16:35 Wita, sore
itu langit Parepare berbalut awan hitam tebal, seolah sudah sering Anwar
mendengar kalimat asumsi sebagai pengingat dari Tante Ati, “mau hujan kayaknya Anwar”.
Setelah putusan MK tahun lalu, bahwasanya Tanggul Cappae
(tempat dimana tante Ati dulunya berjualan) kini telah berubah menjadi lahan
luasa yang katanya akan dibangun perumahan mewah, tak hanya itu, pemerintah dan
pengusaha (yang menginvest disana) dengan bengis terhadap alam akan mereklamasi
karena kebetuhan lahan yang masih kurang. Yah mau tidak mau (dengan terpaksa)
dan dengan kompensasi yang tidak seberapa, tante ati merelakan lapaknya di
relokasi ke pinggiran kota.
Ditempat baru Tante Ati (Adik dari Ibu Anwar, Almh. Herna)
berjejeran lapak-lapak dan warung yang sama direlokasi, toh hari ini makin
gencar pembangunan yang justru menyulitkan rakyat dengan ekonomi menengah
kebawa, tetapi mempermudah kalangan borju tentunya.
Warung Tante Ati bertetangga dengan warung penjual nasi goring,
si empunya namanya Ibu Lina. Ibu Lina paling marah ketika sapaan Lina diganti
Anwar menjadi Bu’ Let atau yang ketika dibaca cepat Bulet. Ibu Lina paling doyan ngerumpi dengan ibu-ibu warung
lainnya, termasuk Tante Ati pastinya. Si Bu’ Let juga gila status dan gila
hormat, dengan sedikit sombong ia sering menceritakan anak-anaknya yang katanya
ada yg jadi dosen, ada yang jadi pegawai bank dll.
Suatu ketika, di waktu pagi yang sudah menua. Setelah membuka
warung di jam 7 Tante Ati menjamu banyak sekali pelanggan hingga pukul 11
datang lah 2 orang siswa anak SMA yang kemudian memesan nasi campur sebagai
menu andalan Warung Tante Ati. Anak itu makan dengan lahap dan sesekali
mengobrol. Setelah membereskan dapur warungnya, Tante Ati melipir ke beranda
warung, didepan sudah terlihat duduk Bu’ Let tepatnya bersandar cantik di
bale-bale depan warung. Tante Ati dan Bu’ Let pun mengobrol seru jua seperti
sebelum-sebelumnya.
Baca ANABEL Lainnya : Mahasiswa & Revisi UU MD3
“Allahu Akbar Allahu…Akbar
!” terdengar suara azan toak masjid yang berjarak 3 km. dari warung tante
Ati. Azan telah selesai semakin lama khotbah jum’at pun mulai masuk pada
rentetan Do’a penutup khutbah. Tante Ati kembali ke depan warung setelah melaksanakan
sholat dhuhur dan merapihkan mukenanya. Di depan Bu’ Let sudah duduk santai
seperti sebelumnya, tetapi ada yang berbeda dari raut wajahnya, dan sesekali
menengok kedalam warung Tante Ati tepatnya kea rah dua anak SMA tadi yang kini
masih beristirahat dan mengobrol di warung tante Ati.
“kenapaki Bu Lina ?” Tanya
tante Ati penasaran. “ehhh liat ki itu
anak-anak, dehh tidak pergi sholat Jum’at” Bu’ Let yang sesekali melirik
kedalam warung. Dengan wajah penuh laknat Bu’ Let kemudian menyeru “eehhh Anak-anak, kenapako tidak pergi
sholat jumat tadi, ihh anak a5uee !!” tante ati yang kaget dengan sigap
menegur Bu’ Let “ihh jangki begitu Bu’
Lin”. Terlihat ketakutan dan seolah tak tahu menahu terlihat dari raut
wajah 2 anak SMA pelanggan warung Tante Ati itu.
Anwar kemudian memarkirkan motornya setelah pulang dari
Masjid menjalankan sholat Jum’at, masih terlihat jelas wajah kekesalan dari Bu’
Let yang kemudian berbegas ke masuk kedalam warungnya, begitu pun dengan Tante
Ati yang kemudian bergegas pula masuk ke dalam warungnya. Anwar yang tak tahu
menahu duduk perkara, terlihat keheranan, ditambah lagi dua anak SMA itu juga
ikut-ikutan menunduk dan terdiam. Anwar kemudian menghampiri Tante Ati yang tengah duduk dengan raut
kekesalan di dapur warungnya. “Kenapaki
tante ?” Tanya Anwar dengan lembut. “itu
ee Bu Lina, langsung marah-marah sama itu dua anak-anak di depan ka tidak pergi
sholat jum’at”, jelas Tante Ati. “oh
begitu.. yah biar mi tante” sigap anwar berusaha memulihkan keadaan. Namun tante
Ati kembali berusaha menjelaskan bahwasanya apa yang dilakukan Bu’ Let adalah sebuah kekeliruan, “masalahnya to Anwar bukan soal dia berusaha
menegur yang salah, tetapi masalahnya adalah ketika kita berusaha menyampaikan
kebenaran yang dirasa benar, tanpa kita tahu kepada siapa kita menyampaikan
kebenaran yang kita rasa benar itu.” Dengan memalingkan wajah sejenak dan
menghela nafas, Tante Ati kembali menyambung dengan nada berbisik ke anwar, “itu anak-anak dua ee.. sering mi datang
kesini makanya saya tau namanya dan dimana sekolah, itu anak-anak dua ee non
Muslim Anwar..” tante ati memeancarkan raut wajah ketenangan, begitupun
Anwar yang merasa telah mendapat satu titik pelajaran dari Tantenya yang bahkan
tak lulus SMP itu.
Anwar kemudian tersenyum dan berucap dalam hati “andalang men tong tantecu”.
Redaksi
Rubrik Anabel (Analisa Gembel) adalah Rubrik khusus dari semua redaktur dan pengelola Ngemper!, tetapi tidak menutup kontribusi dan kiriman tulisan dari orang lain untuk Rubrik ini.
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.