terbuang tadi. Bukan hanya karena macet, tapi juga karena meluangkan waktu terjatuh. Apa boleh buat, kali ini semua pertanyaan harus dijawab dengan segala ketidakmampuannya. Jika perlu, soalnya saja yang ia salin ulang di lembar jawaban. Hanya perlu ditambah pesan bijak di bawahnya. Tujuannya tentu untuk menarik simpati sang guru.

Ujian pun berakhir. Segera ia mengambil tas lalu beranjak pergi dari ruangan. Jelas kemurungan tergambar di wajahnya. Selain ragu dengan jawabannya, ingatan tentang kejadian yang baru tadi dialaminya belum juga pudar. Tidak ada tempat yang baik menurutnya ia tuju berlabuh selain kedai Pak Ali. Tempat yang sering ia pilih untuk menghibur diri, terlebih di kala terpuruk seperti ini. Dan ternyata Beddu, sahabatnya sudah terlebih dulu ada di sana.

Melihat kedatangan Baso dengan balutan wajah murung, Beddu langsung menyapanya.

“Kenapa mukamu kusut lagi sappo? Masih soal gadis yang kemarin kau ceritakan di pos ronda itu kah?”

“Bukan.”

“Lalu apa?”

“Saya hanya pesimis dengan hasil ujian tadi.”

“Memangnya kenapa?”

“Saya tidak sempat membuat catatan karena tragedi konyol di jalan tadi,” jawabnya sambil menggaruk-garuk kepala berharap isi kepalanya teralihkan ke yang lain.

“Ini sudah penerus abal-abal. Kenapa mesti tidak pede dengan kemampuan sendiri. Seharusnya jauh sebelumnya kau telah mempersiapkan diri dengan belajar. Bukan malah bergantung sama catatan.” katanya menasehati. “Kau habiskan apa waktumu sampai tidak ada tersisa untuk belajar?”

INTIP TULISAN LAINNYA DISINI

“Jangan bertindak seolah-olah kau betul bego”, jawabnya lansung dengan jengkel. “Justru karena menemanimu bermain catur, waktu belajarku banyak tersita.”

“Haha.. Bukan salahku. Kaunya saja yang gampang tergoda,” Beddu mencoba membela diri.

“Tapi,” lanjut Baso.”Bukan itu yang membuatku sangat kesal.” Ia pun berceritra ihwal keterlambatannya. Selain macet, juga soal pengendara yang menyalipnya hingga terjatuh. Karena kembali teringat, ia pun tak kuasa mengendalikan emosi untuk tidak mengumpat.

“Asu tongang.”

Umpatan itu kurang berkesan di hati Beddu. Segera ia menepisnya karena tidak rela nama binatang itu dijadikan bahan umpatan. Seolah-olah turut bersalah terhadap sahabatnya.

“Kenapa bawa-bawa nama anjing segala? apa dia juga ikut menyalip?” katanya sinis.

Baso tertawa mendengar pembelaan sahabatnya. Tawa yang terdengar tidak bersahabat di telinga Beddu. Sebab, jelas ia marah melihat perlakuan semena-mena atas binatang itu.

“Hahaha...Beddu.. Beddu.. Itu cuma tanda kekesalan sappo. Jadi jangan ditanggapi berlebihlah. Bukankah sangat wajar menyebut nama anjing jika seseorang sedang marah? Hari ini semua mata memandangnya dengan tatapan hina. Jadi sangat pas namanya digunakan menyumpahi.” Katanya menggurui dengan gagah berkacak pinggang sebelah di depan sahabatnya. Sekali-kali ia tersenyum, menyiratkan pesan bahwa yang disampaikan olehnya adalah kebenaran yang harus diterima Beddu.

“Justru disitu letak kelirumu sappo? Tadi kan kau paham bahwa anjing itu bukan pelakunya. Namun, kau tetap menyeretnya masuk dalam situasi yang ia sama sekali tidak mengerti. Jangankan untuk menyalip, bahkan berniat untuk menyakitimu saja tak pernah terbersit di kepala binatang itu. Malah kerap yang terjadi adalah sebaliknya. Kita senang menghinakan mereka. Seakan-akan ia tak lebih berarti meski dibandingkan secuil kotoran yang terselip di ujung jemari kita. Padahal buah tingkah laku kita menunjukkan sebaliknya. Kitalah makhluk yang hina itu. Hanya karena bermodal dalil-dalil keTuhanan yang nyaris kita tidak paham, dengan lantangnya kita bersuara, menyampaikan ke seluruh mahkluk bahwa kitalah “Ahsanu at Taqwim”, yaitu sebaik-baik mahkluk. Lalu menutup mata. Lupa bahwa kita juga punya peluang untuk bertengger di tempat terendah, “Asfala Saafiliin” . Apakah kau pura-pura lupa itu sappo?”

“Anjing itu kan najis. Masuk kategori mugalladzah lagi.”

“Saya tahu. Namun, jangan oleh karena status najis yang melekat pada dirinya, hingga dengan angkuhnya kau mendaulat diri sebagai makhluk termulia di antara lainnya. Sumber kita sama. Jadi menghinakannya sama dengan menuduhkan langsung ke pencipta-Nya. Tiada lain adalah Dia yang mengadakanmu juga.”

“Takdir apapun yang sementara ia jalani merupakan bentuk penghambaan terhadap-Nya. Esensinya sama dengan ibadah yang kita lakukan, namun dikemas dengan bentuk dan praktik yang berbeda. Sebab, tugas itu berdasar pada modal dan peran yang telah diamanahkan-Nya kepada setiap mahkluk.”

“Camkan baik-baik sappo. Tanamkan di hatimu dalam-dalam bahwa tidak ada satu pun dari makhluk-Nya terlahir sebagai produk gagal apalagi hina. Jangan hanya menoleh ke anjing, tapi segeralah bercermin. Kau akan segera paham. Sejelek dan sesangar apapun rupamu, di mata Tuhan kau tetap makhluk-Nya. Maka jangan menghina-Nya dengan menghina dirimu atau makhluk lainnya. Tidak terkecuali anjing itu.”

“Maaf, saya hanya tersulut emosi sappo.”

“Saya tahu kau sedang marah dengan kelakuan pengendara yang menerobos jalanmu tadi. Tapi jangan melibatkan anjing yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang telah kau alami. Tujuanmu merendahkan pengendara itu tapi yang terjadi malah kau merendahkan binatang mulia itu. Kasihan ia kau samakan dengan makhluk yang tidak konsisten seperti kita. Binatang itu bersahabat. Ia meresponmu sebagaimana kau memperlakukannya. Ia hanya melawan saat merasa terusik.”

“Seharusnya kita berguru pada mereka. Mereka menjalani kehidupan tanpa pernah berpura mengambil peran mahkluk lain. Ia hanya dihadiahi nafsu, tapi sangat faham dalam mengendalikan perut. Ia hanya memberi isi pada perutnya sesuai yang dibutuhkan. Hal yang sangat jauh dengan apa yang kita contohkan. Padahal selain nafsu, kita juga berbekal akal. Tapi sudahlah, soal ini tidak begitu serius juga disampaikan di sekolahan.”

Baso hanya terdiam lesu. Ia tak lagi merasa menang. Malah yang datang mengisi relung hatinya adalah penyesalan atas keangkuhan yang telah dibanggakannya. Dulu, ia merasa semua anjing pantas dihinakan. Sebab, kata najis telah menyatu dengannya. Namun, oleh karena kata-kata yang tumpah dari mulut Beddu, rasa itu runtuh seketika. Ia malu. Bukan cuma kepada dirinya saja tapi juga kepada anjing-anjing yang selalu tidak dihormatinya.

Setelah menenangkan hati dan menguasai diri, tiba-tiba ia hendak beranjak. Padahal sedari mula ia sama sekali belum memesan kopi apalagi meminumnya. Dari awal pembicaraan pun, ia lupa memberi jeda untuk menyulut rokok barang sebatang pun. Sebelum meninggalkan, Beddu bertanya tentang arah tujuannya.

“Kenapa terburu-buru, memang mau kemana?”

“Ada hal yang perlu disegerakan sappo.”

“Apa itu?”

“Memohon maaf kepada anjing.”


Abdurrahman Abdullah / Kangur (Kontributor Tetap)

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama