Membongkar Mitos Pendidikan Tinggi Indonesia


Pendidikan tinggi menjadi sangat urgen di lalui oleh pemuda-pemuda sekarang ini, salah satu tujuan nya adalah menyangkut persoalan inginnya mendapatkan strata sosial dalam masyarakat apalagi dengan pemuda-pemuda di kampung. Kita bisa melihat fenomena ini, jika pemuda di kampung telah bergelar sarjana maka pemuda itu pun akan mendapat kedudukan yang lebih baik di mata masyarakat umum ketimbang pemuda yang tak bergelar sarjana. Akan tetapi bukan mengejar strata sosial semata, salah satu tujuan utama untuk mendapatkan gelar sarjana di salah satu pendidikan tinggi adalah lebih kepada untuk mendapat suatu pekerjaan yang layak, baik itu bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS) maupun menjadi karyawan di salah satu perusahan swasta.

Dari pandangan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa masuk ke dalam dunia pendidikan tinggi adalah hal yang mau tidak mau, suka atau tidak suka harus dilalui oleh seseorang yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan sebelumnya. sehingga dengan cara dan upaya pun di lakukan seperti menyogok pejabat-pejabat kampus untuk bisa lulus pada salah satu pendidikan tinggi negeri. Jika tidak lulus seleksi pada pendidikan tinggi yang di inginkan, entah karena kuota kelas yang sudah full atau karena tidak adanya kedekatan dengan pejabat di dalam kampus atau bahkan memang tidak bisa lulus seleksi karena tidak mampu menjawab dengan benar soal-soal ujian masuk. Karena gelar sarjana yang harus disandang untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang layak jadi terdaftar di dalam pendidikan tinggi menjadi suatu keharusan yang harus dilalui. Maka pendidikan swasta menjadi alternatif, tidak menjadi masalah apakah kampus swasta tersebut berkualitas atau tidak, yang penting bisa terdaftar menjadi mahasiswa. Soal mahalnya biaya kuliah pada pendidikan tinggi swasta juga tidak menjadi masalah, masih ada tanah dikampung yang bisa di jual sebagai modal untuk bisa masuk ke pendidikan tinggi, menjadi seorang mahasiswa dan lulus mendapatkan pekerjaan.

Karena dengan adaya mitos ini, bahwa ketika orang kuliah dan selesai mendapat ijazah sebagai salah satu syarat mendapatkan suatu pekerjaan yang layak sehingga segala cara pun dilakukan, bahkan ada yang paling ekstrim yaitu menjual tanah di kampung untuk biaya kuliah. “Tidak jadi masalah nak kalo kampus mahal, yang penting kamu mau sekolah kami (orang tua) akan berusaha penuh”, yah, begitulah kira-kira yang akan dikatakan orang tua kepada anaknya agar anaknya bisa kuliah agar masa depannya lebih baik. Padahal, bukan menjadi jaminan bahwa ketika orang kuliah dan lulus mendapat gelar sarjana akan dengan mudah mendapat suatu pekerjaan yang di inginkan. Dengan melihat lapangan pekerjaan yang semakin sempit dan membludaknya sarjana-sarjana pengangguran, jadi, kuliah sampai lulus hingga mendapat ijazah bukanlah menjadi jaminan para sarjana mudah mendapatkan pekerjaan. Banyak kampus yang tidak menjamin alumni-alumninya akan segera mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah. Maka apa yang menjadi orientasi pendidikan tinggi tersebut? Pada tulisan ini, saya berani mengatakan bahwa orientasi pendidikan tinggi di tanah air tercinta ini adalah semata-mata pada bisnis  Pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta bukan merupakan lembaga penjamin pekerjaan namun telah menjadi suatu perusahan yang hanya mengejar keuntungan semata dari pembayaran SPP mahasiswa serta bisnis-bisnis lainnya. Disini, pendidikan tinggi telah di komersialisasikan. Oke, mari kita lanjut membongkar mitos pendidikan tinggi di indonesia.

Baca Juga Artikel Lainnya : Sisi Gelap UKT

Kita kembali pada anggapan bahwa dengan kuliah di pendidikan tinggi dan lulus mendapat gelar sarjana yang tertulis di ijazah nantinya sudah menjadi jaminan akan mendapatkan pekerjaan. Kita akan buktikan apakah anggapan ini terbukti berlaku umum, ataukah hanya menjadi mitos semata? Beberapa media melayangkan suatu data pengangguran yang dikategorikan sebagai pengangguran terdidik Indonesia, dari data tersebut terlihat angka pengangguran terdidik Indonesia yang meningkat setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen (688.660 orang) dari total pengangguran yang merupakan alumni pendidikan tinggi. Mereka yang memiliki ijazah diploma tiga (D-III) atau ijazah strata satu (S-1). Dari jumlah itu, pengangguraan paling tinggi merupakan lulusan universitas bergelar S-1 sebanyak 495.143 orang dan angka pengangguran terdidik pada 2014 itu, meningkat dibandingkan pengangguran lulusan perguruan tinggi pada 2013 yang hanya 8,36 persen (619.288 orang) dan pada 2012 sebesar 8,79 persen (645.866 orang). Alasan utama dari peningkatan angka pegangguran terdidik itu adalah penyempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Bursa pekerja yang disediakan pemerintah pada tahun ini mendapatkan banyak pendaftar sebagai pencari kerja. Namun, banyak perusahaan dalam bursa kerja tersebut tidak tutup dan tidak menerima pendaftar. Opini pun bermunculan dengan adanya peningkatan angka pengangguran terdidik tersebut dikarenakan sempitnya lapangan pekerjaan, buruknya sistem pendidikan sehingga menghasilkan lulusan tidak profesional dalam bidangnya masing-masing, terbukanya izin tenaga kerja asing masuk ke indonesia, standar minimal usia yang meminimalkan usia pendaftar kerja diatas umur 15-24 tahun sehingga banyak sarjana yang sudah melewati batas usia sebagai pencari kerja berputus asa dan pasrah menjadi pengangguran. Masih banyak lagi alasan-alasan lainnya yang tidak bisa saya jelaskan dalam tulisan ini, mungkin lain kali saya akan membahasnya dengan judul tulisan yang berbeda tentunya.

Baca Juga Artikel Lainnya : Apakah Mahasiswa Benar Agen Perubahan ?

Dengan adanya data yang telah disebutkan diatas, itu menunjukkan bahwa pendidikan tinggi dalam sistem neoliberalisme bukanlah menjadi jaminan para alumni pendidikan tinggi untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang layak. Hal itu telah menjadi mitos yang masih saja dipercaya oleh banyak orang padahal pendidikan hari ini tidak lebih merupakan suatu lembaga bisnis atau suatu bisnis. Maka jangan pernah percaya dengan janji Jokowi akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Yah.. kita bisa melihat sekarang apa yang di lakukan rezim Jokowi ini. Bukannya membuka lapangan pekerjaan, malah membuka kerang pasar bebas, membuka ruang tenaga kerja asing bekerja di Indonesia yang kemampuan dan skill nya jauh lebih baik ketimbang tenaga kerja indonesia. Jadi harapan orang tua menyekolahkan anaknya agar bisa memperbaiki ekonomi keluarga, telah sirna dan tanah dikampung yang telah dijual untuk menyekolahkan anaknya sudah tak ada lagi. Lah, dengan kondisi seperti ini, maka apa yang harus dilakukan? Tentunya bukan kesimpulan bahwa tidak usah kuliah karena hanya sia-sia saja, bukan itu jawaban yang saya harapkan akan tetapi kita harus bertanya kembali, mengapa kita malah tambah miskin meski sudah bergelar sarjana,? siapa yang melakukannya? apa yang harus dilakukan? Dan kenapa pendidikan tinggi di komersilkan?

Dalam tulisan ini, tidak akan menjawab runtutan pertanyaan diatas, tapi silahkan di jawab sendiri. Saya hanya mencoba membongkar mitos pendidikan tinggi di dalam tulisan ini, semoga dimengerti, dan mari lawan bersama-sama.   

Bustamin Tato (Dosen Fak. Tekhnik Univ. Patria Artha Makassar)
Ig : bustamin_tato

Edt. Amirah

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama