Kabar Dari Jakarta Untuk Midda


Riuh rendah dapur tetangga memaksaku terbangun dipagi yang sudah tua. Aku bergegas, Aku beranjak.
Aku berjalan menyusuri sudut-sudut kota, tujuanku ? aku pun tak tahu mau kemana. Tapi hentian itu ada, ialah ketika lelah sudah menghampiri. Diluar rumah, Jakarta masih terlihat seperti biasa, mendendam kehidupan memendam cinta, tak ada yang istimewa.
Duduklah aku di bangku belakang trans Jakarta yang melaju dari halte Harmoni ke Kampung Melayu, kemegahan ibu kota mengundang decak kagum, tanpa orang tahu, dibalik semua itu banyak kesengsaraan yang coba disembunyikan oleh orang-orang yang mencipta semua itu.
Beranjak turun dari halte Kampung Melayu, aku berjalan dengan sepatu kusam yang kubeli diawal kedatanganku di Jakarta. Jejak langkahku terukir dibawah angkuhnya matahari, kala itu di simpang jalan menuju klender. Lusuh pakaianku karena keringat kesah, kutaruhnya kemeja hitam dipundakku, kemeja yang dititipkan Midda sebelum berangkat dan meninggalkannya atas nama cita dan mimpi, hmm… kelucuan itu teringat lagi.
Aku kembali menghentikan langkah, mencoba berteduh dari sinar matahari tepat dibawah jembatan penyeberangan, kopi hitam yang mengisi gelas plastik bekas air minum mineral cukup menjadi sarapan diwaktu makan siang itu. Hahh… semuanya memancing ingatan, saat dimana Aku, Midda dan secangkir kopi bercengkerama di beranda rumah, kami asyik bercerita tentang hujan, puisi, bunga dan anggur merah.
Bicara soal cinta, Aku dan Midda beranggapan bahwa mengartikan cinta tak cukup hanya dengan madah-madah untuk kekasih, karena cinta luas dan sarat makna, nalar terkadang tak mampu memahaminya, tapi bukan berarti logika manusia itu terbatas, tiada batas untuk berpikir ! hanya saja kita dipaksa untuk mengetahui sepetak saja dari luasnya dunia.
Bagi kami, cinta tak serumit yang digambarkan dalam frasa kisah ataupun sajak dan hikayat-hikayat. Cinta tak bisa jika hanya dipikirkan, karena akan sulit memahami romansa yang kami cipta dari keceriaan bercerita tentang hujan di terik mentari, atau mencumbui bulan di siang hari.
Sejak mengenal Midda, dan akhirnya merajut hubungan intim yang diikat dengan komitmen. Aku semakin kaya akan rasa. Midda bukan ratu jika pun aku adalah seorang raja, bisa jadi ia adalah seekor kuda yang mampu membawaku melintasi suguhan semesta, atau mungkin cenderasah tajam yang terselip dipinggangku, yang mampu menebas leher orang-orang yang ingin mencelakaiku, atau mungkin juga ia adalah mahkota atau tahta yang harus kujaga dan kupertahankan. Midda bukanlah isteri shalih seperti wanita dijaman kenabian, ia juga bukan dambaan para penyanjung wanita berniqab. Midda yang lugu dan polos terkadang mencumbuiku dengan caranya sendiri, tak seperti kebanyakan orang-orang. ia bisa menjadi rumah dimana aku merasa nyaman dan aman, ia selalu menjadi secangkir kopi, bercerita, tertawa di setiap kondisi, ia pun terkadang menjadi Semesta yang mengandung banyak teka-teki, menyimpan anugerah dan juga tersimpan petaka. ia selalu berkata bahwa, romansa yang indah adalah ketika kita mampu menyiasati waktu, keindahan dan semesta.
Kami tak pernah merasa sepi walau berjalan berdua dikeheningan malam, apalagi saat ia melepaskan senyumnya tanpa paksaan, ia begitu sederhana.
Sampai akhirnya, ruang menjadi penghambat untuk saling menggenggam jemari, kami hanya berkabar dengan surat atau menyapa dengan bantuan teknologi di abad millenium ini. Ia tak pernah mengeluh dalam penantiannya, walau ku tahu ia pasti resah saat sunyi dan rindu menghampiri. Yah seperti itulah kesederhanaan Midda, Aku rindu. Haahhh… maaf jika aku larut menceritakan keistimewaan Midda bagiku.
BACA TULISAN SEMANTIK LAINNYA DISINI
Asyik mencumbuinya dengan ingatan, tak terasa senja mulai membuka malam, dan ternyata benar aku pejalan yang tiada tuju.
Dari panjang perjalananku, lelah tak urung menghujam, seolah mencoba dengan keras mendorongku agar terjatuh di kubangan pecundang-pecundang. Sayangnya, ia tetap tak bisa, setidaknya sampai saat ini.
Aku bersiah sejenak, kembali memilih jutaan kenangan dimemori untuk dikenang. Saat itu, diantara gelap ibu kota kucoba mengirim kabar untuk Midda. 
Hentian itu mengukir jejak, tentang kedip, endapan kopi yang enggan untuk diteguk, dan bunga yang layu, setiap hari, begitu seterusnya. Aku berdiri dan memandangi gemerlap ibu kota, dari atas ujung gedung tak berpenghuni. Kusaksikannya dua pasang kaki yang melangkah tak seirama, ada yang berjalan pincang, ada pula yang berjalan tapi tak berujung, tak jelas arahnya. Aku salah satu diantaranya.
Pelan kutuliskan kata penyejuk jiwa untukmu yang tengah resah, tak hanya kata demi kata, puja puji, dan madah-madah, kukirimnya juga dalam secarik kertas, keluh kesahku bersama senyuman yang semoga saja kau tahu ; diantara penghakiman semesta yang tiada henti mencoba merenggut mimpiku, aku selalu menyintamu walau jarak mengesahkan rindu, walau jejak mengisahkan kesunyian. Karena semesta pun tahu, sunyiku adalah nikmat yang tiada banding, walau tiap harinya ia menantangku dengan angkuh.
Itulah nikmatnya menjadi seorang pengelana sayangku, ada banyak sunyi yang menanti, ada banyak kisah yang akan diceritakan saat tiba waktu pulang, dan pastinya mencipta jarak untuk kita bisa lebih menikmati rasa rindu. Walau demikian, tak ada pundak untukku bersandar dari lelah, untung saja masih ada halte bis atau trans Jakarta bersama dengan orang-orang malang lainnya. Aku tidak tahu pada siapa peluh ini ku kesahkan, pada Tuhan ? maaf aku tak begitu akrab denganNya.
Diantara dua helaan nafas, kutuliskan akhir kalimat disuratku untuk Midda :
“Midda, sabar, teguhkan niatmu, nikmati saja rindumu, cumbui saja kenangan dengan teriakmu, karena Aku tak akan pulang sebelum semesta dalam genggaman”.

Idam Bhaskara *redaktur Ngemper!

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama