emperankampus.blogspot.com |
Regulasi tersebut, bisa dipastikan banyak mahasiswa yang tidak
mengatahuinya, selain karena kecondongan otritarian rektorat, dan tidak adanya
ruang diskusi sebelum regulasi disahkan dan dijalankan mahasiswa, tetapi juga
beririsan dengan kecakapan gerakan mahasiswa dalam menyikapi setiap isu-isu
yang tengah terjadi dikampus, terkhusus STAIN Parepare. Gerakan mahasiswa yang
mandul itulah yang menghadirkan berbagaimacam persoalan yang dihadapi mahasiswa
secara keseluruhan.
Subyektifku sudah memastikan bahwa indikasi penyempitan ruang
demokrasi kampus STAIN Parepare benar adanya ! mulai dari pelarangan
berorganisasi yang disampaikan (secara Implisit) oleh ketua STAIN di pertemuan
orang tua / wali saat penerimaan mahasiswa baru kemarin, dan pemangkasan jam
berkegiatan malam hari. Nah dengan adanya pembatasan bagi Ormawa untuk
melaksanakan kegiatan malam diatas 21:30, membuat keleluasan semakin menyempit.
Padahal pada dasarnya organisasi mahasiswa tidak bisa di batasi dalam hal
berkegiatan dan berketerampilan. Keleluasan yang menyempit itu terbukti dari
kegiatan LKPKM yang baru-baru ini diselenggarakan oleh pihak DEMA (Dewan
Mahasiswa) yang melanggar regulasi anti demokrasi kampus tersebut. Dari pelanggaran
(menurut birokrasi kampus) itu, berimbas pada organisasi kemahasiswaan yang
lain dengan penahanan SK dan pelarangan berkegiatan, serta disumbatnya sumber
anggaran kegiatan kemahasiswaan, yang memang sudah diatur bahwa organisasi
kemahasiswaan berhak atas subsidi dari kampus.
Situasi ini semakin menunjukkan bahwa otonomi kampus dan
kebebasan akademik, rupanya hanyalah mimpi basah di siang bolong. Anggapan
bahwa kampus bisa menjadi sebuah institusi yang netral dari kekuasaan Negara
dan politik adalah angan-angan tanpa pengetahuan. Pemberangusan demokrasi di
dalam kampus sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak rezim militer soeharto
berkuasa, pembubaran kegiatan, pembubaran organisasi mahasiswa, bahkan
pembunuhan terhadap kelompok mahasiswa yang kritis sudah dilakukan secara
intensif. Intelektual kampus menjadi kerdil, menghamba pada moncong senjata dan
modal internasional. Sementara gerakan mahasiswanya menyisakan gerakan yang
mandul walau di beri nama mentereng “gerakan mandul”. Rezim orde baru memainkan
perannya dengan baik dalam membersihkan kampus dari intelektual, mahasiswa,
gerakan dan ilmu pengetahuan kiri dan kerakyatan. Belasan pers kampus di bredel,
sementara itu, ribuan buku dilarang. Namun rezim soeharto yang rakus rupanya
tidak menyadari, bahwa penindasan adalah nyata dalam kapitalisme, oleh karena
itu tentu saja akan selalu ada individu-individu yang terbuka pemahamannya,
yang ingin belajar lebih jauh kenapa penindasan terjadi dan jalan keluar bagi
penindasan tersebut. Embrio kebangkitan gerakan mahasiswa kembali bangkit
mulai tahun 1978, rezim militer soeharto langsung menyikapinya dengan
membubarkan dewan-dewan mahasiswa dan menerapkan kebijakan Normalisasi
Kebijakan Kampus (NKK) serta membentuk Badan Koordinasi Kampus (BKK).
Selanjutnya, rezim tersebut juga melancarkan program pencucian otak, seperti
dijadikannya “pendidikan pancasila” sebagai syarat kelulusan. Pelajaran
pendidikan pancasila tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran dimana rakyat
di haruskan mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dan menekankan
peran angkatan bersenjata dalam mempertahankan tatanan sosial. Di tahun 1990 di
bentuklah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) yang kemudian menjadi Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM). Walaupun terlihat demokratis namun ternyata
konsepsinya tidak jauh berbeda dengan NKK/BKK.
Kita juga menyaksikan bagaiman neoliberalisme masuk kedalam
dunia akademik di Indonesia dan memperkuat institusi pendidikan sebagai ladang
akumulasi modal. Inilah yang menyebabkan naiknya biaya kuliah serta berbagai
biaya tambahan lainnya, menjamurnya pendidikan non reguler (di luar S1
reguler), dan maraknya pemberangusan demokrasi di dalam kampus. Kondisi
tersebut di perkuat dengan dominasi ideologi liberalisme. Suatu paham yang
menghilangkan peran gerakan elemen rakyat dalam perubahan sejarah. Kemunculan
kelompok-kelompok liberal ini semakin lama semakin tumbuh subur seiring dengan
perkembangan post modernisme yang sama-sama menekankan individualisme absolut,
menolak adanya kemampuan untuk mendapatkan kebenaran objektif. Tidak heran jika
gerakan mahasiswa yang dominan menganggap bahwa para elit politik borjuis yang
bisa melakukan perubahan. Perlawanan yang muncul seringkali berada dalam
kerangka liberal. Seperti yang kita saksikan sebelumnya, pada tanggal 20 mei
2015, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) menuntut agar
Jokowi-JK turun dari jabatannya, seleng beberapa hari setelahnya tuntutan
berubah menjadi “mengawal kebijakan Jokowi-JK”. Padahal jelas jelas rakyat
(termasuk mereka sendiri) tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam proses
penyusunan program Jokowi-JK. Atau aksi aliansi mahasiswa cipayung plus dalam
beberapa bulan terakhir, yang mengevaluasi 2 tahun kepemimpinan Jokowi. Mereka
meneriakan berbagai slogan seperti “rakyat semakin tertindas”, sumpah serapah,
Jokowi tidak becus dan sebagainya, tetapi di lain hal malah menuntut Jokowi-JK
agar lebih serius salam melihat persoalan rakyat. Begitulah gerakan mahasiswa
yang memuja pada kebebasan di tengah masyarakat berkelas. Seolah-olah
memberikan perlawanan namun pada akhirnya menitipkan nasibnya pada elit politik.
Hal demikian bukan lagi soal bagaimana kita bergerak, ini
bukan lagi soal organisasi apa yang harus mempelopori, tetapi melainkan
bagaimana membangun kekuatan dari persatuan mahasiswa untuk menyikapi setiap
aturan dan regulasi yang berindikasi pemberangusan demokrasi kampus. Bukan lagi
waktunya untuk memperdebatkan soal karakteristik mahasiswa yang semakin antipasti
terhadap persoalan-persoalan kampus, tetapi bagaimana cakap dalam bersikap
karena massa biasa tak mungkin mampu disadarkan secara keseluruhan, keadaan
berlawan harus didorong, yang kemudian keadaan itulah yang mendorong mereka.
Isti Rukhmana Nawawi
Pemimpin Redaksi Emperan Kampus.
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.