Sejarah Pembebasan Nasional dan Munculnya Entitas Kebangsaan Abad 19-20 (Part 1)

Sejarah Pembebasan Nasional Abad 19-20 Part 1
“Transformasi masyarakat feodalisme ke kapitalisme bukan hanya melahirkan penindasan dan klas baru tetapi juga memunculkan formasi lembaga manusia dalam bentuk ‘bangsa’ “

Ditemukannya alat kerja yang modern berupa mesin-mesin uap, listrik dan penemuan lainnya pada abad 19 menghasilkan surplus produksi yang membutuhkan pasar tempat pelemparan barang produksi, membutuhkan sumber daya manusia yang terkonsentrasi untuk berproduksi (munculnya pabrik-pabrik) dan melahirkan kepentingan politik dan ekonomi dari klas baru yang muncul untuk bisa mengakumulasi modal secara aman dan menguntungkan, di sisi lain hubungan produksi yang lama tidak bisa mengakomodir kepentingan klas yang baru yaitu klas kapitalis dan kaum buruh. Inilah inti dari revolusi di Inggris dan Prancis.
 
Fenomena kemunculan negara-bangsa (dalam pengertian modern) merebak pada pertengahan abad 19. Saat itu di Eropa dilanda gelombang revolusi borjuis demokratik menumbangkan tatanan feodal di sebagian besar daratan Eropa. Marx dan Engels terlibat dalam perjuangan tersebut. Pecahnya revolusi Eropa tersebut diawali di Perancis pada tahun 1848, Revolusi telah menggulingkan Raja Louis Philipe, dan telah berhasil membangun sebuah republik borjuis demokratis, walau hanya beberapa waktu saja. Revolusi telah memberikan dampak yang besar bagi negeri-negrei lainnya. Ia kemudian merambah ke sebagian besar daratan Eropa. Revolusi Februari di Perancis telah memberikan inspirasi kepada kaum liberal Jerman gagasan tentang Jerman bersatu dengan parlemen nasional. Demikian pula di Itali, di mana revolusi telah memaksa Pope Pius IX melarikan diri keluar Itali, yang pada gilirannya, penyatuan Itali, walaupun gagal. Sementara, di wilayah kekaisaran Austria bangkit nasionalisme bangsa kecil lainnya seperti Czech, Hungaria, dan kelompok-kelompok lain. Revolusi 1848-1849, yang dipimpin oleh borjuasi, telah menyapu bersih tatanan feodal kekaisaran Austria dan Prusia. Akar revolusi 1848-1849 terletak pada pertentangan yang sangat tajam antara kapitalisme yang sedang tumbuh dengan sisa-sisa tatanan feodal yang masih bertahan di sebagian besar Eropa Tengah dan Timur – tatanan feodal yang terkuat pada saat itu adalah Kekaisaran Austria, Prusia, dan otokrasi Rusia. Tujuan utama dari revolusi tersebut adalah menumbangkan monarki absolut, menghapuskan feodalisme, mengusir kekuatan asing dan membentuk negera-negara baru di mana klas borjuasi berkuasa. Revolusi 1848-1848 telah memberikan dampak yang besar terhadap terbangunnya negara-bangsa besar di Eropa. Bangsa-bangsa yang bangkit tersebut adalah Jerman, Itali, Hongaria, dan Polandia. Revolusi juga telah membangkitkan kesadaran nasionalitas atas bangsa-bangsa “kecil” Irlandia, Czech, Serbia, Kroasia, dan Slovakia.

Awal abad duapuluh dunia mengalami berbagai kejadian yang berkaitan dengan lenyapnya beberapa negara besar dan munculnya bangsa-bangsa dan negara baru. Sebut saja misalnya runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia dan munculnya Bosnia, Serbia, Chezhnya, Timtim, Aceh, Papua di Indonesia

Sikap Marx Terhadap Pembebasan Nasional Dari Bangsa Tertindas
Seperti yang kami sebutkan di atas bahwa revolusi Prancis esensinya adalah revolusi yang dipimpin oleh kepentingan borjuasi terhadap bentuk tatanan feodal. Marx di awal revolusi juga menganggap bahwa revolusi 1848-1849 adalah borjuasi demokratis dan perjuangan pembebasan nasional. Perjuangan utama terpusat di tangan borjuasi Jerman yang mengambil kontrol sebagian daerah yang ada di bawah kekuasaan kekaisaran Prusia dan Austria Hapspurg dan menciptakan negara Jerman bersatu. Pada saat itu Marx yakin bahwa borjuasi memainkan peran revolusioner
 
menumbangkan feodalisme, di samping adanya kecenderungan untuk berkompromi dengan kekuatan lama. Seperti yang dinyatakan dalam Manifesto Komunis:


“Borjuasi tidak dapat ada tanpa terus menerus merevolusionerkan alat-alat produksi, dan telah memusatkan pemilikan di tangan beberpa orang. Akibat pentingnya adalah pemusatan politik. Independen, tetapi dengan longgar menghubungkan provinsi-provinsi, dengan kepentingan terpisah, hukum, pemerintahan dan sistim pajak, menjadi tersatukan dalam satu bangsa, dengan satu pemerintahan, satu hukum, satu kepenitngan klas nasional, satu perbatasan dan satu tarif”.
Tuntutan Marx dan Engels yang paling utama—dan juga kaum demokrat revolusioner lainnya—adalah kemerdekaan Polandia. Wilayah Polandia terletak, dan telah menjadi sekat, di antara tiga kekuatan feodal yang paling dominan; Prusia, Austria, dan Rusia sejak tahun 1795. Tentara Kaisar pernah menghacurkan pergolakan di sana tahun 1830. Polandia di distrik Karkov independen bangkit kembali tahun 1846, dan sebuah pemerintahan radikal memproklamirkan penghapusan hak-hak feodal. Namun, Krakov kembali dianeksasi oleh kekuatan feodal lain: Austria. Marx dan Engels berjuang untuk kemerdekaannya, di satu sisi, dan dis sisi lain, melawan kelompok-kelompok borjuasi Jerman chauvinis yang mengklaim secara terang-terangan bahwa Polandia adalah bagian dari Prusia.
 
Dukungan Marx dan Engels terhadap perjuangan bangsa-bangsa tertindas berlandas atas analisa sejarah kongkrit tentang perjuangan nasional pada saat itu dan peran apa yang telah dan akan dimainkan dalam perlawanan tak terdamaikan antara klas-klas utama yang ada. Marx dan Engels mendukung perjuangan nasional rakyat Jerman, Italia, Polandia, dan Hungaria karena bangsa-bangsa tersebut telah berkembang mencapai tahap perjuangan persatuan nasional dan kemerdekaan dari kekuatan-kekuatan feodal.
 
Dalam Manifesto Komunis, Marx menggambarkan bahwa bangsa-bangsa terbentuk sebagai hasil dari proses internal dan dari berbagai kekuatan yang terlibat dalam revolusi 1848, hanya bangsa Jerman, Italia, Polandia, dan Hungaria yang telah menyempurnakan proses internalnya (baca Manifesto Komunis )
 
Di sisi lain, Marx mendukung perjuangan nasional tersebut agar tercapai sebuah aliansi antara rakyat tertindas (dalam hal ini, kaum buruh) di bangsa–bangsa penindas dan bangsa tertindas. Kemenangan mereka akan mempercepat jatuhnya feodalisme dan akan membuka jalan bagi sosialisme. Kejatuhan feodalisme, di satu sisi, telah mengkonsolidasikan borjuasi dalam klas penguasa — dan itu artinya menyingkirkan segala rintangan bagi tumbuhnya kapitalisme secara cepat. Di sisi lain, terbentuknya republik borjuis demokratis menyediakan prasyarat-prasyarat politik bagi tumbuhnya kekuatan kaum buruh: universal sufrage (hak sipil dan politik). Di samping perkembangan cepat kapitalisme akan mengkonsentrasikan kaum buruh dalam jumlah-jumlah massal. Terlepas bahwa analisa sejarah tentang karakter dan watak borjuasi Jerman yang tidak sama dengan borjuasi Prancis, karena watak borjuasi Jerman yang ragu-ragu, penakut di satui sisi punya kepentingan borjuasi disisi lain masih di untungkan oleh privasi hubungan produksi lama.

Kesimpulan Marx tentang pembebasan nasional dan sikap dari Marxist haruslah :
1. Analisa sejarah konkrit tentang perjuangan pembebasan nasional dan entitas kebangsaan dari suatu bangsa, kemudian peran apa yang di mainkan oleh perjuangan pembebasan nasional untuk menjatuhkan pemerintahan borjuasi yang ada
2. Kemerdekaan bagi bangsa-bangsa yang telah selesai proses internal sejarahnya , kemerdekaan akan menyediakan syarat bagi tumbuhnya fasilitas demokrasi yang akan memudahkan untuk mencapai sosialisme.
3. Memutus mata rantai penindasan dan juga akan memperlemah pemerintahan borjuasi yang ada.
4. Memunculkan perjuangan klas yang sejati di negara bangsa yang baru muncul
5. Menyingkirkan dan mempercepat proses kapitalisme sehingga terjadi pematangan klas (konsolidasi klas borjuasi dan munculnya klas buruh ).
Tetapi pada point yang ke lima ini harus di maknai bahwa situasi pada saat itu mengilusi Marx bahwa untuk mencapai tahapan revolusi borjuasi adalah dengan mendorong borjuasi untuk berkuasa yang di harapkan nantinya adalah pematangan kapitalisme yang ini merupakan syarat bagi lahirnya revolusi sosialis. Pada point yang kelima itu di bantah oleh revolusi Rusia dan China.
6. Terbentuknya aliansi antara kaum buruh di negara pusat kekuatan borjuasi dengan kaum buruh yang telah selesai proses internal pembebasan nasional dan kebangsaannya.
Konsepsi Bolshevik Tentang Bangsa dan Pembebasan Nasional
Serta Persoalan kebangsaan

Teori tentang persoalan nasional dan hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri kemudian dikembangkan oleh Lenin di bawah fondasi yang telah dibangun oleh Marx dan Engels, dan teori tersebut diuji dalam praktek revolusi Rusia 1917. Perlawanan dari kaum kiri pada saat itu adalah kaum reformis yang diwakili oleh Otto Bauer dari Austria, yang pada esensinya menentang tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Pertentangannya terletak pada persoalan kriteria bangsa. Penentangan Bauer tersebut berlandaskan pada pendapatnya tentang identifikasi sebuah bangsa yang hanya merupakan sebuah anggota budaya saja. Sehingga, menurutnya, sebuah bangsa tidak membutuhkan teritori, ekonomi dan struktur klas tertentu. Latar belakang yang melandasi pemikiran tersebut sebenarnya adalah karena memang Austria pada saat itu hendak meredam gejolak tuntutan berbagai gerakan nasional dalam imperium Austro-Hongaria, dengan hanya mengakui “otonomi budaya nasional”.

Sementara Lenin berpendapat bahwa sebuah bangsa berkaitan erat dengan teritori, ekonomi dan struktur klas. Secara baku konsepsi tentang bangsa tersebut ditulis oleh Stalin dalam ” Marxisme dan Persoalan kebangsaan ” .Tulisan ini di selain di buat selain mengcounter konsepsi sosdem palsu Otto Bauer juga untuk menjawab perkembangan persoalan kebangsaan pada abad 20 yang telah berkembang yang berbeda dengan abad 19. Lebih jelasnya, Stalin katakan dalam Marxism and National Question, bahwa sebuah bangsa itu terbentuk secara historis, memiliki persamaan bahasa dan wilayah, kehidupan ekonomi dan kesamaan psikologi.

“Bangsa” tulis Stalin, “dalam sejarahnya terbentuk dari komunitas masyarakat yang stabil/tertentu, yang terbentuk berdasarkan sebuah kesamaan bahasa, teritori (wilayah), kehidupan ekonomi, dan perubahan psikhologi, yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan bersama”. “Sebuah bangsa dalam sejarahnya tidak muncul secara tiba-tiba tetapi muncul dalam periode sejarah tertentu, yaitu masa munculnya kapitalisme”.( Marxisme and Nationalism Question )

Oleh karena itu, dalam pandangan Bolshevik, sebuah bangsa bukan hanya “komunitas masyarakat yang diimpikan” tetapi secara obyektif, menurut sejarahnya, merupakan perkembangan kesatuan masyarakat yang terbentuk berdasarkan basis hubungan ekonomi kapitalis, yang memberikan kesempatan pada seseorang untuk hidup dalam wilayah tertentu yang mempunyai persamaan bahasa dan persamaan budaya. ( Doug Lorimer )

Kami tidak akan lebih jauh membahas tentang persoalan terciptanya suatu bangsa menurut konsepsi sejarah yang di tulis oleh Stalin. Justru yang menarik sebenarnya adalah bahwa awal abad 20 ini –perjuangan pembebasan nasional bukan lagi berdiri di atas pertentangan antara borjuasi melawan monarki absolut untuk menjatuhkan feodalisme dan membangun negara liberal demokratik, melainkan negara-negara penindas yang telah selesai proses kesejarahannya dan berhasil mendirikan dan mentrasformasi dari negara feodal ke negara borjuasi kapitalis justru balik melakukan penindasan bukan hanya dalam bentuk kolonialisme, tetapi di dalamnya juga bangkit kesadaran pembebasan nasional disebabkan penghisapan yang dilakukan oleh borjuasi yang dimanifestasikan dalam etnis yang dominan atau disebabkan hal lainnya.
 
Proses perlawanan nasional dan menguatnya entitas untuk menjadi suatu bangsa justru menjadi spirit perjuangan yang sangat dahsyat pada negara-negara yang mengalami kolonialisme. Dan spirit ini yang justru memotivasi perjuangan rakyat hingga mencapai stamina yang maksimal. Kita bisa lihat itu di negara-negara dunia ketiga yaitu India, Indonesia, Malaysia, Mesir, dan negara-negara Timur-Tengah serta Amerika Latin pada awal abad 20. Pada saat itu konteks persoalan nasional adalah perjuangan melawan imperialisme/kolonialisme.
 
Sikap dari kaum kiri sendiri untuk menjawab persoalan tersebut dapat di lihat dari laporan Komisi Nasional dan Kolonialisme pada tahun 1920 yang di pimpin oleh Lenin yang di hadiri oleh wakil-wakil partai komunis di Asia, Eropa dan Amerika. Sikap kaum kiri pada saat itu ialah mendukung kemerdekaan rakyat atau bangsa yang tertindas tersebut. Kemerdekaan dari bangsa yang tertindas adalah syarat mutlak bagi terciptanya syarat-syarat demokratis bagi pengembangan sosialisme, karena akan memudahkan propaganda kiri, memudahkan pengorganisiran petani dan klas buruh, memudahkan kaum kiri untuk memimpin perjuangan rakyat yang baru merdeka untuk menapak ke proses sejarah selanjutnya. Dan kemerdekaan rakyat atau bangsa tertindas adalah sebagai babak awalnya munculnya perjuangan klas terhadap borjuasi yang baru di negara bangsa tersebut. Hal ini akan sangat kabur kalau masih berada di bawah kolonialisme.
 
Karakter perjuangan klas sejati hanya muncul ketika diselesaikan kemerdekaan bangsa tertindas tersebut. Atas basis inilah kaum kiri bersikap. Apabila tidak ada syarat-syarat seperti di atas kaum kiri harus terlebih dahulu membelejeti kaum reformis yang ada di negara atau wilayah bangsa tertindas tersebut dan berpropaganda ke rakyat tentang karakter borjuasi lokalnya. Sikap yang kedua ialah negara-negara sosialis dan gerakan kiri yang ada di negara lain harus mendukung dan membantu secara ekonomi dan politik negara yang menuntut kemerdekaannya untuk menghalangi penjajahan dalam bantuk baru oleh kapitalisme internasional sehingga arah sejarah dari bangsa yang tertindas tersebut dapat didorong dan dikontrol untuk mencapai kemerdekaan sejatinya yaitu sosialisme. Dan yang terakhir ialah segera mengintegrasikan perjuangan klas proletariat yang ada di negara bangsa tersebut baik sebelum mencapai pembebasan nasionalnya atau sesudah mencapai pembebasan nasionalnya untuk bersama-sama memukul kekuatan borjuasi bangsa penindas atau kapitalisme internasional sehingga percepatan sosialisme akan semakin mudah terwujud. Dan bagi negara yang baru mencapai kemerdekaannnya slogan perjuangan yang diputuskan ialah revolusi pembebasan nasional walaupun tidak serta-merta konsepsi negara yang akan di bentuk setelah itu harus di mulai dari pembentukan negara kapitalis. Revolusi Rusia telah menjawab ini. Bahwa apabila kaum kiri di negara jajahan mampu membuat dewan-dewan rakyat sebagai alat perjuangan dan ini massif diterima oleh rakyat maka bentuk negara borjuasi dan ekonomi kapitalis adalah hal yang bodoh untuk dilakukan karena dewan rakyat akan mampu melakukan praktek ekonomi sosialisme dengan bantuan dari negara ploletariat yang maju dan bantuan dari gerakan solidaritas kaum buruh di dunia. (baca Laporan Komisi Tentang Persoalan Nasional dan Kolonial ).

Merkantilisme, Kolonialisme/ Imperealisme Masuk di Nusantara
Embrio kapitalisme mulai bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara awal abad 15 melaui merkantilisme Eropa . Di mulai dari kedatangan Vasco da Gama (Portugis) 1469 disusul dengan kedatangan penjelajah Spanyol tahun 1552 dan terakhir datang Belanda 1596 dengan mendaratnya Cornelis de Houtman. Belanda secara mapan menguasai Nusantara dengan berhasil mendirikan kongsi dagang VOC. Kapital dagang Belanda mulai menunjukkan watak dan karakter ketamakannya yang merupakan sifat dasar dari modal. Penundukan wilayah-wilayah kerajaan Jawa untuk lebih mudah melakukan eksploitasi sumber daya alam dan manusia untuk dijual di pasar Eropa mengakibatkan terjadi peperangan-peperangan yang cukup panjang. Ekspansi modal mulai masuk ke Sumatera dan seluruh teritori Nusantara. Satu demi satu wilayah kerajaan yang ada di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi ditundukkan. Kapitalisme dan kolonialisme Belanda menyatukan teritori Nusantara ke dalam satu ekonomi yang terpusat. Infrastruktur penindasan dibangun di seluruh wilayah modal yang ada di Nusantara yang berhasil ditaklukkan. Bahasa Belanda mulai diperkenalkan di birokrasi-birokrasi tanah jajahan. Tetapi bahasa Belanda ini tidak mampu diserap oleh rakyat jajahan melainkan oleh kaum terdidik hasil dari politik etis Belanda, karena sebelum kedatangan Belanda, bahasa Melayu sudah menjelajahi Nusantara sebagai bahasa dagang di bandar-bandar yang ada di Nusantara. Bahasa Melayu ini dipakai dan dijadikan sebagai bahasa perdagangan dan pertukaran diantara pedagang lokal yang ada di Nusantara.
 
Sebelum, kedatangan merkantilisme dan juga kolonialisme Eropa di Nusantara, masyarakat di Nusantara sebenarnya telah mengenal perdagangan dalam bentuk jual-beli dan barter dengan bangsa asing tetapi tidak sampai pada tahapan kolonialisme karena bangsa asing yang memperkenalkan corak perdagangan tersebut yaitu India (pedagang Gujarat, Arab, dan Persia) di negaranya sendiri tahapan kapitalisme belum ada. Salah satu hasil dari corak perdagangan dan interaksi dengan bangsa pedagang di Nusantara yang di bawa oleh pedagang Gujarat (India) Arab yang terkonsentrasi perdagangannya di bandar-bandar adalah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar perdagangan antar wilayah. Makanya wilayah yang maju dan berteknologi tinggi ada di daerah-daerah atau kerajaan yang punya bandar-bandar besar seperti Aceh dengan Samudera Pasainya, dan juga daerah-daerah lain yang mempunyai bandar-bandar besar. Tetapi karena bandar-bandar tersebut dikuasai oleh kerajaan karena mereka yang mempunyai otoritas politik dan ekonomi dan juga ketidakmampuan pedagang dan juga penduduk di daerah tersebut untuk bertransformasi menjadi borjuasi di atas landasan perdagangan yang baru menjadikan borjuasi yang muncul dan berteknologi walaupun sederhana adalah keluarga kerajaan. Inilah yang menyebabkan bahwa watak dan karakter borjuasi Indonesia di satu sisi punya kepentingan terhadap perubahan yang sifatnya maju tetapi disisi lain nilai-nilai lama seperti privilege-privilege kerajaan juga masih mereka pertahankan dan nikmati.
 
Kedatangan merkantilisme yang memperkenalkan kapitalisme dan kolonialisme justru menyebabkan pola dan corak ekonomi yang mulai terbangun dihancurkan padahal proses penyempurnaannya belum tuntas. Harapan akan lahirnya borjuasi yang mapan dan punya kepentingan modal yang kuat di Indonesia lenyap. Suatu kecelakaan sejarah yang merugikan Nusantara .
 
Kapitalisme Belanda bukan hanya menghancurkan pola ekonomi yang sungguh baru bagi Nusantara yang sebenarnya belum siap tetapi juga mengintegrasikan daerah-daerah jajahan kedalam satu teritori wilayah yang luas di bawah Belanda. Perubahan syarat-syarat ekonomi dari ekonomi perdagangan dan pertanian sederhana di Nusantara menjadi kapitalisme inipun menuntut perubahan dalam metode dan sistim politiknya, dan hal ini berkembang sesuai dengan perubahan dari politik dagang kolonial yang monopolistik ke politik kapital persaingan bebas.
 
Di atas syarat-syarat tersebut, justru gerakan rakyat menunjukkan elannya dalam praktek revolusi sejak akhir abad 19 hingga saat ini. Artinya terbukti bagaimana gerakan rakyat sebagai lompatan kwalitatif dari tenaga produktif terjadi pada tahap imperialisme. Perkembangan kapitalisme, persaingan bebas ke kapitalisme monopoli akhirnya menunjukkan bahwa kaum borjuasi Belanda harus berhadapan dengan kaum buruh dalam negeri, juga berhadapan dengan seluruh rakyat di tanah jajahanya, ia pun menunjukkan tentang perjuangan yang dipimpin oleh kaum buruh pada masa imperialisme.
 
Kapitalisme Belanda selain menghasilkan penindasan juga mau tidak mau harus melahirkan SDM dari wilayah jajahannya untuk mengisi suprastrutur penindasannya. Lahirnya putra-putri tanah jajahan yang berpikiran maju hasil dari politik etis Belanda, situasi dunia internasional yang bangkit dari bangsa-bangsa jajahan tertindas di dunia-dunia ketiga melawan imperealisme Eropa memajukan metode perlawanan rakyat Indonesia. Kombinasi perjuangan bersenjata dan perjuangan modern adalah kebutuhan sejarah pada saat itu.
 
Proses sejarah Nusantara yang berhadapan dengan kolonialisme dan imperialisme Belanda dan negara-negara modal lainnya setelah itu yaitu masuknya kembali NICA, penjajahan Jepang dan momentum kemerdekaan RI, adalah suatu kesatuan sejarah yang berhasil membentuk entitas Indonesia menjadi suatu “bangsa”. Penolakan terhadap bahasa Belanda dan kebutuhan untuk membuat satu bahasa pemersatu sebagai reaksi terhadap bahasa penjajah, terintegrasinya teritori secara ekonomi (kapitalisme Belanda), dan adanya psikologis kolektif sama-sama dijajah, ditindas mengakibatkan adanya basis material untuk saling berinteraksi, bergandengan tangan di dalam perjuangan menyingkirkan perbedaan-perbedaan suku, teritori dan lainnya. Proses ini semakin mengental dan mencapai puncaknya pada proklamasi 1945. Proklamasi 1945 esensinya adalah deklarasi suatu daerah-daerah yang berbeda, suku yang berbeda, bahasa yang berbeda menyatu dalam suatu yang namanya “bangsa Indonesia”. Proklamasi 1945 merupakan deklarasi baik itu terhadap dunia luar dan juga internal Nusantara bahwa telah lahir suatu entitas bangsa yang namanya Indonesia. Dan proses ini sebenarnya semakin mengental dan selesai ketika masa pemerintahan Soekarno. Gugatan terhadap entitas kebangsaan muncul di daerah-daerah yang melakukan pemberontakan, tetapi ini sebenarnya adalah konflik borjuasi yang ada di Indonesia (tentara yang berkolaborasi dengan kaum kanan ) bukan sejati dari rakyat.

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama