Fenomena Hijrah Anak Muda



Perputaran zaman kian mengantarkan kita menuju akhir waktu, seyogyanya diri memang terus dibenahi sebagai bekal menuju akhirat. Perihal muhasabah diri, tentunya kata “Hijrah” sudah tidak asing lagi. Hijrah bukan hanya sekadar melonggarkan pakaian yang dikenakan, memanjangkan jilbab, mengenakan celana di atas mata kaki, menyertakan peci kemanapun atau hal apapun yang dapat diindrai. Tapi lebih dari itu, hijrah dimaknai sebagai hal yang sangat mulia hanya untuk mengharapkan ridha-Nya. Meskipun pengertian hijrah bisa dipandang dari berbagai sudut pandang, hijrah yang saya maksudkan dalam tulisan ini ialah segala perbuatan yang mengarah pada peninggalan segala hal yang tidak baik menuju yang lebih baik.

Saya turut bersyukur sekaligus merasakan nuansa damainya hati melihat di sekitar saya banyak orang yang berjalan dengan sangat anggun dengan balutan busana yang indah, tepatnya sih sudah banyak yang mulai menggunakan pakaian yang pantas sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh syariat agama. Setidaknya mereka adalah orang-orang beruntung yang diberi kesadaran untuk membenahi diri diantara orang-orang yang disibukkan dengan urusan ke salon untuk perawatan rambut biar kelihatan kece kalau lagi jalan-jalan, walaupun Cuma ke tanggul Cempae.

Fenomena hijrah ini ditandai dengan masjid-masjid, pelataran kampus dan tempat lainnya yang mulai dipadati oleh ikhwan dan akhwat yang khusuq mengkaji ilmu pengetahuan agama serta maraknya video ceramah di wall fb, status wa dan instagram. Hanya saja, saya terkadang menyayangkan jika teman-teman yang sedang berada dalam proses hijrah dengan mentah menerima apa saja yang didengarkan hingga menjadi kaum yang mudah membid’ah kan sesuatu dan menutup telinga pada segala hal kecuali apa yang diyakininya untuk kemudian memisahkan diri dari kelompok yang memiliki pendapat yang berbeda. Kalau sudah seperti ini, bagaimana kita bisa bersikap toleran terhadap orang dengan agama lain sedangkan kita dengan mudahnya menilai “salah” perbuatan saudara seagama kita hingga memunculkan sekat yang mengarah pada perpecahan. Sekiranya kita berusaha menemukan lebih banyak lagi referensi yang relevan untuk sekadar membenarkan bahwa apa yang diketahui adalah valid adanya. Untuk melihat bintang, langit harus terlihat gelap, bukan? Pun begitu jika ingin merasakan kedamaian dalam beragama, kita harusnya belajar untuk menerima perbedaan. Bayangkan saja jika semua pendapat sama, cara berpakaian setiap orang sama, jika kita hidup di dunia dalam kondisi yang seragam, alangkah tidak menariknya hidup ini.

Seringkali saya mendengarkan kalimat “percuma pake jilbab kalau begini atau begitu”. Beberapa orang biasanya akan melontarkan kalimat serupa jika melihat seseorang yang tampak soleh/solehah melakukan perbuatan yang kurang baik (menurut penilaiannya), maka kalimat tadi pasti akan diucapkan dengan dalih jilbab yang dikenakan. Teruntuk saudara-saudara ketjeh ku yang sering mengatakan hal ini, yang perlu kalian pahami bahwa setidaknya mereka sudah mendapat 1 poin dibanding orang-orang yang berada pada tahap pengetahuan akan kewajiban menutup aurat namun enggan beranjak ke tahap pelaksanaan.  Nah, mari kita ibaratkan proses hijrah seseorang dengan merawat bunga yang baru saja ditanam. Menempatkannya pada tempat yang tepat adalah perbaikan pakaian sedangkan penyiraman bunga adalah perbaikan akhlak. Adapun mereka yang sudah mulai melaksanakan hijrah ini adalah orang-orang yang sudah menempatkan bunga tadi pada posisi yang strategis agar terkena sinar matahari, mereka hanya perlu untuk sering menyirami bunga tersebut agar dapat tumbuh lebih baik lagi.


“Melihat fenomena Hijrah dikalangan anak muda sekarang, iya mereka memang hijrah, tapi belum hijrah yang sebenarnya, banyak yang hijrah hanya sebatas penampilan (pakaian) saya, dan mungkin termasuk diri saya sendiri. Ada yang menganggap hijrah itu mudah, hanya sekedar berpakaian syar’i. Memakai pakaian sesuai ketentuan agama. Iya itu memang salah satunya, tetapi bagi saya, hijrah sebenarnya tidak semudah yang saya bayangkan, banyak hal yang perlu kita ubah, bukan hanya dari pakaian saja”
Zamzam Adam (Mahasiswi semester VI Pendidikan Bahasa Inggris STAIN Parepare)

“Pendapat saya mengenai fenomena hijrah dikalangan anak muda hari ini. Ada yang hanya sekedar dimulut saja, namun belum mampu menguasai/memahami yang namanya hijrah. banyak anggapan bahwa hijrah hanya sekedar berpakaian Syar’i, namun dari cara ia berlaku belum menggambarkan tengah dalam proses berhijrah”
Nurhana (Mahasiswi semester II Pendidikan Bahasa Arab STAIN Parepare)

“Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama itu pasti tidak mudah, dan memulai sesuatu yang baik pastilah banyak rintangannya. Salah-satu yang berat mungkin adalah pandangan dan perlakuan orang-orang disekitar yang mungkin masih susah menerima keputusan yang diambil. Yah selama hijrah yang dilakukan benar-benar mendatangkan kebaikan untuk diri dan orang disekitarnya, kenapa harus disalahkan ? siapalah kita menyalahkan orang lain, yang merasa pintar padahal bodoh saja tidak punya [Kutipan Buku, Alm. Rusdi Mathari]”
Kiki Reski A. (Mahasiswi semester VIII Pendidikan Bahasa Arab STAIN Parepare)

“Saya ikut berbahagia dan bersyukur dengan fenomena tersebut, apalagi terhadap teman-teman (khususnya kaum hawa) untuk menjadi pribadi yang lebih baik, gemar bersedekah, menghadiri majelis ilmu dan lain sebagainya, masih banyak hal positif yg mereka ikuti. Bukan kah hal tersebut patut disyukuri? Namun, yg menjadi titik kerancuan perjalanan mereka adalah ketika mereka menfirqoh"kan diri sehingga mereka hanya ingin bergaul dengan sesama pengguna pakaian syar'i, mereka yg hanya pakai jilbab segitiga bermuda, eh jilbab yg tipis nan kurang panjang apalagi yang tidak pakai jilbab mereka anggap bukan dari golongan dan bahkan tak jarang mereka mungkin saja merasa lebih baik dari yang lain (ujub), bukankah itu justru mengalirkan dosa? but, entahlah wallahu'lam. Hanya Tuhan dan mereka yang tahu, niat dan prosesnya”
Anonim (Mahasiswi semester IV Pendidikan Bahasa Ingris STAIN Parepare

Di kutip dari kolom komentar e-Paper Ngemper! Edisi II
 

Alangkah lebih baiknya jika kita tidak gegabah untuk menyampaikan sesuatu dan mengurangi kata  “jangan” yang diucapkan, apalagi terkait dengan persoalan ibadah, agar tidak terkesan nyinyir untuk dibenarkan, toh masih ada kemungkinan benar atau tidaknya. Bagaimana jika ilmu kita yang minim ini suatu saat akan menyesatkan orang lain? Sudah mampu kah kita bertanggungjawab atas perkataan yang diucapkan? Lucunya, beberapa saudara kita lumayan up to date dalam hal nge-post proses hijrahnya ke khalayak. Untuk apa kita menceritakan diri kita yang hijrah ini kepada teman-teman sosmed ? Lah kok, yang menilai hijrah kita cuma yang Mahasuci loh, not others. Saya rasa hal seperti semacam ini tidak perlu di-publish ke khalayak sebab akan lebih baik menjadi catatan pribadi. “Lah itukan bagian dari dakwah Mir !” tegas sergap temanku, tidak salah jika sosial media digunakan untuk sarana dakwah, tapi coba kembali periksa hati kita, niat kita sudah betul-betul karena-Nya atau karena melihat seseorang yang terlihat pantas menggunakannya, lalu memuculkan keinginan untuk meniru? ataupun bahkan ingin sekadar mendapat komentar positif (pujian) dari orang lain? Saya tidak mencoba untuk menjatuhkan penilaian demikian ke  siapapun, saya hanya mencoba menuliskan sesuatu yang didorong oleh kolaborasi akal dan hati.
Di akhir tulisan yang kesannya agak sarkastis ini, saya hanya ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk sama-sama belajar lebih banyak lagi, berjalan lebih jauh lagi, melihat lebih luas lagi, dan mendengar lebih teliti lagi agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang memiliki nalar yang kurang sehat. Jika benar kurang sehat, ayok segera di Up Grade. Sekali lagi, Sungguh, saya tidak tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun. Mari sama-sama memperbanyak tadabbur dan tafakkur. Jangan lelah menjadi orang baik karena Dia-lah hakim yang Maha Adil. Wallahu a’lam bishawab. Manusia hanya bisa menilai yang dzahir sedang Allah Maha Mengetahui.
 

AndiAl Amirah An Nabilah
(Mahasiswa STAIN Parepare - Redakturi Ngemper!)

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama