Pendidikan Sebagai Jalan Keluar
Kemiskinan?
Beberapa kalangan dalam masyarakat kita masih
mempercayai bahwa kemiskinan di negeri ini adalah akibat dari ketidakmampuan
masyarakat dalam mengolah realitas ekonomi menjadi faktor pemicu peningkatan
taraf hidup ekonomi nya. Ketidakmampuan ini dalam beberapa kesempatan sering
disebut sebagai “kebodohan”. Sehingga “bodoh”, dalam pandangan mereka, adalah
akar yang menyebabkan rendahnya produktivitas ekonomi, dan merupakan kewajaran
jika melahirkan kemiskinan.
Sejajar dengan garis berpikir ini, pemerintah
kemudian melakukan berbagai macam pembenahan dalam sistem pendidikan yang
ditujukan untuk mengusir kebodohan sehingga mampu mengusir kemiskinan. Beberapa
pembenahan yang dilakukan diantaranya adalah peningkatan anggaran pendidikan,
perbaikan infrastruktur pendidikan (seperti pembangunan sekolah dan peningkatan
kualitas pengajar), serta perbaikan kurikulum pendidikan. Pembenahan-pembenahan
tersebut dalam pengertian formalnya dapat dikatakan bagus, yaitu meningkatkan
kekuatan produktif masyarakat. Namun hal ini juga sekaligus mampu menyeret
kegelisahan masyarakat akan pendidikan menuju garis berpikir yang demikian. Hal
ini suka tidak suka telah membuat kalangan yang berpikir bahwa pendidikan
(dalam pengertian formal nya) adalah solusi dari kemiskinan, beserta masyarakat
yang terseret dalam cara berpikir demikian, beberapa tahun yang lalu sempat
terlibat dalam euforia tersendiri. Bagi mereka, “jalan keluar yang kita lakukan
sudahlah benar”
Namun setelah “waktu”
kembali berbicara, dimana perbaikan dan pembenahan pendidikan sejak reformasi
tidak kunjung menuntaskan masalah kemiskinan, melainkan memperbesar jumlah nya,
kalangan ini kembali terbagi kedalam dua kubu. Kubu yang pesimis kembali
kebingungan dalam mencari alasan tentang konsep pendidikan yang tepat bagi
penuntasan masalah kemiskinan. Mereka kembali menggali konsep pendidikan dari
belahan dunia lain untuk menemukan konsep pendidikan yang tepat. Sayang tempat
pencariannya adalah negara-negara yang tingkat pendapatan negara dan
masyarakatnya berlipat-lipat dari Indonesia. Sedangkan kubu yang optimis dengan
tenang mengatakan “kita butuh waktu untuk merasakan apa yang telah kita
kerjakan selama ini”. Sungguh ilusi yang sangat menyedihkan!!
Sebelum kita harus terjebak dalam “proses
menunggu hasil dari yang sudah dilakukan” yang terlihat lebih senang menanti
keajaiban tersebut, kita harus terlebih dahulu bertanya: Benarkah perombakan
dalam sistem pendidikan mampu mengentaskan kemiskinan?
Kegagalan Konsep Beserta Prakteknya
Tentu tidak begitu sulit untuk menunjuk
kesalahan-kesalahan dan paradoks-paradoks yang terdapat dalam penerapan konsep
pendidikan yang ditawarkan kalangan tersebut. Contohnya saja dalam hal
peningkatan anggaran pendidikan yang dalam konsep nya adalah 20% dari APBN dan
APBD. Dalam prakteknya, pemerintah dengan sekuat tenaga memberi tipuan disana-sini
(cara terliciknya adalah dengan memasukkan biaya pendidikan-pelatihan setiap
departemen dan memasukkan gaji tenaga pengajar pegawai negeri kedalam
perhitungan anggaran pendidikan) agar terlihat bahwa anggaran pendidikan sudah
mencapai 20%. Hal ini ditambah pula dengan paradoks bahwa pendidikan-pendidikan
negeri hari ini sedang ”dilempar” tanggung jawab nya ke masyarakat luas lewat
UU baru yang kontroversial, UU BHP.
BACA JUGA TULISAN PERSPEKTIF LAINNYA DISINI
Dalam hal perbaikan infrastruktur pendidikan,
pemerintah juga kembali menunjukkan kemampuannya dalam menipu. Memang betul ada
pembangunan sekolah di sana-sini. Namun itu tidak berdampak pada meningkatnya
angka partisipasi sekolah secara signifikan. Yang malah lebih sering terlihat
dalam praktek adalah kembali hancurnya sekolah-sekolah yang dibangun dengan
dana ratusan juta rupiah, sekolah-sekolah yang tidak berpenghuni atau minim
peserta didik nya, dan juga bahkan kekurangan tenaga pengajar di daerah-daerah.
Peningkatan kualitas pengajar pun masih sebatas ”kemasan”, yang hakikatnya
telah direduksi habis-habisan menuju proyek ”sertifikat” semata, dan bukannya
penanganan sistematis terhadap faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya
kualitas pengajar seperti yang terpotret dalam minimnya kesejahteraan guru
(terkhusus di daerah-daerah) dan rendahnya pemahaman tentang metode mendidik
secara demokratis (yang menjadi penyebab kekerasan-kekerasan guru terhadap
murid yang merebak di beberapa daerah).
Terhadap kurikulum pendidikan nasional
pemerintah juga teledor, atau sengaja tidak tahu, bahwa Ujian Nasional yang
sampai hari ini mengundang reaksi luas telah nyata-nyata membuang peran guru
dalam kepasifan mendidik karena tidak diberi ruang untuk menawarkan kurikulum
yang tepat sebagai dasar dari penilaian terhadap peserta didik. Tentu kita
tidak menolak konsep ”standar nasional” dalam pendidikan nasional kita, dalam
pengertian bahwa kita membutuhkan alat yang dapat mengukur sekaligus memacu
kemampuan sebuah generasi agar siap mengelola potensi ekonomi politik bangsa.
Namun dengan mengabaikan peran guru sebagai pihak yang paling mampu mengenali
masalah peserta didik, ”standar nasional” hanya akan menjadi formalitas belaka
yang tidak berdialektika (baca:berkembang) dari pengalaman pendidikan
sehari-hari. Sehingga dapat dipastikan Ujian Nasional hanya akan menjauh dari
fungsi nya yang sejati, dan selanjutnya akan menjadi sarang komersialisasi
baru, sarang ketidakpuasan peserta didik, dan akhirnya menjadi babak baru
”keterpisahan pendidikan dari subjek pendidikan itu sendiri”.
Masalah dalam kurikulum yang juga sangat
fatal adalah dengan dikurangi nya pelajaran sejarah dari tingkat dasar sampai
menengah. Kurikulum sejarah nya pun masih kurikulum warisan Orde Baru (sebuah
orde yang dalam sejarah telah banyak menjual aset bangsa ini). Kita sama sekali
tidak menolak kurikulum pelajaran komputer atau bahasa inggris yang memang
menjadi satu syarat dari kemajuan dan produktivitas rakyat. Tapi dengan tidak
memaksimalkan kurikulum sejarah sejak kecil, kita sama saja tidak memberikan
dan mengajarkan kepada generasi baru sebuah bukti historis yang membuatnya
paham mengapa generasi baru rakyat Indonesia harus belajar akan hal-hal yang
bersifat modern. Dan tentu alasannya bukan semata-mata karena ”globalisasi”
seperti yang didengung-dengung kan para agen politik Neoliberal.
Dari kesemua contoh yang hadir lewat fakta
kekinian diatas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa baik dalam konsep maupun
penerapan nya, pendidikan tidak berjalan sesuai fungsinya yang terhakikat,
yakni proses memanusiakan manusia.
Mewujudkan Sistem Pendidikan Kerakyatan
Walau kita tahu bahwa apa yang diterapkan
sistem pendidikan Indonesia adalah sistem pendidikan yang pro Neoliberal
(dengan komersialisasi diberbagai infrastruktur dan kurikulum yang sarat
nilai-nilai individualistik), dan walaupun penerapan tersebut juga mampu
ditutupi oleh konsep yang seakan-akan pro rakyat (dengan anggaran minimal 20%
dari APBN), namun itu belumlah cukup untuk mendeklarasikan sistem pendidikan
yang mampu menjalankan fungsinya yang terhakikat.
Solusi sistem pendidikan dizaman yang penuh
ketimpangan, kemiskinan dan keserakahan ini tidak lain adalah sistem pendidikan
progresif, yaitu sistem pendidikan yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak
manusia sebagai mahluk yang paling beradab. Sistem pendidikan yang demikian
bersifat terus maju dengan terus melekatkan konsep manusia sebagai tujuannya.
Sistem pendidikan yang demikian tidaklah memecah konsep dari sistem
penerapannya, melainkan melekat satu dengan yang lainnya.
Maka, jika kita harus bertanya: ”Mengapa perombakan dalam pendidikan belum
mampu mengentaskan kemiskinan?”, sistem pendidikan kerakyatan akan
menjawab, karena:
1). Pendidikan belum GRATIS
Pendidikan gratis adalah syarat mutlak bagi
peningkatan sumber daya manusia lewat partisipasi penuh dari setiap generasi
untuk setiap jenjang pendidikan. Dan tentu dibangun tanpa ilusi apa pun. Konsep
pendidikan gratis akan serta merta meminggirkan kaum kapitalis yang mengambil
keuntungan dan menyebar ilusi dalam pendidikan, dan betul-betul menempatkan
manusia sebagai tujuan dari pendidikan. Slogan-slogan ”pendidikan adalah mahal”
adalah slogan yang dikembangkan para pemilik infrastruktur pendidikan agar
mereka dapat mengambil keuntungan dari kebutuhan rakyat terhadap pendidikan.
Jadi, bukan dengan anggaran 20% dari
APBN/APBD (karena angka nya dapat ditipu sana-sini) yang membuat pendidikan
dapat diakses penuh oleh seluruh rakyat, tapi pendidikan gratis, yang jika
ditangani dengan sistematis serta bebas kepentingan modal, mungkin hanya akan
memakan 15% dari anggaran.
2). Pendidikan belum ILMIAH
Pendidikan yang ilmiah bukan semata-mata
memasukkan ribuan teori kedalam kurikulum pendidikan, tapi lebih dari itu,
pendidikan yang ilmiah adalah pengujian yang jujur dan konsisten diantara teori
dan praktek. Hanya pendidikan yang demikianlah yang menjamin lahirnya banyak
ilmu baru yang berguna bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Pendidikan yang
ilmiah tidak akan menutupi sejarah. Termasuk didalamnya sejarah kelam Orde Baru
dan sejarah kebangkrutan Kapitalisme.
3). Pendidikan belum DEMOKRATIS
Syarat terpenting lainnya, yakni dalam hal
metode menjalankan pendidikan adalah tentang demokratisasi di seluruh lapangan
pendidikan dan kepada semua subjek pendidikan. Metode yang demokratis dalam
menjalankan pendidikan berarti memberi ruang yang luas bagi peserta didik, guru,
orang tua, dan masyarakat untuk berpartisipasi, mengkritik, mengajukan
pendapat, berdebat tentang kurikulum, peraturan dan apa pun yang menyangkut
tentang pendidikan. Pendidikan yang demokratis akan menciptakan keseimbangan
kekuatan dan kesetaraan dalam proses pendidikan, sehingga proses pendidikan
berlangsung tanpa paksaan, melainkan didasari pada ”rasa ingin tahu” dan
sukarela.
4). Pendidikan belum BERVISI
KERAKYATAN
Sebagai sebuah visi, ”kerakyatan” berarti
orientasi yang penuh kepada rakyat. Pendidikan yang bervisi kerakyatan memiliki
kunci pada aspek kegunaannya yang strategis bagi rakyat banyak. Pendidikan yang
bervisi kerakyatan dengan sendirinya mengeliminasi segala hasil pendidikan yang
digunakan oleh pribadi, untuk kemudian dipergunakan sepenuh-penuhnya bagi
kepentingan rakyat banyak.
Namun benarkah sistem pendidikan kerakyatan
diatas mampu membuang jauh kemiskinan? Disinilah letak kekacauan berpikir
kalangan idealis-humanis dalam pembukaan tulisan ini, dimana mereka memandang
bahwa perombakan dalam sistem pendidikan dapat menghapus kemiskinan.
Kalangan ini mungkin hanya melihat kebutuhan
manusia akan pendidikan saja. Seakan-akan manusia tidak butuh makan, rumah,
pekerjaan, dan lainnya. Atau kalangan ini terlalu takut untuk berada dalam
lingkaran ilmu multidimensi, sehingga dengan cepat kehilangan akal sehatnya.
Bagaimana mungkin kalangan ini dapat berpikir bahwa sistem pendidikan terpisah
dari sistem ekonomi politik nya, sehingga dapat dengan bebas menentukan sistem
pendidikan? Tentu saja hal ini adalah salah!!
Sistem pendidikan merupakan produk langsung dari sistem kekuasaan ekonomi politik yang berlaku di sebuah negara. Dia adalah salah satu sarana yang membuat sistem ekonomi politik dapat bertahan. Oleh karenanya, penyelesaian masalah kemiskinan tidak dapat direduksi pada masalah pendidikan, melainkan kemiskinan lah yang menyebabkan masalah dalam pendidikan itu sendiri.
Pertanyakan saja pada pemerintah berkuasa
hari ini, apakah mereka sanggup menjalankan sistem pendidikan yang
terdeklarasikan diatas? Tentu saja mereka tidak akan sanggup! Mereka pasti
lebih memilih mempertahankan pundi-pundi nya yang terisi penuh dalam sistem
hari ini, daripada harus merombak sistem pendidikan progresif, walaupun lebih
berguna bagi rakyat banyak,tapi secara pasti dapat menciderai kekayaan dan
kekuasaannya. Sehingga, sistem pendidikan Kerakyatan pun tidak dapat dicapai
tanpa terlebih dahulu merombak sistem ekonomi politik yang menghalanginya,
yaitu Kapitalisme Neoliberal. Dan, oleh karenanya, pendidikan yang kerakyatan,
sejatinya hanya terdapat dalam gerakan penumbangan sistem
kapitalisme-neoliberal itu sendiri.
Mika Kibar Darmawan (Aktivis Sosial & kemanusiaan)
Edt. Idam B.
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.