Media social kembali gaduh oleh video pembacaan Puisi dari Sukmawati
Soekarnoputri, puisi yang berjudul Ibu
Indonesia dianggap melecehkan Islam, atau bahasa kerennya (yang belakangan
sempat tenar) “Penistaan Agama”.
Kegaduhan itu memicuh reaksi dari berbagai kalangan, dari Agamais
itu sendiri, akademisi, politisi, bahkan juga memicu perdebatan antara dua
sahabat berbeda latar belakang, ialah Anwar si Mahasiswa tehnik semester akhir
dan Udding si petani millennial yang mendeklir dirinya sebagai seorang Pramis.
Perdebatan Anwar dan Udding bermula ketika Udding membagikan
video pembacaan puisi anak bilogis Soekarno tersebut ke laman facebooknya, yang
tidak lama kemudian di komentari oleh Akun Facebook Anwar Cayank Tante yang tak lain ialah akun Facebook Anwar. Padahal
saat itu mereka duduk berdampingan, ngapain dikomenin di facebook coba ?
ada-ada saja si Anwar ini.
Vidio tersebut diposting Udding dengan caption “Puisi Ibu Indonesia, yang lagi viral. Apa
pendapat kalian setelah melihatnya ?” terlihat dibawah kolom komentar
kicauan Anwar “Wah ada lagi nih yang
menistakan agama !” jelas Anwar dengan Akun Anwar Cayank Tante. Membaca komentar tersebut, Udding kemudian
mencoba membalas, tetapi karena menyadari Udding tepat duduk disampingnya,
pikirnya tak perlu membalas di facebook langsung ngomong saja. Harusnya memang
seperti itu sih.
“jangan langsung
menjatuhkan hukuman bahwa ia telah menista Agama !” tegas Udding kepada
Anwar.
Anwar tak pikir panjang, ia langsung menimpali argumentasi
Udding dengan sanggahan juga, “Coba pikir
saja setelah mendengar atau melihat dengan jelas vidionya, Apakah itu tidak
menistakan Agama kita !”
Udding dengan sigap menyergap sanggahan Anwar yang
bau-baunya sudah membawa sensitifitas Agama “Puisi
itu tidak bermakna tunggal Anwar ! Seseorang atau bahkan suatu kelompok tidak
bisa memberikan pemaknaan yang kemudian memaksakan pemaknaan itu sebagai
satu-satunya makna atas sebuah puisi”.
Anwar yang dijuluki sebagai harimau forum di kampus tak mau
kalah dengan Udding yang notabenenya lulusan SMP kelas dua itu, “lalu apa makna sebenarnya ? bagaimana
mungkin bisa dianggap sebagai multi makna jika didalam puisinya tidak berusaha
mengekplor bahasa bahkan disampaikan secara eksplisit !” tegas Anwar.
BACA TULISAN ANABEL LAINNYA DISiNI
Udding dengan sigap menyergap balik, “Memang secara kualitas puisi itu tidak baik atau secara implicit jelek
! tetapi walau demikian penulisnya tetap punya argumentasi tersendiri atas
puisi yang ia buat, yang belum tentu sama dengan pemaknaan yang lahir dari
pembaca atau pendengar dalam hal ini masyarakat, saya tetap berpendapat
bahwasanya tidak ada yang perlu direaksikan gaduh dari puisi yang tidak
berkualitas itu, cuman karena memang puisi itu dicipta dan dibacakan di kondisi
yang memang sementara rawan untuk membahas soal Agama, apalagi Agama Islam
sebagai mayoritas di Indonesia, Sukmawati bisa saja berargumentasi bahwasanya,
kebudayaan Indonesia lebih dahulu Ada ketimbang Budaya Kearab-araban yang kini
menjamur di lorong-lorong kampus, tetapi bagaimana pun ia akan terbantahkan
oleh sanggahan ; Allah yang menciptakan Indonesia, sudah jelas kalimat itu
sebagai penutup dari segalanya, karena karya hasil penelitia ilmuan besar pun
tidak ada apa-apanya ketimbang Allah yang maha besar”
Begitu panjang lebar bahkan sampai kemana-mana Udding
menjelaskan, Anwar kemudian menyalip di helaan nafas Udding, “yah baguslah kalo kau berpendapat bahwa
puisi itu jelek, dan saya pun meng-iyakan bahwasanya puisi pada hakikinya
selalu bermultitafsir, dan sebenarnya point keduamu lah yang membuat saya
mengapa tak menyukai puisi ini, karena ia dibacakan pada kondisi negeri yang
tak elok jika membahas Agama, karena seolah-olah, bahkan bisa saja dipahami
oleh masyarakat bahwa ia sedang berargumen politik, berargumen tentang
nasionalisme yang kian terpinggirkan yang berbanding terbalik dengan militansi
orang-orang untuk ber-Tuhan, puisi tersebut (walau pun dibacakan dalam acara Fashion
Week), tapi bisa saja diartikan sebagai sikap politik. Terakhir puisinya jelas
buruk sekali, karena bersifat kontradiktif seperti yang di ungkapkan Hasta
Indriyani di Tirto.Id, bagaimana bisa ia bilang (Aku tidak tahu Syariat Islam)
tetapi kemudian membandingkan Sari Konde yang lebih indah/cantik ketimbang
Cadar), kemudian soal Kidung yang katanya lebih merdu dari Adzan” tegas dan
panjang jua, Anwar menjelaskan.
Nada suara mulai menurun, urat leher pun tak begitu terlihat
saat keduanya berargumentasi, oleh karena beberapa pin yang sudah dipahami
bersama begitu pun bahwa dalam berargumen, semua orang berhak mempunya pendapat
masing-masing.
Pada akhirnya perdebatan itu tak berujung dengan point gamblang
tentang apa sikap dan reaksi dari keduanya, begitupun situs ngemper.com yang tidak berusaha
memberikan sikap dan reaksi yang berlebih atas keberpihakan terhadap satu
sikap. Walau perdebatan tidak berujung dengan point jelas, tetapi perdebatan
mereka juga tidak berakhir seperti rapat-rapat anggota dewan, atau diskusi
mahasiswa yang berakhir pencopotan bendera dan tonjok-tonjokan antara
organisasi.
Kemudian Tante Ati teriak dari dalam dapur, “yang seharusnya disikapi berlebihan ialah, penembakan petani tak berdosa di Luwu Banggai, petani kendeng, atau Kulon Progo. Atau bagaimana dengan kasus First Travel yakni kasus penipuan yang mengatasnamakan Agama, dimana reaksi berlebihan para ummat calon penghuni sorga itu !”
Perdebatan berakhir, Anwar dan Udding kembali bersulang
canda tawa dengan dua gelas kopi hitam seduhan tante Ati sembari berucap
bersama “tertib nalar ! up grade IQ !”.
Catatan : Obrolan Anabel (Analisa Gembel) adalah konten Ngemper! yang diisi
oleh tulisan-tulisan dari para redaksi (khusus), tetapi tidak kemudian menutup
kontribusi tulisan dari pembaca. Obrolan Anabel berisi tulisan-tulisan singkat
dan ringan, penulisannya di buat seperti cerpen atau esai berisi beberapa
dialog. Didalam setiap tulisan, tokoh utama yang selalu ditampilkan ialah Anwar
(Mahasiswa semester akhir, mantan presma yang telah di kudeta atas kerjasama
fakultas tehnik dan rektorat), Udding (Petani millennial yang diwaktu senggang
nongkrong bersama Anwar, berprofesi sebagai petani tidak kemudian membuat
Udding hanya memikirkan lahan garapan, pupuk yang semakin mahal dll, tetapi
juga punya wawasan luas tentang konstalasi politik negeri dan mekanisme ekonomi
politik global, karena menurutnya lahan garapannya bisa saja direbut oleh
kebengisan-kebengisan pemodal), selanjutnya ada Tante Ati (pemilik warung, Adik
dari Ibu Anwar, pemilik warung tempat Anwar dan Udding sering nongkrong, warung
yang di dindingnya terpajang koleksi buku-buku milik tante Ati, seperti
Marxisme Dialektis Marxisme History, What’s to be Done ? Madilog, Novel Ibunda
karya Maxim Gorky, Tetralogi Pulau Buru mahakarya Pram dan masih banyak lagi).
Tema disetiap tulisan bermacam-macam, bahkan ditentukan oleh isu atau moment
tertentu, atau yang lagi trend dan up to date.
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.