"Apa itu kuota ?"
saya mengetik pelan pada kotak/kolom searching
saat mencoba menanyakannya pada Ambo
Google. Katanya kuota itu sebuah jumlah yang memiliki keterbatasan, sedangkan
kuota atau paket data adalah jumlah limit pemakaian penggunaan internet. Misalnya
nih yah, kamu punya kuota internet 1 GB masa aktif selama sebulan, nah itu
berarti kamu hanya bisa mengakses internet selama sebulan saja, toh namanya
juga limit atau batasan. Saya pikir hamper
semua orang telah terkoneksi dengan internet, yah itulah tuntutan dari pada
abad millennial ini. Menyinggung soal Kuota internet, pengguna smartphone
ataupun Android sudah pasti akrab dengan hal ini, tak luput saya juga tergolong
pemakai atau pengguna tepatnya konsumen. Tapi tidak sampai menjadikannya
sebagai kebutuhan mendasar untuk bertahan hidup hehehehe.
"Eng i eng..
kuota ane habis" ujarku dipertengahan jalan saat mencoba mencari tahu
(melalui google) apa itu kuota atau paket data internet. Baru aja diomongin
udah nongol menampakkan diri dalam kekosongan, menandakan diri telah
terjangkiti virus sikon yakni keganasan
Kanker (kantong kering).
[ KAMPUS ] Pukul 13:12
Siang ini, tepatnya setelah mengikuti aktifitas keseharian
sebagai ternak kampus yang
membosankan yaitu perkuliahan, saya berniat melakukan survey pendapat
teman-teman mahasiswa dan mahasiswi di kampus, tentang bagaimana rasanya jika mereka
menjalani kesibukan selama 10 hari tetapi tanpa kuota atau paket data internet,
yah bahkan temanku sempat bilang “nokia
jadul lebih berguna dari pada smartphone atau Android tanpa paket data atau
kuota internet”. Setelah melakukan interview dadakan kepada beberapa
mahasiswa, saya mendapat jawaban variatif, ada yang mengatakan biasa-biasa aja,
ada yang galau, setengah galau, dan ada juga komunitas no coment ketika kuajukan pertanyaan, yang seolah-olah tersirat
dari raut wajahnya "Boro-boro
ngerasain 10 hari tanpa kuota, ngerasain sehari punya android pun kagak".
“Bagaimana perasaan
kamu ketika 10 hari tanpa kuota ?” dari pertanyaan tersebut, beginilah
ragam jawabannya dari teman-teman kampusku, “Galau
ka, tidak ada hiburanku, tidak terbiasa ka pake hp yang tidak ada kuotana” jawab
Sumiati dengan sedikit nada Matempo, seorang
mahasiswi yang fasih berbahasa inggris dengan Sidrap Accent. “Galau sekali ka'
tidak bisa maka stalking-stalking i mantanku” sambung Ra’na,
Mahasiswi yang aktif berdakwah di sosmed dengan dalil dan fatwa yang sporadic
menghakimi orang lain yang berbeda dengannya. “tidak tau bagaimana mi hidup ku kalo tidak ada kuotanya hp ku” sergap
Hayati, Mahasiswi Muamalah yang juga berpropesi sebagai seleb kampus, yang
terkadang memaksa admin @stainparepare_hits untuk me-repost fotonya.
Dengan wajah kusut seolah telah tersirami jawaban
menginspirasi dari mereka, saya berlalu dan melipir ke tongkrongan mahasiswa,
tepatnya di parkiran gedung Jurusan Syariah, kemudian menanyakan pertanyaan
yang sama. “Tanpa kuota bagaikan sayur
tak bergaram, terasa hampa” jawab U’ding dengan jawaban menggugah dengan
mengutip dari lirik lagu penyanyi dangdut Inul
Daratista. Pertanyaan yang sama kemudian dijawab juga Junedi, mahasiswa
baru yang tak mau kalah eksis dengan senior-seniornya yang sudah mulai menua
dan usang (kata junedi loh) “Tanpa kuota
tidak bisa ka ma’ VC (video call) sama bebeb cu”. “Galau dalam jangka waktu
yang tidak bisa ditentukan ka jadinya” sambung Kamaru’ding, mahasiswa
semester 6 yang terpaksa bergaul dengan mahasiswa semester 2 demi menopang
kembali kuliahnya, konsekuensi dianaktirikan
sisfo kampus. Sambung lagi satu mahasiswa (ditongkrongan yang sama) dengan
keluguannya, “Tanpa kuota tidak bisaka
belajar” ujar Hamma’ yang seolah terpaku pada kontribusi tehnologi kemudian
menegasi hal-hal lain yang dapat membantu proses belajar mengajar mahasiswa,
selain handphone dan tehnologi lainnya tentunya.
Dengan wajah yang masih sama, saya mencoba beranjak dan
menanyakan pertanyaan serupa kepada mahasiswa lain. tepat di depan gedung
perpustakaan kampus, Rammang mnjawab dengan santai, “Biasa saja ji, karena adaji Hotspotnya temanku”, begitu jawaban
Rammang, yang seolah menegaskan dirinya sebagai mahasiswa kere yang berkeliaran di kampus, mencari tongkrongan dan teman
untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, tanpa harus bersusah payah, alias menerima
tanpa harus memberi, terkadang nangkring
dengan hanya membeli air mineral gelas demi mendapat support wifi. “Bukan ji kuota kumakan !” dengan tegas
Saripa menjawab, kemudian berlalu tanpa memberi kesempatan kepada saya untuk
berterima kasih sebelumnya. “Menurut loooooooohhhh
?!!” jawab sinis mahasiswi yang belum sempat kutanyakan namanya itu,
kemudian ia pun sama berlalu bahkan sebelum pertanyaan selesai kutanyakan
padanya, tapi biarlah anggap saja dia baru saja bertengkar di kolom komentar
Facebook dengan seorang Valakor (baca
pelakor : perebut laki orang) makanya agak sinis, bukan karena lakinya direbut,
toh mereka (bisa jadi) masih sebatas pacaran, tetapi karena kuotanya ludes
gegara meladeni valakor yang mungkin
saja on dengan tebengan wifi café.
Menurut hasil survey yang saya dapatkan, yang kemudian
menjadi referensi untuk menopang ANABEL (analisa gembel) kali ini. Bahwasanya 6
dari 10 mahasiswa tak bisa jauh dari yang namanya kuota internet atau paket data,
hamper semua kebutuhan dasar manusia dipaksa terikat dengan digitalisasi atau
terhubung dengan internet. Seperti halnya membayar token listrik, tagihan air, atau
saat berkomunikasi dengan dosen, teman-teman, pacar, teman pacar, pacar teman,
atau saat mengumpulkan tugas yang terkadang melalui email, dan masih banyak
lagi, begitupun saat mengurus nilai dan KRS menjelang semester berikutnya. Dan jika
benar smartphone atau android mereka tidak memiliki kuota internet, bisa jadi
hambatan-hambatan yang dikhawatirkan tidak akan terjadi, toh geliat nalar
mereka akan memaksa untuk survive mencari cara untuk terkoneksi dengan
internet, entah untuk mengumpulkan tugas atau hanya sekedar eksi di social media,
dengan beragam solusi seperti nebeng hotspot teman, nebeng wifi rektorat,
akademik, jurusan, atau datang ke café, kemudian menikmati tebengan free wifi
dengan modal membeli air mineral gelas.
Catatan : tulisan ini
hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama itu diluar unsure kesengajaan,
(kalo maunya sih iya mau), tetapi sekali lagi hal diatas hanya buah dari
imajinasi para redaktur dan contributor untuk mengisi rubric ANABEL (Analisa Gembel), jadi jangan
sampai terjadi peruncingan konflik dan persekusi yang dipantik oleh tulisan
absurd ini, namanya juga analisa gembel hehehehehe.
“Jangan Lupa Senyum, dan kirim tulisanmu ke Ngemper!”
NurHidayah & Idam Bhaskara
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.