“Ya Tuhan, aku telat.” Aryo melajukan
mobil keluar dari garasi rumah, kuliah pagi adalah perjuangan yang berat bagi
seseorang seperti Aryo. Tapi kewajiban untuk mengikuti setiap perkuliahan membuatnya
berusaha sekuat tenaga untuk bangun pagi terlebih sang ayah sudah memrotesnya
karena aktifitas yang dia ikuti sering dianggap mengganggu perkuliahan.
Aryo hanyalah satu diantara ribuan mahasiswa Universitas
Merdeka yang termasuk mahasiswa paling populer karena kekritisanya, Sekretaris
Jendral Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Universitas menjadikanya sosok Aryo
sangat mudah untuk dikenali di hampir setiap sudut kampus. Wajar saja bagi
seorang aktivis seperti dia membuat susah bangun di pagi hari. Terlebih Pak
Anggoro, dosen yang pagi itu mengajar juga sudah memberi peringatan kepada Aryo
karena dianggap terlalu banyak aktifitas diluar perkuliahan bahkan memberikan
ancaman secara terbuka di depan teman sekelasnya karena sering terlambat bahkan
absen dari perkuliahan hanya demi aktifitas kampus.
Dengan sigap dia mengambil buku dan tas yang ada di jok
mobil samping Aryo sesaat setelah dia berhasil memarkirkan mobil layaknya
pembalap, membuka pintu mobil dan memencet tombol kunci sambil terus bergumam
pada diri sendiri.
“Mampus…. Mapuuusss….
Aku telat….” Gumam Aryo.
Dia berlari menyusuri jalan kampus sambil sesekali menerima
sapaan kawan-kawan yang memberikan lambaian salam hangat buat Aryo. Itu sudah menjadi
kebiasaannya jika sedang berada di kampus atau bahkan ketika sedang asyik
nongkrong di kafe langgananya. Aryo hanya bisa memberikan lambaian tangan atau
kode dengan menunjuk jam tangan.
Di depan lift kampus, sesekali dia membuka buku. Memeriksa
apakah ada yang tertinggal ataukah ada yang kurang. Tak sadar, saat pintu lift
terbuka. Matanya terinterupsi oleh sosok tinggi dan tegap yang berdiri di dalam
lift, wajahnya putih bersih dengan dada bidang tergambar jelas dalam lekukan
kaus biru bergambar logo Superman warna merah, dibalut dengan kemeja krem
kotak-kotak dan celana jeans biru seirama dengan kaus yang dikenakan.
“Mau masuk, bro?”
Pria itu mencoba menyadarkan Aryo yang sejenak tertegun.
“Eh… I.. Iya, maaf.”
Ucap Aryo mencoba menyadarkan diri.
Aryo memasuki lift. Saat akan menyentuh tombol tutup. Tanpa
sengaja sosok yang sejenak menginterupsi Aryo itu juga menyentuh tombol tutup.
Jarinya saling bersentuhan membuat mereka sama-sama terkejut dan saling meminta
maaf seraya Aryo memencet tombol lantai 5.
Pintu lift terbingkai kaca. Tapi justru itu yang membuat
jantungnya bergejolak. Jarak lantai dasar hingga lantai 5 seharusnya sangat
dekat dan cepat, tapi kali ini tidak biasa. Pergerakan lift terasa sangat
lambat dan membuat Aryo semakin salah tingkah, sesekali matanya tertuju pada
sosok disampingnya. Matanya berkali-kali melirik melihatnya dari kaca depan.
Dia tergambar jelas di kaca pintu lift.
Selama dia di kampus itu, rasanya baru kali ini dia melihat
anak itu. Mungkin karena sosok lelaki tinggi tegap yang berdiri disampingnya
membuat Aryo berfikir kehilangan satu sosok yang mencuri perhatiannya saat itu
diantara ribuan mahasiswa. Pikiranya terus melayang tak tentu arah dan dadanya
semakin berdegub kencang tanpa memahami apa yang sedang terjadi.
“Hallo, aku Irfan anak
hukum. Kamu Aryo, kan? Anak BEM yang terkenal itu, anak Fakultas Psikologi,
kan?” Entahlah, angin apa yang membuat tangan sosok tegap di samping Aryo
mengarah untuk memberikan salam perkenalan.
“Eh… Iyah, kok tau?”
Aryo mencoba mengangkrabkan diri berusaha bersikap biasa.
“Siapa sih yang nggak
kenal Sunaryo Wicaksono anak gang Melati No 34 mahasiswa Semester 7 Fakultas
Psikologi Universitas Merdeka yang menjabat jadi Sekretaris Jendral Badan
Eksekutif Mahasiswa Universitas” Irfan mengucapkan dengan lantang dan jelas
DEGH!!!
Mata Aryo terbelalak menatap Irfan yang menurutnya baru
dikenalnya beberapa menit yang lalu. Bahkan Aryo sendiri tidak paham seseorang
bernama Irfan karna tak sempat lagi bibirnya menanyakan siapa Irfan sesungguhnya
saat pintu lift terbuka dan Irfan melenggang sambil mengedipkan matanya ke arah
Aryo yang terkejut dengan apa yang terjadi beberapa saat sebelumnya dengan
bibir yang menganga namun tak mampu lagi mengungkap apapun.
Seharusnya itu bukan sesuatu yang aneh bagi Aryo, bahkan dia
begitu terkenal di kampus yang konon melebihi rektor Universitas Merdeka. Namun
apa yang terjadi barusan benar-benar mencuri perhatianya bahkan perkuliahan Pak
Anggoro yang terkenal killerpun tak lagi menjadi fokusnya kala itu.
Ingatanya tentang Irfan masih terpatri kuat dalam otaknya.
Hanya Irfan yang berhasil menbuat sosok Aryo terdiam dan terpaku tak berdaya
pada sesuatu yang seharusnya sudah biasa namun kali ini benar-benar luar biasa.
“Yok…. Kamu kenapa
sih?” cletuk Rani yang melihat Aryo cuman bengong di kursi kantin kampus.
“Eh… Iyah Ran, anggak
papa kok” jawab Aryo sekenanya sambil salah tingkah.
Rani adalah sahabat terdekat Aryo, begitu dekatnya membuat
seantero kampus berfikir bahwa mereka pacaran. Rani, staff Divisi Politik dan
kemahasiswaan BEM Universitas. Sosok cewek kudus, cantik dan berhijab tapi
tomboy, independen dan mandiri karna terkadang kita bisa mendapati Rani yang
mempromosikan jualan onlinenya di sela rapat BEM atau bahkan saat ada kegiatan
kampus sekalipun dia sangat idialis dan kritis dalam setiap masalah termasuk
menjadi garda depan saat demo-demo terjadi.
Tapi jangan salah, salah satu alasan dia menjadi garda depan
saat berdemo dan berorasi adalah kegemaranya berkenalan dengan polisi-polisi
yang berjaga saat berdemo, entah kenapa Rani bisa begitu agresif ketika bertemu
dengan polisi dan mendekatinya sepertinya tak satupun polisi yang berhasil dia
gaet. Kalaupun bisa, biasanya tak bertahan lama.
“Ah Aryo… Gak
mungkinlah gak ada apa-apa. Diem gitu bilang gak ada apa-apa” Ungkap Rani
memrotes.
Aryo hanya bisa tertawa terbahak-bahak sambil tanganya
menggapai minuman yang ada di meja, belum sempat meminum. Tak jauh di seberang
kursi ada Irfan yang menenteng baki makanan dan duduk tepat berhadap-hadapan
denganya bersama seorang wanita putih cantik dengan rambut panjang terurai
duduk di sampingnya.
Minuman yang masih dimulut Aryo tersentak keluar begitu
melihat Irfan duduk tepat di seberang dia dan Irfanpun tersenyum sambil
melambaikan tangan dan membuat wanita yang ada di sampingnya sejenak
memperhatikan Aryo dan tertawa. Aryo hanya bisa tersenyum dan
mengangguk-angguk.
“Duuuh, apaan sih
Aryoook” Rani marah dan berdiri, untung tak terkena air minuman yang
tersentak tadi.
“Maaf… Maaf…” Aryo
mencoba meminta maaf pada Rani.
“Kenapa sih Yok?…”
Rani mencoba memperhatikan apa yang dilihat Aryo.
“Kamu kenal dia?”
Aryo memberi kode dengan dagunya yang mengarah pada Irfan.
“Oooh… Sisca?
Hayoooo…. Kamu naksir Sisca ya?” Jawab Rani.
“Bukan, bukan yang
cewek. Itu yang cowoknya.” kata Aryo.
“Irfan? Anak Hukum
itu?”
“Iya, kamu kenal?”
“Halah, kamu tuh lupa
kalo aku anak Hukum juga atau emang kepalamu lagi kejedot meja?”
“Ya elah, sampe
segitunya, karna kamu anak Hukum mangkanya aku tanya kamu.” Kata Aryo.
“Kita kan sekelas, lagian
dia juga anak Basket kan? Masak kamu gak kenal?” Jawab Rani dengan tegas
menjelaskan.
“Jiah, kamu kan tau
sendiri aku nggak suka olah raga mangkanya kalo rapat divisi minat dan bakat
bidang keolah ragaan jarang ikut.” Jawab Aryo mencoba mencari alibi.
“Mangkanya otak jangan
dipakai cuman mengurus demo aja, sesekali kek merakyat… Blusukan, jangan cuman
beronani dengan wacana-wacana langit mulu.” Rani mulai memberikan nasehat
saktinya.
“Bahasamu, Ran. Berat
anget, Ran.”
“Hla iyah, mangkanya
jangan cuman maen ke BEM Fakultas atau HMJ aja, itu UKM juga butuh loe sebagai
Sekretaris Jendral BEM Universitas.”
“Apaan sih, Kamu. Ampe
bawa-bawa yang gituan.”
“Ya iyalah, masak
sampai tidak mengenali Tim Basket Universitas yang udah membawa nama
Universitas ini ampe kelas Nasional? Dia aja ikutan TC (Technic Course.Red) Tim
Basket Propinsi buat PON loh.”
“Oh ya?” Jawab
Aryo seperti tidak percaya kalau sampai dia tidak mengenali Irfan.
“Hadeh, bapak
sekretaris jendral BEM yang terhormat. Dia itu, terkenal banget di kampus
apalagi banyak cewek-cewek yang naksir dia. Gimana gak naksir, bodynya….
Wajahnya… Ugh… Top Markotop.” Kata Rani sambil memperagakan bentuk body
dengan tanganya.
“Hla Kamu naksir juga?
Tumben suka anak atlet.” Cletuk Aryo.
“Enggaklah, aku lebih
milih pak polisi aja.” Jawab Rani sambil mengerlingkan matanya.
Tiga bulan setelah kejadian itu, tapi Aryo tidak bisa
membohongi hatinya bahwa Irfan telah mencuri perhatian dan fokusnya. Bahkan
beberapa kali Aryo dianggap tidak fokus saat rapat BEM. Mungkin sudah saatnya,
sejak kejadian itu. Dia mencari jawaban atas kegundahan hatinya yang tidak
tergambarkan.
Aryo merasa terlalu banyak kebodohan yang dia lakukan hanya
untuk mencari tahu siapa Irfan sesungguhnya, tetapi hatinya masih kurang puas.
Irfan Safrudin, sosok atlit Basket yang begitu dikenal banyak orang tetapi
luput dari perhatianya hanya karna Aryo tidak menggemari olah raga. Bukan hanya
mencari nama aslinya, bahkan bukan hanya informasi alamat rumah dan kebiasaan
Irfan berhasil dia dapatkkan.
Berkali-kali dia berharap, setiap pintu lift terbuka. Ada
sosok Irfan disana, atau saat jam latihan Basket memaksanya untuk melihat sosok
Irfan yang berpeluh keringat karena latihan Basket. Sesekali Irfan melambaikan
tangan tapi justru membuat Aryo lari dari perhatian yang diberikan Irfan.
Sampai pada satu titik, Aryo yang mendatangi jam latihan
basket dan tak lagi menemukan sosok Irfan yang sedang latihan. Aryo tidak
mengetahui bahwa hari itu latihan ditiadakan karena masih musim Ujian Semester,
dan membuat Aryo duduk mengehadap ke lapangan basket.
BACA TULISAN SEMANTIK LAINNYA DISINI
Entah kenapa, Aryo tak memahami perasaan yang bergelanyut
dalam dirinya. Bayangan Irfan yang bermain basket, mengenakan seragam merah dan
sedang mendribel bola dengan cekatan lari melintasi lapangan dengan tubuh
dipenuhi peluh keringat dan sesekali menggunakan tanganya untuk sekadar
menghapusnya.
Sosok yang sangat karismatik, seharusnya Irfan mudah mencari
wanita idamanya tapi mengapa sampai detik ini Irfan tidak memiliki kekasih?
Terlebih dengan prestasi dan tubuhnya yang sangat atletis, tinggi, tegap,
bersih bahkan wangi. Wangi? Yah, Aryo tiba-tiba terhenyak mengingat bau harum
yang begitu menusuk hidungnya saat pertama kali bertemu. Bau harum wangi yang
membuatnya terbuai dalam angan yang tinggi dan membawanya dalam mimpi indah
berdua bersama Irfan.
Bersama Irfan ?
Entahlah, Aryo benar-benar merasa tidak memahami gejolak
hati yang ada dalam dirinya saat itu, beberapa kali dia bermimpi bercengkrama
akrab dengan Irfan. Tetapi kenapa harus Irfan? Masih ingat
dalam salah satu mimpinya dia berhadap-hadapan dengan Irfan, bau harum tubuhnya
begitu merasuk jantungnya membuat dadanya berdegup kencang, Irfan membelai pipi
Aryo dengan lembut. Didekatkan wajah Irfan tepat didepan wajah Aryo dan mencium
lembut bibir Aryo. Sangat lembut, dan mimpi itu telah membawa Aryo dalam
persenggamaan yang begitu dahsyat dan intim.
Tetapi kenapa harus Irfan?
Aryo tak mampu menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya.
Beberapa kali mencoba melampiaskan segala keresahan dan kegundahanya dengan semakin
aktif dalam keorganisasian tetapi tetap tidak mampu membuatnya terhanyut dalam
bayang-bayang Irfan. Kejadian saat itu tidak lebih dari lima menit tetapi
seperti memberikan tonjokan yang begitu dahsyat pada Aryo.
“Tumben, Anak BEM
bersedia nongkrong lama di lapangan olah raga kampus.” Entah sejak kapan
Irfan tiba-tiba berada disisinya sambil membawa bola basket di tanganya.
“Eh… Kamu, Fan?”
Aryo tak bisa menyembunyikan keterkejutanya melihat Irfan.
Irfan yang mengenakan polo shirt merah, tas ransel dan
sepatu olah raga.
“Boleh duduk?”
Kata Irfan.
“Umm, Boleh-boleh. Ini
kan wilayah kekuasaanmu. Masak minta ijin ke aku.” Jawab Aryo sekenanya.
“Kamu kan anak BEM,
jadi aku sebagai anak UKM wajib meminta ijin kan?” Cletuk Irfan.
“Enggak musti gitu
juga.” Jawab Aryo.
“Sepi yah?” Entah
kenapa, Irfan justru membahas suasana lapangan yang sepi.
“Eh… Iyah, Enggak ada
latihan?” dan berhasil membuat Aryo menjadi sangat salah tingkah tidak
memahami makasud dari perkataan Irfan.
“Kan masih suasana
Ujian Semester, memang libur dua minggu tapi biasanya aku pake buat latihan
sendiri disini. Enak, sepi.” Jawab Irfan.
Rasanya, jantungnya ingin copot saat itu. Aryo begitu salah
tingkah, tetap berusaha menutupi sikapnya. Keringat dingin keluar namun Aryo
tidak bisa lari dari kenyataan bahwa Irfan telah duduk tepat disampingnya.
Bau harum wewangian tubuh Irfan masih tercium begitu
menyengat, bau yang masih tetap sama saat pertama kali dia bertemu di ruang
lift kala itu.
“Apa yang membuatmu
tiba-tiba sering mendatangi latihanku?” Irfan mencoba bertanya.
“Yah, sebagai Sekjen
BEM kan musti melihat semua aktifitas di kamus kan? Tidak harus yang berbau
politik kampus aja.” Jawab Aryo sambil sesekali mengusap keringat yang
mengucur deras di dahinya.
Tentu saja itu momen yang sangat dinanti Aryo tapi juga
dihindarinya, dengan segala perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Terlebih,
Aryo menganggap apa yang dia rasakan sebagai sebuah kesalahan. Tidak mungkin
itu perasaan cinta, cinta seharusnya tidak terjadi pada lelaki dan lelaki atau
bahkan sebaliknya, dia menganggapnya sebagai kelainan jiwa bahkan dengan segala
dalil yang dia dengarkan saat perkuliahan Abnormal
Disorder atau bahkan dalil-dalil norma sosial yang dia ketahui tetapi apa
yang terkadi pada dirinya tak bisa dipungkiri telah membuatnya menjadi gila dan
saling berbenturan.
Ideologi dan idealisme yang dia pegang telah mengajarkan
bahwa percintaan antara lelaki itu tidaklah mungkin bersifat natural, dan itu
sangat mengada-ada. Itu salah dan harus disingkirkan, tetapi sosok Irfan? Dia
telah berhasil mencuri hatinya, entah harus bagaimana dia menerjemahkan
perasaan yang ada pada dirinya dengan segala literatur yang dia pelajari dan
segala idealisme yang telah menguasai pemikirannya saat itu dan menyatakan
bahwa hubungan sejenis salah adanya.
Irfan menaruh tas ransel diantara kedua kaki, tanganya
membuka dan meraih handuk putih yang biasa dia gunakan saat latihan dalam tas
hitam, sekejap dia melipat handuk dan tanpa permisi mengusap keringat Aryo.
Kedua mata mereka saling menatap, Aryo merasa seperti ada
desiran yang begitu menghanyutkan kalbunya. Jantungnya semakin berdebar
kencang, matanya tak mampu terpejam ketika Irfan menatapnya begitu tajam.
“Kamu tau? Aku
menyukaimu sejak aku pertama melihatmu di kampus ini.” Irfan memulai pembicaraan,
matanya menunduk sembari sesaat memandang kembali wajah Aryo yang terpaku tanpa
mampu mengucapkan sepatah katapun di depan Irfan.
“Kenapa harus aku?”
tanpa menaydari Aryo meneteskan air mata, air mata yang rasanya sangat mahal
bagi seorang aktivis seperti Aryo. Dia berusaha mempertanyakan apa yang tidak
pernah dia pahami sebagai sebuah kewajaran dan naluriah yang alami.
“Engkau hanya satu
diantara seribu lelaki yang aku cintai, pesonamu begitu menyentuh hatiku.
Pemikiranmu membuka mataku akan lingkungan sosial tanpa kau sadari dan aku dari
kejauhan telah memandangmu begitu dalam untuk bisa menyadari apa yang terjadi
pada diriku hingga pada satu titik aku mampu mengatakan ini, saat ini, detik
ini, kala senja telah beranjak dari atas kepalaku dan membuat panas dan
bertanya apakah kamu akan menantiku di ruang yang sama dan kamu memberiku
kepastian bahwa kamu menantiku, diruangan ini.” Irfan mengucapkan semua
kalimat itu begitu jelas tanpa jeda, rasanya seperti sebuah untaian sajak yang
telah lama Aryo ingin dengar dari seseorang yang entah siapa akan mengucapkan
tetapi ingin dia dengarkan dan diperdengarkan pula oleh alam.
Irfan membelai Aryo dengan lembut, matanya kembali menatap
tajam. Senja itu, kedua bibir yang lembut saling bertemu tanpa memahami makna
dari kata Cinta yang tak lagi dia bisa ungkapkan dalam bibirnya yang dibungkam
oleh bibir manis Irfan.
“Tidak Irfan, ini salah… Ini nggak mungkin.” Aryo memberontak, kedua tangan Irfan yang ada di pipi disingkapnya dengan keras. Dia berlari kencang, menyusuri lorong kampus yang ada di samping gedung olah raga, tanpa menyadari kakinya tiba-tiba berasa berat dan dia terjebab.
Irfan berlari mengejar Aryo, tanganya meraih Aryo yang
terjatuh.
“Jangan Fan, jangan.
Ini salah Fan, ini nggak mungkin, aku nggak mau.” Aryo berusaha
memberontak.
“Dengar kata hatimu
Yo, apa yang ada di hatimu. Aku tahu kamu juga mencintaiku kan?” Irfan masih
berusaha untuk meyakinkan Aryo namun Aryo tetap tak bergeming, dia berdiri dan
berlari.
“Aku pikir kamu anak
Psikologi, anak BEM yang seharusnya punya cakrawala yang lebih luas dari
mahasiswa lainya.” Irfan kembali berteriak dan teriakan itu membuat Aryo
kembali terpaku berdiri di tengah lorong kampus dan berbalik menghadap Irfan.
“Maaf Fan… Ini nggak
mungkin, ini gak bisa, maaf Fan…” Aryo menatap Irfan yang berdiri di
belakangnya.
“Kenapa?” Irfan
berusaha mempertanyakan sikap Aryo.
Namun Aryo tetap berbalik dan berlari menjauh dari Irfan
yang hanya bisa menatapnya tanpa mampu lagi mengejarnya. Sepertinya senja itu
telah menyertakan matahari yang ada di hati Irfan untuk ikut tenggelam dalam
keremangan. Senja dengan angin yang keras menerjang dan membuatnya tak mampu
bergerak mengejar Aryo yang menjauh dari pandanganya.
Oriel Kolosa
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.