Penahanan SK Ormawa : Menguatkan Indikasi Pengebirian Demokrasi Kampus di STAIN


emperankampus.blogspot.com
Setelah kami menerka penyempitan ruang demokrasi kampus di e-paper Emperan Kampus edisi oktober kemarin, ternyata soal pelarangan berorganisasi yang disampaikan Ketua STAIN serta pemangkasan waktu berkegiatan dimalam hari benar adanya. Lebih soal pemangkasan jam berkegiatan malam hari, kemandulan gerakan mahasiswa Parepare terkhusus di Kampus STAIN Parepare membuat birokrasi kampus dalam hal ini rektorat begitu gampang (tanpa kendala) menjalankan regulasi kampus tersebut, yang sudah pasti tak memihak mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan intern maupun ekstern.

Regulasi tersebut, bisa dipastikan banyak mahasiswa yang tidak mengatahuinya, selain karena kecondongan otritarian rektorat, dan tidak adanya ruang diskusi sebelum regulasi disahkan dan dijalankan mahasiswa, tetapi juga beririsan dengan kecakapan gerakan mahasiswa dalam menyikapi setiap isu-isu yang tengah terjadi dikampus, terkhusus STAIN Parepare. Gerakan mahasiswa yang mandul itulah yang menghadirkan berbagaimacam persoalan yang dihadapi mahasiswa secara keseluruhan.

Subyektifku sudah memastikan bahwa indikasi penyempitan ruang demokrasi kampus STAIN Parepare benar adanya ! mulai dari pelarangan berorganisasi yang disampaikan (secara Implisit) oleh ketua STAIN di pertemuan orang tua / wali saat penerimaan mahasiswa baru kemarin, dan pemangkasan jam berkegiatan malam hari. Nah dengan adanya pembatasan bagi Ormawa untuk melaksanakan kegiatan malam diatas 21:30, membuat keleluasan semakin menyempit. Padahal pada dasarnya organisasi mahasiswa tidak bisa di batasi dalam hal berkegiatan dan berketerampilan. Keleluasan yang menyempit itu terbukti dari kegiatan LKPKM yang baru-baru ini diselenggarakan oleh pihak DEMA (Dewan Mahasiswa) yang melanggar regulasi anti demokrasi kampus tersebut. Dari pelanggaran (menurut birokrasi kampus) itu, berimbas pada organisasi kemahasiswaan yang lain dengan penahanan SK dan pelarangan berkegiatan, serta disumbatnya sumber anggaran kegiatan kemahasiswaan, yang memang sudah diatur bahwa organisasi kemahasiswaan berhak atas subsidi dari kampus.

Situasi ini semakin menunjukkan bahwa otonomi kampus dan kebebasan akademik, rupanya hanyalah mimpi basah di siang bolong. Anggapan bahwa kampus bisa menjadi sebuah institusi yang netral dari kekuasaan Negara dan politik adalah angan-angan tanpa pengetahuan. Pemberangusan demokrasi di dalam kampus sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak rezim militer soeharto berkuasa, pembubaran kegiatan, pembubaran organisasi mahasiswa, bahkan pembunuhan terhadap  kelompok mahasiswa yang kritis sudah dilakukan secara intensif. Intelektual kampus menjadi kerdil, menghamba pada moncong senjata dan modal internasional. Sementara gerakan mahasiswanya menyisakan gerakan yang mandul walau di beri nama mentereng “gerakan mandul”. Rezim orde baru memainkan perannya dengan baik dalam membersihkan kampus dari intelektual, mahasiswa, gerakan dan ilmu pengetahuan kiri dan kerakyatan. Belasan pers kampus di bredel, sementara itu, ribuan buku dilarang. Namun rezim soeharto yang rakus rupanya tidak menyadari, bahwa penindasan adalah nyata dalam kapitalisme, oleh karena itu tentu saja akan selalu ada individu-individu yang terbuka pemahamannya, yang ingin belajar lebih jauh kenapa penindasan terjadi dan jalan keluar bagi penindasan tersebut.  Embrio kebangkitan gerakan mahasiswa kembali bangkit mulai tahun 1978, rezim militer soeharto langsung menyikapinya dengan membubarkan dewan-dewan mahasiswa dan menerapkan kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus (NKK) serta membentuk Badan Koordinasi Kampus (BKK). Selanjutnya, rezim tersebut juga melancarkan program pencucian otak, seperti  dijadikannya “pendidikan pancasila” sebagai syarat kelulusan. Pelajaran pendidikan pancasila tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran dimana rakyat di haruskan mempromosikan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dan menekankan peran angkatan bersenjata dalam mempertahankan tatanan sosial. Di tahun 1990 di bentuklah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) yang kemudian menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Walaupun terlihat demokratis namun ternyata konsepsinya tidak jauh berbeda dengan NKK/BKK.

Kita juga menyaksikan bagaiman neoliberalisme masuk kedalam dunia akademik di Indonesia dan memperkuat institusi pendidikan sebagai ladang akumulasi modal. Inilah yang menyebabkan naiknya biaya kuliah serta berbagai biaya tambahan lainnya, menjamurnya pendidikan non reguler (di luar S1 reguler), dan maraknya pemberangusan demokrasi di dalam kampus.  Kondisi tersebut di perkuat dengan dominasi ideologi liberalisme. Suatu paham yang menghilangkan peran gerakan elemen rakyat dalam perubahan sejarah. Kemunculan kelompok-kelompok liberal ini semakin lama semakin tumbuh subur seiring dengan perkembangan post modernisme yang sama-sama menekankan individualisme absolut, menolak adanya kemampuan untuk mendapatkan kebenaran objektif. Tidak heran jika gerakan mahasiswa yang dominan menganggap bahwa para elit politik borjuis yang bisa melakukan perubahan. Perlawanan yang muncul seringkali berada dalam kerangka liberal. Seperti yang kita saksikan sebelumnya, pada tanggal 20 mei 2015,  Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) menuntut agar Jokowi-JK turun dari jabatannya, seleng beberapa hari setelahnya tuntutan berubah menjadi “mengawal kebijakan Jokowi-JK”. Padahal jelas jelas rakyat (termasuk mereka sendiri) tidak pernah dilibatkan secara langsung dalam proses penyusunan program Jokowi-JK. Atau aksi aliansi mahasiswa cipayung plus dalam beberapa bulan terakhir, yang mengevaluasi 2 tahun kepemimpinan Jokowi. Mereka meneriakan berbagai slogan seperti “rakyat semakin tertindas”, sumpah serapah, Jokowi tidak becus dan sebagainya, tetapi di lain hal malah menuntut Jokowi-JK agar lebih serius salam melihat persoalan rakyat. Begitulah gerakan mahasiswa yang memuja pada kebebasan di tengah masyarakat berkelas. Seolah-olah memberikan perlawanan namun pada akhirnya menitipkan nasibnya pada elit politik.

Hal demikian bukan lagi soal bagaimana kita bergerak, ini bukan lagi soal organisasi apa yang harus mempelopori, tetapi melainkan bagaimana membangun kekuatan dari persatuan mahasiswa untuk menyikapi setiap aturan dan regulasi yang berindikasi pemberangusan demokrasi kampus. Bukan lagi waktunya untuk memperdebatkan soal karakteristik mahasiswa yang semakin antipasti terhadap persoalan-persoalan kampus, tetapi bagaimana cakap dalam bersikap karena massa biasa tak mungkin mampu disadarkan secara keseluruhan, keadaan berlawan harus didorong, yang kemudian keadaan itulah yang mendorong mereka.
 
Isti Rukhmana Nawawi
Pemimpin Redaksi Emperan Kampus.

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama