Sejarah Pembebasan Nasional Part 2 |
Permasalahan Kebangsaaan dan
Sosialisme di Indonesia, Sebuah Catatan Singkat
Indonesia mungkin merupakan
rumah tahanan rakyat terbesar di Asia Tenggara. Tentu saja, hal ini tidak hanya
dikarenakan oleh banyaknya penindasan dari Rezim Orde Baru terhadap kelas
pekerja dan kaum petani miskin namun juga dikarenakan penggunaan sebuah sistem
penindasan dan diskriminasi yang sistematik dalam penyusunan kelompok– kelompok
nasional. Motto rezim Orde Baru yakni Bhinneka Tunggal Ika dan Nasionalisme
Indonesia pada kenyataannya tidak berbeda dengan sentralisme dari Jawa Kuno dan
dalam upaya pendominasian terhadap kepulauan di luar Pulau Jawa. Hal ini akan
terlihat jika kita membandingkannya dengan adanya pengaliran besar–besaran
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi serta hasil pajak dari propinsi–
propinsi ke Oligarki Jakarta. Hal ini dapat menjawab pertanyaan tentang mengapa
selama ini pertumbuhan ekonomi (yang rata–rata 8% pertahun) sejak 20 tahun yang
lalu sebelum terjadinya krisis di Asia, tidak merubah satupun peningkatan
pembangunan dan secara menyolok masih terlihatnya pembangunan yang tidak merata
diantara propinsi– propinsi di Indonesia. Perbedaan Gross Domestic Product
(GDP) per kapita diantara propinsi yang kaya seperti Jakarta dan propinsi yang
termiskin seperti Nusa Tenggara Timur atau Timor Timur memiliki perbandingan 10
: 1.
Propinsi seperti Aceh di
Sumatra bagian Utara dengan pendapatan dari wilayah yang kaya akan sumber daya
alamnya (gas alam dan minyak) ternyata hanya memenuhi rekening penguasa
Oligarki Jakarta dan kapitalis asing seperti Mobil Oil. Demikian pula dengan
yang terjadi di Irian Jaya atau Papua Barat, tambang emas terbesar PT. Freeport
Indonesia dibawah kontrol Rio Tinto hanyalah memberikan kekayaan kepada militer
yang memberikan perlindungan terhadap perusahaan asing ini, Jakarta dan para
oligarki lokal. Sedangkan penduduk asli Papua hanya mendapatkan
keterbelakangan, limbah beracun dan penindasan– penindasan yang sadis.
Peristiwa revolusioner yang
mengantarkan kejatuhan Suharto di bulan Mei 1998 telah memberikan daya dorong
yang hebat bagi perjuangan kelas di Indonesia, namun juga memunculkan aspirasi
kemerdekaan pada kelompok– kelompok yang selama ini merasa tertindas. Hal ini
memicu timbulnya tragedi kekerasan dan peristiwa berdarah di Timor Timur dan
secara berlanjut dengan pemisahan dari Republik Indonesia. Yang lebih penting
lagi, turunya rezim otoriter Suharto tersebut, adalah munculnya aksi jutaan
massa demonstrasi yang kuat di Aceh dalam aksi melawan bentuk kekerasan oleh
militer selama ini dan dalam rangka mendukung diadakannya refrendum atas
kemerdekaan. Dan aksi ini dikuti dengan aksi yang sama di Jakarta oleh para
mahasiswa Aceh di Jakarta. Di Papua Barat gerakan kemerdekaan telah menghimpun
kekutan baru meskipun terus mendapat tekanan–tekanan dari militer.
Hal ini secara jelas
menunjukan kebusukan dari militer di bawah rezim Suharto, adanya kelemahan dan
perpecahan yang meluas dari kelas borjuis, serta adanya krisis ekonomi terus
menerus kapitalisme yang selama ini hanya mengisi pundi–pundi kekuatan
sentralisme yang pada akhirnya menggiring Indonesia kearah pembubaran
Indonesia.
Keberadaan Negara Kesatuan
Indonesia kini sedang mengalami tantangan dari seluruh penjuru nusantara.
Inilah hasil dari ketidakmampuan dan korupsi dari kelas borjuis Indonesia dalam
upaya melengkapi tugas– tugas dari revolusi borjuis. Tugas–tugas tersebut
seharusnya antara lain adalah melengkapi perjuangan anti kapitalisme;
pembangunan negara kebangsaan, pembangunan republik yang demokrasi dan
pemecahan permasalahan yang radikal terhadap persoalan tanah.
Bangunan negara kesatuan
Indonesia dan perkembangan selanjutnya kesadaran akan bangsa Indonesia
merupakan hasil dari wilayah kolonialisasi bangsa Belanda dan perjuangan
kemerdekaan dari penjajahan Belanda dan Jepang. Namun proses dari pembangunan
bangsa ini hanya terletak pada basis borjuis yang masih besar kekurangannya dan
berasal dari awal pemunculan dominasi suku Jawa dan adanya ambisi imperialis
regional yang dimunculkan oleh kelas borjuis– militer. Ilustrasi yang terbaik
dalam menerangkan kalimat tersebut adalah adanya “kembalinya” Papua Barat
setelah melalui referendum yang palsu di tahun 1969 dan adanya pendudukan
militer yang brutal terhadap Timor Timur di tahun 1975. Kebijaksanaan
“pemukiman kembali atau sering dikenal dengan transmigrasi” dari suku Jawa atau
Madura ke wilayah Sumatra Utara/Aceh, Kalimantan, Sulawesi, atau Timor secara
tidak langsung meneruskan politik “kolonisasi” yang diterapkan oleh penjajah
Belanda dan akibat dari praktek pemukiman kembali tersebut dapat kita
bandingkan dengan peristiwa berdarah di Yugoslavia yang kita sebut dengan
pembersihan etnis. Paling tidak imperialisme Belanda menggunakan beberapa kata
yang tepat untuk menggambarkan arti dari pemukiman kembali tersebut.
Kebijaksanaan transmigrasi telah meluaskan bibit–bibit yang menjadi racun
terhadap adanya perpecahan dan ketegangan antar etnis sebagaimana yang kita
saksikan di Kalimantan, dimana suku Madura disana berhadap– hadapan secara
langsung dengan suku asli Dayak.
Secara defacto terjadi
perang sipil antara Kristen dan Muslim di Maluku sungguh merupakan peringatan
yang serius akibat barbarisme dari kebusukan kapitalisme Indonesia.
Bermacamnya religi, etnik
dan bahasa membuat banyak wilayah di Indonesia mempunyai potensi untuk meledak
dalam situasi krisis perekonomian yang berlarut– larut dan juga dikarenakan
lemahnya organisasi kelas pekerja di Indonesia.
Melihat kondisi basis
borjuis yang ada, Republik Indonesia berpotensi menjadi Balkan baru yang
terletak di kawasan Asia Tenggara. Kita harus memahami bahwa hanya dengan
sebuah solusi sosialis yang akan dapat menghindari Indonesia dari kehancuran
seperti peristiwa yang sama dengan peristiwa yang menimpa Yugoslavia namun
dalam skala yang lebih luas lagi.
Sebagi Marxis kami
berpikiran bahwa hanya aliansi sepenuhnya dari kelas pekerja dengan petani
miskin yang dapat memecahkan persoalan bangsa yang sekarang sedang menghimpit.
Tidak ada solusi dari kaum nasionalis maupun borjuis yang mungkin dapat
memecahkan persoalan tersebut, namun hanya solusi dari kelas pekerja. Hanya
kelas pekerja dan organisasi– organisasinya, khususnya serikat buruh - serikat
buruh yang mengorganisir pekerja dari etnik–etnik, agama–agama, dan
bahasa–bahasa daerah yang berbeda sebagai satu kesatuan kelas sosial.
Proses industrialisasi
telah memulai adanya penggalangan kebersamaan rakyat dari perbedaan yang ada di
Indonesia dalam sebuah kelas sosial baru dan semangat yang baru dari kelas
sosial tersebut, kelas pekerja industri. Misalnya kedalam kesatuan
pabrik–pabrik di wilayah Jabotabek, pada kesatuan–kesatuan pekerja di pelabuhan
Tanjung Priok, kedalam perusahan pertambangan baik itu batubara di Kalimantan
atau pada ladang minyak di Sumatra sehingga akan mengurangi akan adanya
perbedaan etnis dan agama dan mengolah tempat yang baru yang lebih moderen
serta hanya ada kemungkinan identitas sosial yang lebih maju : membangun
konsensus kelas pekerja. Kesatuan kelas pekerja merupakan kubu terbaik melawan
perpecahan secara reaktif. Dan kesatuan kelas pekerja yang menjadi sebuah
organisasi lintas etnik dan lintas agama.
Kesadaran Nasional dari
rakyat di Aceh atau Papua Barat melawan penindasan dan diskriminasi hanya dapat
berhasil jika dipimpin dan didukung oleh organisasi-organisasi kelas pekerja di
seluruh Indonesia.
Oleh karena itu para marxis
dari lingkup Cahaya menentang segala bentuk penindasan terhadap bangsa, budaya,
bahasa dan agama. Kami menyerukan kepada kaum pekerja, pelajar dan mahasiswa,
kaum tani untuk membentuk sebuah upaya yang diperlukan untuk sebuah solusi
sosialis terhadap segala bentuk penindasan ini. Ini berarti bahwa kami kami menndukung
segala bentuk perlawanan melawan penindasan dan juga hak untuk menentukan nasib
bangsa sendiri bagi bangsa– bangsa yang tergabung di Republik Indonesia. Ini
termasuk hak untuk melakukan pemisahan. Meskipun demikian hal ini tidak berarti
bahwa kami menyokong adanya keharusan untuk melakukan pemisahan dan lalu
membentuk suatu negara sendiri. Kami berpikir bahwa mencerai–beraikan Indonesia
bukanlah suatu kemajuan. Dalam pandangan tersebut, kami mendukung adanya
keinginan bangsa Aceh untuk melakukan referendum namun kami tidak menganjurkan
kemerdekaan Aceh namun melakukan penggabungan, secara sukarela, kedalam bentuk
Negara Federasi Demokrasi dan Sosialis Indonesia.
Lebih penting lagi dukungan
kami bagi pengakhiran segala bentuk penindasan terhadap hak–hak bangsa tidak
berarti kami mendukung nasionalisme baik dalam metode–metode dan organisasi
(seperti GAM di Aceh dan OPM di Papua Barat) maupun dalam program (seperti
keinginan membentuk negara Republik Islam di Aceh). Kami mempertahankan sebuah
program kelas pekerja dari Sosialisme Internasional. Program ini melengkapi
sebuah kelas yang independen dari sayap kaum borjuis.
Kami mencela dan melakukan
perlawanan pula terhadap kaum borjuis dan para pemimpin yang reaksioner yang
mendominasi perbedaan gerakan–gerakan kebangsaan. Ketika para pemimpin borjuis
Aceh menginginkan pembagian hasil sumberdaya yang lebih daripada
wilayah–wilayah lain di Sumatra, mereka hanya memikirkan bagaimana cara
memenuhi kantong–kantong mereka sendiri dan bukannya untuk memikirkan kaum
petani dan pekerja; Ketika para pemimpin borjuis di Papua Barat menginginkan
kemerdekaan dari Jakarta, mereka hanya menginginkan bagaimana caranya
mengeksploitasi penduduk lokal dan sumberdaya alam yang begitu kaya tanpa
mendapat campur tangan dari pihak luar. Undang– undang yang baru dan otonomi
keuangan akan hanya memperkaya borjuis–borjuis lokal elemen–elemen dari
birokrasi negara. Yang miskin tetap akan miskin, Pemerintahan Gus Dur maupun
Megawati tidak mempunyai kemampuan untuk menjawab aspirasi dari masyarakat
luas. Kebijaksanaan pemerintah mengenai persoalan ini hanya untuk
menyeimbangkan antara negosiasi dengan konsesi yang palsu (seperti perubahan
nama Irian Jaya menjadi Papua Barat) serta penindasan militer. Tidak ada jalan
yang akan mejadi sebuah solusi. Kami menginginkan seluruh kelas pekerja dalam
aliansi dengan kaum petani miskin untuk mengambil pimpinan dalam perjuangan
melawan segala bentuk penindasan nasional dan mencela para pemimpin borjuis
nasionalis yang berlindung sebagai politisi yang mengekspoitasi perasaan massa.
Hal itulah yang menunjukan
mengapa tidak mungkin memisahkan perjuangan untuk emansipasi nasional dengan
perjuangan untuk emansipasi sosial.
Dengan adanya upaya melalui
sebuah pendekatan sosialis bagi permasalahan nasional di Indonesia atau di
tempat lain di penjuru dunia pada sekarang ini, menunjukan bahwa kami tidak
dapat memisahkan perjuangan demokratik dari perjuangan sosialis. Hal yang
sebaliknya malah dicoba pengupayaannya ini di Indonesia, dimana beberapa
golongan kiri malah ikut mempunyai andil dalam ilusi ini, yang pada akhirnya
hanya akan berakhir seperti golongan kiri yang hanya menjadi penutup bagi
pemimpin borjuis dari seluruh perlindungan, dan para pemimpin borjuis akan
selalu berkhianat dan menipu legitimasi nasional dan aspirasi nasional dari
suku-suku bangsa di Indonesia. Hal tersebutlah yang menunjukan mengapa kami
berjuang untuk pemimpin kelas pekerja yang revolusioner yang dapat membuat dan
mengakhiri seluruh bentuk-bentuk penindasan nasional dan sosial. Upaya ini
haruslah dimulai dengan pengambil alihan perusahaan–perusahaan besar, bank–bank
dan monopoli-monopoli, menjatuhkan kaum oligarki Indonesia dan
mentransformasikan masyakat sosialis.
·
Akhiri seluruh bentuk
penindasan dan diskriminasi terhadap bangsa, agama dan bahasa
·
Untuk sebuah Persatuan
antara kaum kelas pekerja dengan kaum petani miskin yang terlepas dari bentuk
kebangsaan dan keagamaan melawan penindasan nasional, militer dan kapitalisme.
·
Untuk Hak menentukan nasib
sendiri.
·
Untuk pembetukan Federasi
Demokrasi dan Sosial Indonesia, sebagai langkah awal dari pembentukan sebuah
federasi sosialis Asia Tenggara dan sebuah Federasi Sosialis Dunia.
Lenin dan Permasalahan Nasional
Kaum marxis beroposisi
terhadap seluruh bentuk penindasan bangsa, bahasa dan rasial dan kami akan
berjuang melawan seluruh bentuk penindasan atas bangsa. Namun Lenin tidak
pernah mengatakan bahwa kum Marxis harus mendukung kaum borjuis nasional atau
kaum borjuis nasionalis yang picik. Namun sebaliknya, posisi fundamental dari dasar
pemikiran Lenin mengenai permasalahan Nasional adalah mutlak untuk independensi
kelas. Sementara memerangi bentuk kekejaman tehadap seluruh bentuk penindasan
nasional, prinsip awal dari Leninisme selalu berawal dari adanya kebutuhan
untuk berjuang melawan kaum borjuis - baik borjuis dalam bentuk penindas
ataupun dalam bentuk bangsa–bangsa penindas. Ini bukanlah suatu kesalahan.
Keseluruhan dari pemikiran adalah kelas pekerja harus mengupayakan sendiri
kepemimpinan nasional dalam memimpin massa bagi transformasi revolusioner
masyarakat. Sebagaimana yang diterangkan Lenin :
“Kaum Nasionalisme borjuis dan Internasionalisme proletar - bagaimanapun merupakan dua buah ungkapan–ungkapan permusuhan yang tak terdamaikan (dan) yang tidak dapat disamakan dengan dua basis kelas besar diseluruh kapitalis dunia dan menunjukan dua kebijaksanaan (namun lebih dari itu yakni dua buah pandangan dunia) dalam permasalahan nasional.”
Pada tulisannya yang lain Lenin menulis :
“Kepentingan dari kelas pekerja dan dari perjuangannya melawan
keinginan kapitalisme melengkapi solidaritas dan kesatuan yang erat dari
pekerja dari seluruh bangsa; mereka menginginkan adanya perlawanan terhadap
kebijaksanaan nasionalis kaum borjuis dari setiap bangsa.”
Dalam sebuah pemikiran yang
brilian, jalan dialektika, Lenin memposisikan bahwa hak dari setiap bangsa
utntuk menentukan nasibnya sendiri tidak berarti terpisah dari Rusia dari
penindasan rakyat oleh Kekaisaran Tsar, namun sebaliknya membawa mereka
bersama–sama kedalam sebuah perjuangan perlawanan yang revolusioner melawan
landlord –isme dan kapitalisme. Sepanjang kaum proletar perhatikan, ada hal
mutlak yang tidak dipermasalakan oleh organisasi–organisasi pekerja yang
mengenai garis–garis nasional.
Bagi
Lenin, hak untuk menentukan nasib sendiri tidak berarti bahwa kaum pekerja
“bertugas membawa suara untuk melakukan hal–hal yang separatis” namun
semata–mata untuk beroposisi terhadap segala bentuk penindasan nasional dan
untuk menentang pemaksaan hak pemakaian tetap dari beberapa bangsa dengan batas
dari negara lainnya - hal tersebut, untuk membiarkan rakyat memutuskan
membebaskan persoalan. Yang merupakan bagian dari hak demokratik, yang oleh
kaum Bolshevik pertahankan. Namun kemudian secara tetap, hak tersebut tidak
pernah betul– betul diperhitungkan sebagai sesuatu yang mutlak, namun selalu
mengebelakangkan kepentingan dari perjuangan kelas dan revolusi dunia.
Permasalahan Kebangsaan Kebijaksanan Lenin bukan dalam bentuk melakukan
tindakan separatis, namun sebuah bentuk penyatuan secara sukarela. Program kaum
Bolshevik mengenai permasalahn nasional memppunyai maksud sebagai sebuah
persatuan kaum pekerja dan tani dari selurus bangsa–bangsa di ke–Tsar–an Rusia
untuk berevolusi menggulingkan Tsarisme. Ketika para pekerja Rusia telah
mengambil alih kekuasaan, mereka menawarkan hak untuk menentukan nasib sendiri
kepada bangsa–bangsa yang pada mulanya tertindas, dan mayoritas terbesar rakyat
memutuskan untuk tetap bersama dan berpartisipasi secara sukarela dalam
Federasi Rusia. [2001]
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.