Pendidikan tinggi menjadi sangat urgen di lalui oleh pemuda-pemuda sekarang ini, salah satu tujuan nya adalah menyangkut persoalan inginnya mendapatkan strata sosial dalam masyarakat apalagi dengan pemuda-pemuda di kampung. Kita bisa melihat fenomena ini, jika pemuda di kampung telah bergelar sarjana maka pemuda itu pun akan mendapat kedudukan yang lebih baik di mata masyarakat umum ketimbang pemuda yang tak bergelar sarjana. Akan tetapi bukan mengejar strata sosial semata, salah satu tujuan utama untuk mendapatkan gelar sarjana di salah satu pendidikan tinggi adalah lebih kepada untuk mendapat suatu pekerjaan yang layak, baik itu bekerja sebagai pegawai pemerintah (PNS) maupun menjadi karyawan di salah satu perusahan swasta.
Dari pandangan
tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa masuk ke dalam dunia pendidikan tinggi
adalah hal yang mau tidak mau, suka atau tidak suka harus dilalui oleh
seseorang yang menginginkan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan
sebelumnya. sehingga dengan cara dan upaya pun di lakukan seperti menyogok
pejabat-pejabat kampus untuk bisa lulus pada salah satu pendidikan tinggi
negeri. Jika tidak lulus seleksi pada pendidikan tinggi yang di inginkan, entah
karena kuota kelas yang sudah full atau karena tidak adanya kedekatan dengan pejabat
di dalam kampus atau bahkan memang tidak bisa lulus seleksi karena tidak mampu
menjawab dengan benar soal-soal ujian masuk. Karena gelar sarjana yang harus
disandang untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang layak jadi terdaftar di dalam
pendidikan tinggi menjadi suatu keharusan yang harus dilalui. Maka pendidikan
swasta menjadi alternatif, tidak menjadi masalah apakah kampus swasta tersebut
berkualitas atau tidak, yang penting bisa terdaftar menjadi mahasiswa. Soal
mahalnya biaya kuliah pada pendidikan tinggi swasta juga tidak menjadi masalah,
masih ada tanah dikampung yang bisa di jual sebagai modal untuk bisa masuk ke pendidikan
tinggi, menjadi seorang mahasiswa dan lulus mendapatkan pekerjaan.
Karena dengan
adaya mitos ini, bahwa ketika orang kuliah dan selesai mendapat ijazah sebagai
salah satu syarat mendapatkan suatu pekerjaan yang layak sehingga segala cara
pun dilakukan, bahkan ada yang paling ekstrim yaitu menjual tanah di kampung
untuk biaya kuliah. “Tidak jadi masalah
nak kalo kampus mahal, yang penting kamu mau sekolah kami (orang tua) akan
berusaha penuh”, yah, begitulah kira-kira yang akan dikatakan orang tua
kepada anaknya agar anaknya bisa kuliah agar masa depannya lebih baik. Padahal,
bukan menjadi jaminan bahwa ketika orang kuliah dan lulus mendapat gelar
sarjana akan dengan mudah mendapat suatu pekerjaan yang di inginkan. Dengan
melihat lapangan pekerjaan yang semakin sempit dan membludaknya sarjana-sarjana pengangguran, jadi, kuliah sampai lulus
hingga mendapat ijazah bukanlah menjadi jaminan para sarjana mudah mendapatkan pekerjaan. Banyak kampus yang tidak menjamin alumni-alumninya akan segera mendapat pekerjaan
setelah lulus kuliah. Maka apa yang menjadi orientasi pendidikan tinggi
tersebut? Pada tulisan ini, saya berani mengatakan bahwa orientasi pendidikan
tinggi di tanah air tercinta ini adalah semata-mata pada bisnis Pendidikan
tinggi baik negeri maupun swasta bukan merupakan lembaga penjamin pekerjaan
namun telah menjadi suatu perusahan yang hanya mengejar keuntungan semata dari
pembayaran SPP mahasiswa serta bisnis-bisnis lainnya. Disini, pendidikan tinggi telah di
komersialisasikan. Oke, mari kita lanjut membongkar mitos pendidikan tinggi di
indonesia.
Baca Juga Artikel Lainnya : Sisi Gelap UKT
Kita kembali pada
anggapan bahwa dengan kuliah di pendidikan tinggi dan lulus mendapat gelar
sarjana yang tertulis di ijazah nantinya sudah menjadi jaminan akan mendapatkan
pekerjaan. Kita akan buktikan apakah anggapan ini terbukti berlaku umum,
ataukah hanya menjadi mitos semata? Beberapa media melayangkan suatu data
pengangguran yang dikategorikan sebagai pengangguran terdidik Indonesia, dari data tersebut terlihat angka
pengangguran terdidik Indonesia yang meningkat setiap tahun. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen
(688.660 orang) dari total pengangguran yang merupakan alumni pendidikan tinggi. Mereka yang memiliki
ijazah diploma tiga (D-III) atau ijazah strata satu (S-1). Dari jumlah itu,
pengangguraan paling tinggi
merupakan lulusan universitas bergelar S-1 sebanyak 495.143 orang dan angka
pengangguran terdidik pada 2014 itu, meningkat dibandingkan pengangguran lulusan perguruan tinggi pada
2013 yang hanya 8,36 persen (619.288 orang) dan pada 2012 sebesar 8,79 persen
(645.866 orang). Alasan utama dari peningkatan angka pegangguran terdidik itu
adalah penyempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Bursa pekerja yang
disediakan pemerintah pada
tahun ini mendapatkan banyak pendaftar sebagai pencari kerja. Namun, banyak
perusahaan dalam bursa kerja tersebut tidak tutup dan tidak menerima pendaftar.
Opini pun bermunculan dengan adanya peningkatan angka pengangguran terdidik
tersebut dikarenakan sempitnya lapangan pekerjaan, buruknya sistem pendidikan
sehingga menghasilkan lulusan tidak profesional dalam bidangnya masing-masing,
terbukanya izin tenaga kerja asing masuk ke indonesia, standar minimal usia
yang meminimalkan usia pendaftar kerja diatas umur 15-24 tahun sehingga banyak
sarjana yang sudah melewati batas usia sebagai pencari kerja berputus asa dan
pasrah menjadi pengangguran. Masih
banyak lagi alasan-alasan
lainnya yang tidak bisa saya jelaskan dalam tulisan ini, mungkin lain kali saya
akan membahasnya dengan judul tulisan yang berbeda tentunya.
Baca Juga Artikel Lainnya : Apakah Mahasiswa Benar Agen Perubahan ?
Dengan adanya
data yang telah disebutkan diatas, itu menunjukkan bahwa pendidikan tinggi
dalam sistem neoliberalisme bukanlah menjadi jaminan para alumni pendidikan
tinggi untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang layak. Hal itu telah menjadi
mitos yang masih saja dipercaya oleh banyak orang padahal pendidikan hari ini
tidak lebih merupakan suatu lembaga bisnis atau suatu bisnis. Maka jangan
pernah percaya dengan janji Jokowi
akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Yah..
kita bisa melihat sekarang
apa yang di lakukan rezim Jokowi
ini. Bukannya membuka lapangan pekerjaan, malah
membuka kerang pasar bebas, membuka ruang tenaga kerja asing bekerja di Indonesia yang kemampuan dan skill
nya jauh lebih baik ketimbang tenaga kerja indonesia. Jadi harapan orang tua menyekolahkan
anaknya agar bisa memperbaiki ekonomi keluarga, telah sirna dan tanah dikampung
yang telah dijual untuk menyekolahkan anaknya sudah tak ada lagi. Lah, dengan kondisi
seperti ini, maka apa yang
harus dilakukan? Tentunya bukan kesimpulan bahwa tidak usah kuliah karena hanya sia-sia saja, bukan itu
jawaban yang saya harapkan akan
tetapi kita harus bertanya kembali, mengapa kita malah tambah miskin meski
sudah bergelar sarjana,? siapa yang melakukannya? apa yang harus dilakukan? Dan
kenapa pendidikan tinggi di komersilkan?
Dalam tulisan ini, tidak akan menjawab runtutan pertanyaan diatas, tapi silahkan di jawab sendiri. Saya hanya mencoba membongkar mitos pendidikan tinggi di dalam tulisan ini, semoga dimengerti, dan mari lawan bersama-sama.
Bustamin Tato (Dosen Fak.
Tekhnik Univ. Patria Artha Makassar)
Ig : bustamin_tato
Ig : bustamin_tato
Edt. Amirah
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.