Sejarah Perkembangan Kapitalisme di Indonesia Part 3 |
Orde
Baru
Orde
Baru membawa sebuah eksploitasi yang semakin parah. Dalam waktu 10 tahun, dari
tahun 1971 hingga 1981, total nilai ekspor meloncat dari US$ 1,2 milyar hingga
US$ 25,2 milyar, sebuah loncatan tinggi sebesar 2100% dalam 10 tahun.[35]
Minyak
dan gas bumi secara konsisten mencakup lebih dari 50 persen total nilai ekspor
hingga tahun 1987, dengan Jepang sebagai tujuan ekspor utama.[36]
Sekitar 80% dari ekspor minyak dan gas bumi menuju Jepang dan Amerika Serikat.[37]
Periode dari tahun 1971 sampai 1987 sering disebut sebagai periode migas.
Jepang
adalah tujuan ekspor utama dari produk-produk Indonesia, terutama dari awal
1970an hingga akhir 1980an, dimana ekspor ke Jepang adalah sebesar 40 hingga
50%. Level ekspor ke AS menyusul Jepang, dengan total gabungan ekspor ke Jepang
dan AS sebesar 60 hingga 70% dari tahn 1971 sampai 1987.[38]
Konsentrasi ekspor ke AS dan Jepang ini mulai pada akhir tahun 1960an, yang bersamaan
dengan penghancuran rejim Soekarno dan kekuatan PKI pada tahun 1965-66. Ini
sejalan dengan kebijakan luar negeri AS untuk menempatkan Indonesia di dalam
lingkup ekonomi Jepang.
Dominasi
ekspor minyak mulai menurun setelah memuncak pada tahun 1981. Dari paruh kedua
tahun 1980am, ekspor minyak jatuh ke satu level yang hanya 1/3 dari level 1981.
Penurunan ini disebabkan terutama oleh anjloknya harga minyak dunia pada tahun
80an, atau yang disebut dengan krisis minyak 1980, di mana harga minyak jatuh dari
puncaknya $35 per barrel pada tahun 1980 ke di bahwa $10 tahun 1986.
Menyusul
penurunan tajam pada tahun 1980an, ekspor minyak stagnan pada tahun 90an. Porsi
eskpor migas jatuh menjadi 20% pada akhir 1990an. Minyak perlahan-lahan
kehilangan posisinya sebagai komoditas ekspor utama. Menggantikan tempatnya,
kita melihat peningkatan hebat dalam ekspor kayu lapis pada awal 1990an, dalam
ekspor tekstil dan garmen pada pertengahan 1990an, dan dalam ekspor
produk-produk elektronik pada paruh kedua 1990an.[39]
Indonesia jelas menggantikan ekspor bahan mentahnya dengan ekspor produk-produk
industrial.
Tujuan
ekspor juga berubah pada akhir 1990an, dimana perdagangan produk-produk
industrial dengan negara-negara Asia Timur (Korea, Taiwan, dan Tiongkok) selain
Jepang dan negara-negara ASEAN menjadi fundamental di dalam perdagangan luar
negeri Indonesia. Tren ekonomi ekspor Indonesia dari paruh kedua abad ke-19
sampai abad ke-20 dapat diringkas dengan skema berikut ini:
Periode
|
Komoditas Ekspor Kunci
|
Daerah Produksi Utama
|
Tujuan Ekspor Utama
|
Sampai 1870
|
Kopi
|
Jawa
|
Belanda
|
Sampai 1920an
|
Gula
|
Jawa
|
Asia Selatan dan Timur
|
Sampai pertengahan 1960an
|
Karet
|
Pulau-pulau luar Jawa (terutama Sumatra)
|
AS
|
Sampai pertengahan 1980an
|
Minyak
|
Pulau-pulau luar Jawa (terutama Sumatra)
|
Jepang
|
Sampai akhir abad ke-20
|
Produk manufakur
|
Jawa
|
Asia Timur dan ASEAN
|
Selama
era karet pada tahun 1930an dan era minyak 1960an, produksi ekspor
terkonsentrasi di pulau luar Jawa. Namun, pada akhir 1980an, ada peningkatan
ekspor dari Jawa, yang memiliki tenaga kerja besar dan kapasitas untuk
memproduksi barang-barang industrial untuk ekspor.
Pertumbuhan
Kelas Pekerja di Indonesia
Indonesia
mengalami pergeseran komoditas ekspor kunci dari pertanian dan pertambangan ke
berbagai macam barang manufaktur. Pada akhir tahun 1980an, manufaktur sendirian
telah berkontribusi hampir 30% dari total pertumubuhan PDB, dibandingkan 10%
kontribusi pada pertumbuhan pada akhir 1960an.[40]
Selama periode 1986-1993, pertumbuhan lapangan pekerjaan di manufaktur skala
besar dan menengah meningkat 9% per tahun.[41]
Selama periode yang sama, pekerjaan di sektor pertanian mengalami penurunan.
Jutaan orang pindah dari pedesaan ke perkotaan. Lapisan proletariat baru ini,
yang terlempar dalam jumlah ribuan ke pabrik-pabrik, adalah salah satu kekuatan
yang menggoncang rejim Soeharto. Jumlah pemogokan yang tercatat pada tahun
1990an meningkat pesat, dari 61 pada tahun 1990 ke 300 pada tahun 1994.
Proporsi besar dari pemogokan ini terjadi di manufaktur, terutaman di industri
tekstil, garmen, dan sepatu yang bergaji rendah.[42]
Tabel
6. PDB Non-migas dan Lapangan Kerja menurut Sektor, 1976-2007 (persen dari
total)[43]
PDB non-migas (%)
|
Lapangan Kerja (%)
|
|||||||
1976
|
1986
|
1997
|
2007
|
1976
|
1986
|
1997
|
2007
|
|
Pertanian
|
36,8
|
26,7
|
16,4
|
14,9
|
61,6
|
55,1
|
41,2
|
41,2
|
Sektor-sektor Lain
|
63,2
|
73,3
|
83,4
|
85,1
|
38,4
|
44,9
|
58,8
|
58,8
|
Manufaktur
|
10,6
|
17,8
|
28,4
|
26,9
|
8,4
|
8,2
|
12,9
|
12,4
|
Pertambangan
|
1,3
|
1,8
|
3,3
|
4,2
|
0,2
|
0,6
|
1,0
|
1,0
|
Listrik, Gas, dan Air Bersih
|
0,3
|
0,3
|
0,5
|
0,7
|
0,1
|
0,2
|
0,2
|
0,2
|
Konstruksi
|
5,9
|
6,3
|
8,5
|
6,7
|
1,7
|
2,7
|
4,8
|
5,3
|
Perdagangan, Hotel
|
21,5
|
19,7
|
19,2
|
18,6
|
14,4
|
14,3
|
19,8
|
20,6
|
Transportasi, Komunikasi
|
3,6
|
5,0
|
8,7
|
10,1
|
2,7
|
3,0
|
4,8
|
6,0
|
Keuangan
|
3,3
|
7,0
|
8,7
|
10,1
|
0,2
|
0,5
|
0,8
|
1,4
|
Pemerintah
|
6,7
|
8,6
|
5,6
|
4,4
|
3,4
|
4,6
|
4,7
|
3,7
|
Jasa lain
|
10,0
|
6,9
|
4,0
|
5,6
|
7,3
|
10,0
|
9,8
|
8,3
|
Dalam
periode 21 tahun antara tahun 1976 hingga 1997, PDB non-migas tumbuh rata-rata
7,5% per tahun. PDB pertanian perlahan-lahan menurun dari 36,8% tahun 1976
hingga 16,4% pada tahun 1997, sedangkan PDB manufaktur meningkat dari 10,6%
hingga 28,4%. Porsi lapangan kerja dari sektor pertanian juga mengalami
penurunan perlahan-lahan dari 61,6% pada tahun 1976 ke 41,2% pada tahun 1997,
sedangkan di sektor manufaktur ini meningkat dari 8,4% ke 12,9% dalam jangka
waktu yang sama. Disini kita lihat bagaimana pekerja manufaktur menjadi semakin
penting di Indonesia, dalam hal jumlah dan juga kontribusinya ke PBD per
kepala. Pada tahun 2007, walaupun hanya mencakup 12,4% lapangan kerja, buruh
manufaktur berkontribusi ke PBD sebesar 26,9%, sedangkan sektor pertanian
dengan 41,2% lapangan kerja hanya berkontribusi 14,9% PBD.
Status
pekerjaan di Indonesia yang paling dominan adalah pekerja berusaha-sendiri yang
mencakup 41% dari total pada tahun 2007. Pekerja berusaha-sendiri bekerja
sendirian atau dengan bantuan dari anggota keluarga yang tidak dibayar. Oleh
karena itu, pada kenyataannya kedua kategori ini saling bertautan, menciptakan satu
sektor informal yang berjumlah total sekitar 60-70%, atau sekitar 60-70 juta
rakyat yang terpaksa menciptakan lapangan kerja mereka sendiri karena tidak ada
pekerjaan yang tersedia.
Tabel
5. Tren dalam status pekerjaan, 1986-2007 (% dari total lapangan pekerjaan)[44]
Status
|
1986
|
1996
|
2003
|
2007
|
Berusaha sendiri
|
45,9
|
46,9
|
42,6
|
41,3
|
Pekerja keluarga/tidak dibayar
|
27,1
|
17,5
|
19,5
|
17,3
|
Total pekerja non-upahan
|
73,0
|
64,4
|
62,1
|
58,6
|
Pekerja upahan reguler
|
19,7
|
27,5
|
26,2
|
28,1
|
Pekerja upahan kasual
|
6,7
|
6,7
|
8,6
|
10,4
|
Total pekerja upahan
|
26,4
|
34,2
|
34,8
|
38,5
|
Bos/Majikan
|
0,7
|
1,4
|
3,0
|
2,9
|
Secara
umum kita melihat peningkatan jumlah pekerja upahan, reguler atau kasual, dari
total 26,4% pada tahun 1986 ke 38,5% pada tahun 2007, dan menurunnya jumlah
pekerja sektor informal (pekerja berusaha sendiri dan pekerja keluarga/tidak
dibayar) dari 73% ke 58,6%. Setelah krisis 1997, ada penurunan sedikit dalam
pekerja upahan reguler ke 26% pada tahun 2003, tetapi lalu ini kembali ke level
pra-krisis pada tahun 2005 dan meningkat ke 28% pada tahun 2007. Kita dapat
melihat bahwa penurunan ini diserap oleh pekerja keluarga/tidak dibayar, dimana
buruh yang dipecat bergantung pada keluarga mereka untuk pekerjaan dan sebagai
gantinya diberikan ongkos hidup. Pekerja upahan reguler lebih umum dalam
manufaktur dan pelayanan jasa. Lebih dari 40% buruh di sektor non-pertanian
adalah pekerja reguler, dibandingkan dengan hanya 6% di pertanian. Kita juga
menyaksikan sebuah pergeseran ke lebih banyak pekerja upahan reguler di sektor
pertanian, dimana pada tahun 1986 hanya 0,3% dari pekerja pertanian adalah
pekerja upahan, pada tahun 2007 ini menjadi 5,8%.[45]
Kaum proletariat di Indonesia jelas sedang meningkat jumlahnya dan juga posisi
ekonominya dalam sistem kapitalis.
Industrialisasi
dan pertumbuhan kelas pekerja yang pesat juga telah menarik sejumlah besar kaum
perempuan ke dalam barisannya. Walaupun perempuan-perempuan muda ini
dieksploitasi secara brutal dan dipaksa pindah dari desa ke pabrik-pabrik,
pekerjaan dan perjuangan mereka telah mengubah kehidupan, status sosial, dan
kepercayaan diri dari kaum perempuan Indonesia yang dulunya dikenal penurut.
Mereka bukan korban eksploitasi dan ketidakadilan yang pasif. Namun mereka
telah menjadi agen perubahan sosial yang aktif, dan sering kali mereka lebih
vokal dari rekan laki-laki mereka. Tidak sedikit dari mereka yang telah menjadi
pemimpin buruh dan perjuangan.
Lapisan
pekerja lainnya yang cukup penting adalah buruh migran Indonesia. Pada tahun
2008, jumlah buruh migran Indonesia adalah sekitar 5,8 juta, jumlah ini setara
dengan setengah jumlah buruh di sektor manufaktur medium dan besar.[46]
Mayoritas dari mereka adalah perempuan dan bekerja di sektor informal sebagai
pembantu rumah tangga. Sisanya bekerja di sektor pertanian dan industri sebagai
buruh harian. Buruh-buruh ini adalah sumber valuta asing yang penting,
menghasilkan sebesar US$ 5 milyar pada tahun 2006[47],
yakni dua kali nilai ekspor pertanian. Walaupun banyak dari mereka teratomisasi
karena watak dari pekerjaan mereka, mereka telah mampu membentuk
serikat-serikat buruh untuk berjuang demi hak-hak mereka.
Krisis
1997/1998 dan Reformasi
Tujuh
tahun sebelum krisis ekonomi 1997, ada influks kapital yang besar ke dalam
sektor swasta, dari US$ 314 juta pada tahun 1989 ke US$ 11,5 milyar pada tahun
1996, sebuah peningkatan 3500%.[48]
Kapital swasta yang besar ini, kebanyakan darinya adalah kapital jangka pendek
yang diinvestasikan ke sektor real-estate, menciptakan ekonomi gelembung yang
meledak pada saat krisis finansial Asia 1997. Krisis sangat parah. Dari
pertumbuhan pertahun rata-rata 7%, PDB riil berkontraksi hampir 14% pada tahun
1998. Rupiah anjlok dari Rp. 2.450 ke Rp. 14.900 terhadap dolar AS antara bulan
Juni 1997 dan Juni 1998. Pemerintahan kapitalis, dengan bantuan dari
reformis-reformis tulen, cepat membail-out bank-bank dan
perusahaan-perusahaan finansial yang berjatuhan. Sebagai akibatnya, hutang
publik pemeringah naik dari nol sebelum krisis menjadi US$ 72 milyar, sebuah
jumlah besar yang harus dibayar oleh rakyat pekerja.
Investasi
Asing Langsung (FDI) juga jatuh dengan tajam. MFDI sebesar US$ 5,6 milyar pada
tahun 1996 berubah menjadi keluarnya FI sebesar US$ 4,6 milyar pada tahun 2000.
Kapital swasta asing terus meninggalkan negeri sampai tahun 2004 dimana ini
berdiri pada negatif US$ 1,5 milyar. FDI mulai masuk kembali pada tahun 2005,
dan pada tahun 2006 ini berjumlah US$ 4,1 milyar.[49]
Setelah
krisis, pertumbuhan tetap rendah dengan PDB riil tumbuh tidak lebih dari 5%
pertahun selama 1997-2004, dan sekitar 5,5% pada tahun 2005-2006, dan 6,3% pada
tahun 2007.
Figur
1. Pertumbuhan PDB di Indonesia[50]
Krisis
ekonomi ini adalah jerami yang mematahkan punggung unta. 32 tahun pembangunan
terurai secara eksplosif. Harga kebutuhan sehari-hari meroket. Supresi
demokrasi menjadi semakin tidak tertahankan, dengan inside 27 Juli 1997 –
penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia – menjadi titik balik. PDI dan Megawati
menjadi titik persatuan untuk perjuangan demokrasi.
Rejim
Soeharto ditumbangkan oleh massa. 32 tahun kediktaturan diremukkan dalam satu
malam ketika jutaan rakyat turun ke jalan dan memaksa Soeharto untuk mundur.
Namun, Reformasi membawa apa yang ditakdirkannya: reforma kosmetik dan bukan
perubahan fundamental. Reforma di periode krisis ekonomi hanya dapat berarti
konter-reforma, dan ini yang terjadi. Perusahaan-perusahaan milik negara
diprivatisasi dan subsidi dihapus; agenda neo-liberal diimplementasikan dengan
ganas. Reformasi memang memberikan ruang demokrasi, dan ini kendati para
reformis. Namun, Reformasi juga membawa lebih banyak kebebasan kepada kaum
kapitalis untuk mengeksploitasi massa.
Setelah
12 tahun, menjadi jelas bagi siapapun bahwa Reformasi gagal membawa perubahan
fundamental ke dalam masyarakat. Walaupun Reformasi menghantarkan satu pukulan
besar ke rejim kapitalis, memaksa Soeharto untuk mundur dan membuka ruang
demokrasi – kendati ini adalah ruang demokrasi borjuis -, ia gagal menyelesaikan
problem fundamental yang dihadapi oleh jutaan buruh, tani, nelayan, kaum muda,
dan kaum miskin kota. Kemiskinan masih tinggi. Persentasi populasi yang hidup
dengan 1 dolar per hari (kemiskinan ekstrim) pada tahun 1996 – puncak boom
ekonomi Indonesia – adalah 7,8%, pada tahun 2006 angka ini menjadi 8,5%. Namun
bila kita ambil garis kemiskinan 2-dolar-perhari, maka kemiskinan pada tahun
2006 melonjak ke 53%.[51]
Ini berarti bahwa lebih dari setengah rakyat Indonesia hidup jauh di bawah PBD
per kapita $3900 (angka tahun 2008). 10% penduduk termiskin hanya mengkonsumsi
3% kekayaan, sedangkan 10% penduduk terkaya mengkonsumsi 32,3%.[52]
Kegagalan
Reformasi sangatlah mencolok sehingga bahkan massa rakyat mulai mengidamkan
“masa lalu yang baik” di bawah Soeharto ketika kemiskinan lebih tertanggungkan
dan ada semacam kestabilan. Di bawah kedok demokrasi, tingkat eksploitasi
sebenarnya justru meningkat. Ini adalah logis, karena bagi kelas penguasa
demokrasi berarti kebebasan untuk menindas. Sebagai konsekuensinya, agenda
neo-liberal telah diimplementasikan lebih ganas dalam tahun-tahun belakangan.
Banyak perusahaan dan properti negara yang sedang diprivatisasi. Subsidi negara
dihapus. Tidak heran kalau rakyat letih akan situasi sekarang ini dan skeptis
akan apa yang telah dibawa oleh Reformasi 1998.
Resesi
Dunia 2008/2009
Indonesia
tidak dapat lari dari pengaruh resesi dunia yang dipicu oleh krisis kredit
perumahan di AS (Untuk analisa yang lebih dalam mengenai resesi dunia, baca
Dokumen Perspektif Dunia 2010). Di Indonesia, ekonomi pada tiga kuartal pertama
tahun 2008 dipenuhi dengan optimisme dan tumbuh di atas 6%, dan ketika resesi
menghantam, berkontraksi ke 5,2% pada kuartal keempat. Hampir seperti krisis
1997, Rupiah mengalami 30% depresiasi terhadap dolar AS dalam dua bulan Oktober
dan November 2008. Pasar saham kehilangan hampir setengah nilainya antara
Januari 2008 (2627,3) dan Desember 2008 (1355,4)
Namun,
Indonesia pulih dengan cepat dari resesi ini. Di paruh pertama tahun 2009, PBD
Indonesia tumbuh 4,2%, terbesar di Asia Tenggara sementara negara-negara lain
di wilayah yang sama mengalami penurunan PBD, Singapura -3,5%, Thailand -4,9%,
dan Malaysia -5,1%. Pada tahun 2009, Indonesia mempos pertumbuhan PDB sebesar
4,5%, dengan pertumbuhan kuartal keempat yang impresif sebesar 5,4%. Selain
itu, pada paruh pertama 2009, Bursa Efek Jakarta rebound dengan cepat,
ketiga tercepat setelah Shanghai dan Mumbai. Pada akhir 2009, BEJ telah kembali
ke nilai sebelum krisis.
Ekonomi
Indonesia tidak terpukul oleh resesi separah negara-negara Asia Tenggara
lainnya karena di dekade terakhir pertumbuhannya telah berdasarkan pada
konsumsi domestik, dan bukannya perdagangan ekspor.
Figur 2.
Konsumsi Domestik di Indonesia[53]
Faktor
lainnya adalah bahwa nilai ekspor Indonesia hanyalah sekitar 25% dari PDB,
sedangkan banyak negeri di Asia memiliki rasio ekspor terhadap PDB yang jauh
lebih tingga. Dengan menurunnya pertumbuhan volume perdagangan global dari 8,1%
pada 5 tahun terakhir sebelum krisis menjadi 4,1% pada tahun 2008 dan -12,2%
pada tahun 2009, negeri-negeri yang bergantung pada ekspor terhantam segera dan
lebih parah.
Figur 3.
Bagian Ekspor dan Pertumbuhan PDB – Asia Timur Berkembang[54]
Eksposure
yang terbatas terhadap krisis kredit perumahan AS juga melindungi sistem perbankan
Asia dari shok awal krisis finansial ini. Dari total US$ 1,5 trilyun default
kredit dan kerugian kredit yang tercatat di seluruh dunia semenjak Juli 2007,
hanya US$ 39 milyar, atau sekitar 2,7%, datang dari institusi finansial Asia –
kebanyakan datang dari Jepang dan Tiongkok.[55]
Selain itu,
paket stimulus pemerintah yang berjumlah US$ 7,1 milyar (Rp. 73,3 trilyun) pada
tahun 2009 juga telah mendorong konsumsi domestik. Pemerintah Indonesia akan
melanjutkan paket stimulus sebesar Rp. 38,3 trilyun untuk tahun 2010.
Kesuksesan
ini telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memproyeksikan pertumbuhan yang
sangat optimis untuk lima tahun ke depan. Pada akhir Summit Nasional bulan
Oktober 2009 yang dihadiri lebih dari 1300 pejabat dari pemerintah, kamar
dagang asing, asosiasi pemilik modal, dsb., Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan
rata-rata ekonomi: 5,5-5,6 persen tahun 2010, 6,0-6,3 persen 2011, 6,4-6,9
persen 2012, 6,7-7,4 persen 2013, dan 7 persen 2014.
Namun ini
bukan berarti bahwa buruh Indonesia selamat dari krisis. Pada bulan Februari
2009, Rizal Ramli dari think tank swasta Econit mengatakan bahwa dia
mengestimasikan perusahaan-perusahaan telah memotong 800 ribu pekerjaan
semenjak tahun lalu.[56] Kebanyakan
pemecatan ini tercatat di industri manufaktur: tekstil, garmen, otomotif,
sepatu, dan kertas. Hingga akhir tahun 2008, sekitar 250 ribu buruh migran
telah dikirim pulang oleh majikan mereka.[57]
Kenyataan
bahwa Indonesia pulih dengan cepat dari krisis ini bukanlah alasan untuk
perayaan bagi kaum buruh dan tani. Brazil, Indonesia, India, Cina, dan Afrika
Selatan (yang dinamai BIICS) dijunjung sebagai negara-negara yang mendorong
pertumbuhan ekonomi dunia sementara seluruh dunia lainnya anjlok. Laporan
terbaru dari OECD berjudul Going for Growth 2010 memberikan sebuah
“nasihat” kepada pemerintah Indonesia untuk menghapus subsidi bahan bakar
minyak. Pier Carlo Padoan, Deputi Sekjen dan Ekonom utama OECD, mengatakan
bahwa penghentian subsidi BBM adalah salah satu kebijakan yang harus diambil
oleh Indonesia: “India dan Indonesia masing-masing menghabiskan 10% dan 20% dari
belanja pemerintah untuk subsidi, sebagian besar untuk subsidi energi. Bila
harga BBM tetap rendah, tidak hanya pemborosan konsumsi yang terjadi tapi juga
dapat berdampak buruk ke lingkungan.”[58] Ini adalah
persiapan untuk pemotongan besar dalam pengeluaran publik yang dibutuhkan untuk
menyeimbangkan defisit yang diciptakan untuk membail-out bank-bank dan
perusahaan-perusahaan yang berjatuhan pada saat resesi ekonomi.
Selain itu,
pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan UU 39/2009 yang mempromosikan
pembentukan Zona Ekonomi Khusus untuk mendorong industri dengan melonggarkan
aturan-aturan perburuhan dan lingkungan hidup, dan menyediakan subsidi untuk
perusahaan-perusahaan, semua atas nama meningkatkan kompetisi di Indonesia.
Semenjak diberlakukannya UU tersebut, 48 daerah telah mendaftar untuk ZEK ini.
Pemerintah berencana untuk membangun lima ZEK di seluruh Indonesia hingga tahun
2012.[59]
Pada tanggal
1 Januari 2010, Indonesia, dengan sembilan negara ASEAN lainnya, meratifikasi
ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dimana ini akan mengurangi tarif lebih dari
7500 kategori produk, atau sekitar 90% dari barang impor, hingga nol. ACFTA
adalah area perdagangan bebas terbesar dalam hal populasi, dengan sekitar 1,9
milyar penduduk, dan ketiga terbesar dalam hal PDB nominal. Menyusul ACFTA
adalah ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yang diharapkan akan jalan di
Indonesia pada tanggal 1 Juni 2010, dan Indonesia akan berkomitmen mengurangi
tarif impor sebesar 42,5%.
Kedua
perjanjian perdagangan bebas ini akan membanjiri pasar Indonesia dengan
barang-barang murah dari Tiongkok dan India, menghancurkan industri manufaktur
dan pertanian Indonesia, dan menciptakan perlombaan ke bawah yang lebih parah
tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh wilayah ASEAN-Cina-India.
Perjanjian perdagangan bebas ini akan menyakiti kaum buruh dan tani dari
seluruh wilayah ini. Namun solusinya bukanlah lebih banyak proteksionisme,
karena perdagangan bebas dan proteksionisme di bawah kapitalisme adalah dua
sisi dari koin yang sama. Kenyataannya, proteksionisme membawa kebijakan konter
yang serupa dari negara-negara lain, menyebabkan kontraksi tajam bagi
perdagangan dunia dan sebagai akibatnya sebuah kemerosotan global. Untuk
negara-negara kurang berkembang seperti Indonesia, kebijakan proteksionis dari
negara-negara kapitalis besar akan membuatnya kehilangan pasar ekspor dan
menghancurkan industri di dalam negeri, dan mendorong jutaan buruh dan tani ke
pengangguran.
Menilik dari
situasi ekonomi global, yakni pemulihan ekonomi tanpa penciptaan lapangan
kerja, proyeksi optimis dari pemerintahan SBY berdiri di atas pondasi yang
rapuh. Walaupun secara formal resesi telah berakhir, efek dari resesi ini akan
berkepanjangan dan pemulihan ekonomi tidak akan mulus. Pertama, resesi besar
ini diatasi oleh negeri-negeri maju dengan menyuntik sebanyak US$ 11 trilyun,
atau 1/5 output global, guna menyelamatkan ekonomi. Menurut IMF, hutang publik
bruto dari sepuluh negeri terkaya akan menjadi 106% dari PDB. Angka ini adalah
78% pada tahun 2007. Defisit besar ini harus dibayar dengan memotong
pengeluaran publik, yang akan berarti sebuah penurunan dalam konsumsi domestik
di kebanyakan negeri-negeri kapitalis maju dalam tahun-tahun ke depan. Terlebih
lagi, krisis overproduksi di negeri-negeri kapitalis maju adalah parah, dengan
kapasitas produksi 30% lebih besar daripada kemampuan membeli konsumen. Ini
berarti bahwa pemulihan ekonomi di negeri-negeri maju akan berlangsung tanpa
penciptaan lapangan kerja. Selain mengurangi permintaan impor dari
negeri-negeri Asia, ini juga akan mengurangi investasi asing. Hampir 50%
investasi untuk perusahaan-perusahaan non-finansial di Indonesia datang dari
kapital asing. Sebagai akibatnya, kita telah mulai menyaksikan banyak
rencana-rencana investasi di Indonesia yang telah ditunda dan dibatalkan.
Dengan penurunan investasi dan permintaan asing, kita akan melihat penurunan di
dalam level produksi di Indonesia dan peningkatan tingkat pengangguran.
Era Baru
Krisis
finansial 2008/2009 adalah krisis yang terbesar semenjak Depresi Hebat 1929.
Secara ekonomi, sosial, dan politik, krisis ini akan meninggalkan sebuah bekas
di dalam sejarah kapitalisme. Dunia tidak akan pernah sama lagi. Indonesia,
yang terikat erat dengan kapitalisme global, tidak dapat lari dari krisis ini.
Kapitalis seluruh dunia berjuang untuk mengatasi kontradiksi dari sistem
mereka. Mereka akan memindahkan beban krisis ini ke pundak milyaran buruh dan
tani.
Lebih dari
150 tahun yang lalu, Marx dan Engels menulis di Manifesto Komunis: “Dan
bagaimanakah borjuasi mengatasi krisis-krisis ini? Pada satu pihak, dengan
memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak
lain, dengan merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama
dengan cara yang lebih sempurna. Itu artinya, dengan membukakan jalan untuk
krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi cara-cara
yang dapat mencegah krisis-krisis itu.”
Inilah yang
sedang dilakukan oleh kaum kapitalis seluruh dunia. Pabrik-pabrik sedang
ditutup dengan jutaan buruh dipecat (“memaksakan penghancurah sejumlah besar
tenaga-tenaga produktif”) dan mereka yang masih beruntung memiliki pekerjaan
mereka sedang dipaksa bekerja lebih keras dan lebih lama dengan bayaran yang
lebih rendah. Ada kemerosotan dalam permintaan dunia dan kapitalis
seluruh dunia dipaksa untuk membuka lebih banyak pasar baru dan membesarkan
yang lama (“merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan
cara yang lebih sempurna”) melalui perjanjian-perjanjian perdagangan bebas dan
segala macam skema ekonomi. Namun, kapital telah merasuk ke semua sudut dunia
dan tidak ada lagi pasar yang baru yang bisa direbut. Dalam 50 tahun terakhir,
kapitalisme telah berhasil menghindari krisis besar dengan membuka pasar-pasar
baru (terutama di Cina, India, dan Rusia). Sebagai konsekuennya, ini telah
“membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan
mengurangi cara-cara yang dapat mencegah krisis-krisis itu.” Dan memang benar,
sebuah krisis yang lebih besar sedang menanti kelas penguasa.
Montreal, 6 Juli 2010
Sprague, Ted
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.