Senja di Lorong Kampus (Trilogi Hegemoni Cinta)


“Ya Tuhan, aku telat.” Aryo melajukan mobil keluar dari garasi rumah, kuliah pagi adalah perjuangan yang berat bagi seseorang seperti Aryo. Tapi kewajiban untuk mengikuti setiap perkuliahan membuatnya berusaha sekuat tenaga untuk bangun pagi terlebih sang ayah sudah memrotesnya karena aktifitas yang dia ikuti sering dianggap mengganggu perkuliahan.

Aryo hanyalah satu diantara ribuan mahasiswa Universitas Merdeka yang termasuk mahasiswa paling populer karena kekritisanya, Sekretaris Jendral Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Universitas menjadikanya sosok Aryo sangat mudah untuk dikenali di hampir setiap sudut kampus. Wajar saja bagi seorang aktivis seperti dia membuat susah bangun di pagi hari. Terlebih Pak Anggoro, dosen yang pagi itu mengajar juga sudah memberi peringatan kepada Aryo karena dianggap terlalu banyak aktifitas diluar perkuliahan bahkan memberikan ancaman secara terbuka di depan teman sekelasnya karena sering terlambat bahkan absen dari perkuliahan hanya demi aktifitas kampus.

Dengan sigap dia mengambil buku dan tas yang ada di jok mobil samping Aryo sesaat setelah dia berhasil memarkirkan mobil layaknya pembalap, membuka pintu mobil dan memencet tombol kunci sambil terus bergumam pada diri sendiri.

“Mampus…. Mapuuusss…. Aku telat….” Gumam Aryo.

Dia berlari menyusuri jalan kampus sambil sesekali menerima sapaan kawan-kawan yang memberikan lambaian salam hangat buat Aryo. Itu sudah menjadi kebiasaannya jika sedang berada di kampus atau bahkan ketika sedang asyik nongkrong di kafe langgananya. Aryo hanya bisa memberikan lambaian tangan atau kode dengan menunjuk jam tangan.

Di depan lift kampus, sesekali dia membuka buku. Memeriksa apakah ada yang tertinggal ataukah ada yang kurang. Tak sadar, saat pintu lift terbuka. Matanya terinterupsi oleh sosok tinggi dan tegap yang berdiri di dalam lift, wajahnya putih bersih dengan dada bidang tergambar jelas dalam lekukan kaus biru bergambar logo Superman warna merah, dibalut dengan kemeja krem kotak-kotak dan celana jeans biru seirama dengan kaus yang dikenakan.

“Mau masuk, bro?” Pria itu mencoba menyadarkan Aryo yang sejenak tertegun.

“Eh… I.. Iya, maaf.” Ucap Aryo mencoba menyadarkan diri.

Aryo memasuki lift. Saat akan menyentuh tombol tutup. Tanpa sengaja sosok yang sejenak menginterupsi Aryo itu juga menyentuh tombol tutup. Jarinya saling bersentuhan membuat mereka sama-sama terkejut dan saling meminta maaf seraya Aryo memencet tombol lantai 5.

Pintu lift terbingkai kaca. Tapi justru itu yang membuat jantungnya bergejolak. Jarak lantai dasar hingga lantai 5 seharusnya sangat dekat dan cepat, tapi kali ini tidak biasa. Pergerakan lift terasa sangat lambat dan membuat Aryo semakin salah tingkah, sesekali matanya tertuju pada sosok disampingnya. Matanya berkali-kali melirik melihatnya dari kaca depan. Dia tergambar jelas di kaca pintu lift.

Selama dia di kampus itu, rasanya baru kali ini dia melihat anak itu. Mungkin karena sosok lelaki tinggi tegap yang berdiri disampingnya membuat Aryo berfikir kehilangan satu sosok yang mencuri perhatiannya saat itu diantara ribuan mahasiswa. Pikiranya terus melayang tak tentu arah dan dadanya semakin berdegub kencang tanpa memahami apa yang sedang terjadi.

“Hallo, aku Irfan anak hukum. Kamu Aryo, kan? Anak BEM yang terkenal itu, anak Fakultas Psikologi, kan?” Entahlah, angin apa yang membuat tangan sosok tegap di samping Aryo mengarah untuk memberikan salam perkenalan.

“Eh… Iyah, kok tau?” Aryo mencoba mengangkrabkan diri berusaha bersikap biasa.

“Siapa sih yang nggak kenal Sunaryo Wicaksono anak gang Melati No 34 mahasiswa Semester 7 Fakultas Psikologi Universitas Merdeka yang menjabat jadi Sekretaris Jendral Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas” Irfan mengucapkan dengan lantang dan jelas

DEGH!!!

Mata Aryo terbelalak menatap Irfan yang menurutnya baru dikenalnya beberapa menit yang lalu. Bahkan Aryo sendiri tidak paham seseorang bernama Irfan karna tak sempat lagi bibirnya menanyakan siapa Irfan sesungguhnya saat pintu lift terbuka dan Irfan melenggang sambil mengedipkan matanya ke arah Aryo yang terkejut dengan apa yang terjadi beberapa saat sebelumnya dengan bibir yang menganga namun tak mampu lagi mengungkap apapun.

Seharusnya itu bukan sesuatu yang aneh bagi Aryo, bahkan dia begitu terkenal di kampus yang konon melebihi rektor Universitas Merdeka. Namun apa yang terjadi barusan benar-benar mencuri perhatianya bahkan perkuliahan Pak Anggoro yang terkenal killerpun tak lagi menjadi fokusnya kala itu.

Ingatanya tentang Irfan masih terpatri kuat dalam otaknya. Hanya Irfan yang berhasil menbuat sosok Aryo terdiam dan terpaku tak berdaya pada sesuatu yang seharusnya sudah biasa namun kali ini benar-benar luar biasa.

“Yok…. Kamu kenapa sih?” cletuk Rani yang melihat Aryo cuman bengong di kursi kantin kampus.

“Eh… Iyah Ran, anggak papa kok” jawab Aryo sekenanya sambil salah tingkah.

Rani adalah sahabat terdekat Aryo, begitu dekatnya membuat seantero kampus berfikir bahwa mereka pacaran. Rani, staff Divisi Politik dan kemahasiswaan BEM Universitas. Sosok cewek kudus, cantik dan berhijab tapi tomboy, independen dan mandiri karna terkadang kita bisa mendapati Rani yang mempromosikan jualan onlinenya di sela rapat BEM atau bahkan saat ada kegiatan kampus sekalipun dia sangat idialis dan kritis dalam setiap masalah termasuk menjadi garda depan saat demo-demo terjadi.

Tapi jangan salah, salah satu alasan dia menjadi garda depan saat berdemo dan berorasi adalah kegemaranya berkenalan dengan polisi-polisi yang berjaga saat berdemo, entah kenapa Rani bisa begitu agresif ketika bertemu dengan polisi dan mendekatinya sepertinya tak satupun polisi yang berhasil dia gaet. Kalaupun bisa, biasanya tak bertahan lama.

“Ah Aryo… Gak mungkinlah gak ada apa-apa. Diem gitu bilang gak ada apa-apa” Ungkap Rani memrotes.

Aryo hanya bisa tertawa terbahak-bahak sambil tanganya menggapai minuman yang ada di meja, belum sempat meminum. Tak jauh di seberang kursi ada Irfan yang menenteng baki makanan dan duduk tepat berhadap-hadapan denganya bersama seorang wanita putih cantik dengan rambut panjang terurai duduk di sampingnya.

Minuman yang masih dimulut Aryo tersentak keluar begitu melihat Irfan duduk tepat di seberang dia dan Irfanpun tersenyum sambil melambaikan tangan dan membuat wanita yang ada di sampingnya sejenak memperhatikan Aryo dan tertawa. Aryo hanya bisa tersenyum dan mengangguk-angguk.

“Duuuh, apaan sih Aryoook” Rani marah dan berdiri, untung tak terkena air minuman yang tersentak tadi.

“Maaf… Maaf…” Aryo mencoba meminta maaf pada Rani.

“Kenapa sih Yok?…” Rani mencoba memperhatikan apa yang dilihat Aryo.

“Kamu kenal dia?” Aryo memberi kode dengan dagunya yang mengarah pada Irfan.

“Oooh… Sisca? Hayoooo…. Kamu naksir Sisca ya?” Jawab Rani.

“Bukan, bukan yang cewek. Itu yang cowoknya.” kata Aryo.

“Irfan? Anak Hukum itu?”

“Iya, kamu kenal?”

“Halah, kamu tuh lupa kalo aku anak Hukum juga atau emang kepalamu lagi kejedot meja?”

“Ya elah, sampe segitunya, karna kamu anak Hukum mangkanya aku tanya kamu.” Kata Aryo.

“Kita kan sekelas, lagian dia juga anak Basket kan? Masak kamu gak kenal?” Jawab Rani dengan tegas menjelaskan.

“Jiah, kamu kan tau sendiri aku nggak suka olah raga mangkanya kalo rapat divisi minat dan bakat bidang keolah ragaan jarang ikut.” Jawab Aryo mencoba mencari alibi.

“Mangkanya otak jangan dipakai cuman mengurus demo aja, sesekali kek merakyat… Blusukan, jangan cuman beronani dengan wacana-wacana langit mulu.” Rani mulai memberikan nasehat saktinya.

“Bahasamu, Ran. Berat anget, Ran.”

“Hla iyah, mangkanya jangan cuman maen ke BEM Fakultas atau HMJ aja, itu UKM juga butuh loe sebagai Sekretaris Jendral BEM Universitas.”

“Apaan sih, Kamu. Ampe bawa-bawa yang gituan.”

“Ya iyalah, masak sampai tidak mengenali Tim Basket Universitas yang udah membawa nama Universitas ini ampe kelas Nasional? Dia aja ikutan TC (Technic Course.Red) Tim Basket Propinsi buat PON loh.”

“Oh ya?” Jawab Aryo seperti tidak percaya kalau sampai dia tidak mengenali Irfan.

“Hadeh, bapak sekretaris jendral BEM yang terhormat. Dia itu, terkenal banget di kampus apalagi banyak cewek-cewek yang naksir dia. Gimana gak naksir, bodynya…. Wajahnya… Ugh… Top Markotop.” Kata Rani sambil memperagakan bentuk body dengan tanganya.

“Hla Kamu naksir juga? Tumben suka anak atlet.” Cletuk Aryo.

“Enggaklah, aku lebih milih pak polisi aja.” Jawab Rani sambil mengerlingkan matanya.

Tiga bulan setelah kejadian itu, tapi Aryo tidak bisa membohongi hatinya bahwa Irfan telah mencuri perhatian dan fokusnya. Bahkan beberapa kali Aryo dianggap tidak fokus saat rapat BEM. Mungkin sudah saatnya, sejak kejadian itu. Dia mencari jawaban atas kegundahan hatinya yang tidak tergambarkan.

Aryo merasa terlalu banyak kebodohan yang dia lakukan hanya untuk mencari tahu siapa Irfan sesungguhnya, tetapi hatinya masih kurang puas. Irfan Safrudin, sosok atlit Basket yang begitu dikenal banyak orang tetapi luput dari perhatianya hanya karna Aryo tidak menggemari olah raga. Bukan hanya mencari nama aslinya, bahkan bukan hanya informasi alamat rumah dan kebiasaan Irfan berhasil dia dapatkkan.

Berkali-kali dia berharap, setiap pintu lift terbuka. Ada sosok Irfan disana, atau saat jam latihan Basket memaksanya untuk melihat sosok Irfan yang berpeluh keringat karena latihan Basket. Sesekali Irfan melambaikan tangan tapi justru membuat Aryo lari dari perhatian yang diberikan Irfan.

Sampai pada satu titik, Aryo yang mendatangi jam latihan basket dan tak lagi menemukan sosok Irfan yang sedang latihan. Aryo tidak mengetahui bahwa hari itu latihan ditiadakan karena masih musim Ujian Semester, dan membuat Aryo duduk mengehadap ke lapangan basket.

BACA TULISAN SEMANTIK LAINNYA DISINI

Entah kenapa, Aryo tak memahami perasaan yang bergelanyut dalam dirinya. Bayangan Irfan yang bermain basket, mengenakan seragam merah dan sedang mendribel bola dengan cekatan lari melintasi lapangan dengan tubuh dipenuhi peluh keringat dan sesekali menggunakan tanganya untuk sekadar menghapusnya.

Sosok yang sangat karismatik, seharusnya Irfan mudah mencari wanita idamanya tapi mengapa sampai detik ini Irfan tidak memiliki kekasih? Terlebih dengan prestasi dan tubuhnya yang sangat atletis, tinggi, tegap, bersih bahkan wangi. Wangi? Yah, Aryo tiba-tiba terhenyak mengingat bau harum yang begitu menusuk hidungnya saat pertama kali bertemu. Bau harum wangi yang membuatnya terbuai dalam angan yang tinggi dan membawanya dalam mimpi indah berdua bersama Irfan.

Bersama Irfan ?

Entahlah, Aryo benar-benar merasa tidak memahami gejolak hati yang ada dalam dirinya saat itu, beberapa kali dia bermimpi bercengkrama akrab dengan Irfan. Tetapi kenapa harus Irfan?     Masih ingat dalam salah satu mimpinya dia berhadap-hadapan dengan Irfan, bau harum tubuhnya begitu merasuk jantungnya membuat dadanya berdegup kencang, Irfan membelai pipi Aryo dengan lembut. Didekatkan wajah Irfan tepat didepan wajah Aryo dan mencium lembut bibir Aryo. Sangat lembut, dan mimpi itu telah membawa Aryo dalam persenggamaan yang begitu dahsyat dan intim.

Tetapi kenapa harus Irfan?

Aryo tak mampu menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya. Beberapa kali mencoba melampiaskan segala keresahan dan kegundahanya dengan semakin aktif dalam keorganisasian tetapi tetap tidak mampu membuatnya terhanyut dalam bayang-bayang Irfan. Kejadian saat itu tidak lebih dari lima menit tetapi seperti memberikan tonjokan yang begitu dahsyat pada Aryo.

“Tumben, Anak BEM bersedia nongkrong lama di lapangan olah raga kampus.” Entah sejak kapan Irfan tiba-tiba berada disisinya sambil membawa bola basket di tanganya.

“Eh… Kamu, Fan?” Aryo tak bisa menyembunyikan keterkejutanya melihat Irfan.

Irfan yang mengenakan polo shirt merah, tas ransel dan sepatu olah raga.

“Boleh duduk?” Kata Irfan.

“Umm, Boleh-boleh. Ini kan wilayah kekuasaanmu. Masak minta ijin ke aku.” Jawab Aryo sekenanya.

“Kamu kan anak BEM, jadi aku sebagai anak UKM wajib meminta ijin kan?” Cletuk Irfan.

“Enggak musti gitu juga.” Jawab Aryo.

“Sepi yah?” Entah kenapa, Irfan justru membahas suasana lapangan yang sepi.

“Eh… Iyah, Enggak ada latihan?” dan berhasil membuat Aryo menjadi sangat salah tingkah tidak memahami makasud dari perkataan Irfan.

“Kan masih suasana Ujian Semester, memang libur dua minggu tapi biasanya aku pake buat latihan sendiri disini. Enak, sepi.” Jawab Irfan.

Rasanya, jantungnya ingin copot saat itu. Aryo begitu salah tingkah, tetap berusaha menutupi sikapnya. Keringat dingin keluar namun Aryo tidak bisa lari dari kenyataan bahwa Irfan telah duduk tepat disampingnya.

Bau harum wewangian tubuh Irfan masih tercium begitu menyengat, bau yang masih tetap sama saat pertama kali dia bertemu di ruang lift kala itu.

“Apa yang membuatmu tiba-tiba sering mendatangi latihanku?” Irfan mencoba bertanya.

“Yah, sebagai Sekjen BEM kan musti melihat semua aktifitas di kamus kan? Tidak harus yang berbau politik kampus aja.” Jawab Aryo sambil sesekali mengusap keringat yang mengucur deras di dahinya.

Tentu saja itu momen yang sangat dinanti Aryo tapi juga dihindarinya, dengan segala perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Terlebih, Aryo menganggap apa yang dia rasakan sebagai sebuah kesalahan. Tidak mungkin itu perasaan cinta, cinta seharusnya tidak terjadi pada lelaki dan lelaki atau bahkan sebaliknya, dia menganggapnya sebagai kelainan jiwa bahkan dengan segala dalil yang dia dengarkan saat perkuliahan Abnormal Disorder atau bahkan dalil-dalil norma sosial yang dia ketahui tetapi apa yang terkadi pada dirinya tak bisa dipungkiri telah membuatnya menjadi gila dan saling berbenturan.

Ideologi dan idealisme yang dia pegang telah mengajarkan bahwa percintaan antara lelaki itu tidaklah mungkin bersifat natural, dan itu sangat mengada-ada. Itu salah dan harus disingkirkan, tetapi sosok Irfan? Dia telah berhasil mencuri hatinya, entah harus bagaimana dia menerjemahkan perasaan yang ada pada dirinya dengan segala literatur yang dia pelajari dan segala idealisme yang telah menguasai pemikirannya saat itu dan menyatakan bahwa hubungan sejenis salah adanya.

Irfan menaruh tas ransel diantara kedua kaki, tanganya membuka dan meraih handuk putih yang biasa dia gunakan saat latihan dalam tas hitam, sekejap dia melipat handuk dan tanpa permisi mengusap keringat Aryo.

Kedua mata mereka saling menatap, Aryo merasa seperti ada desiran yang begitu menghanyutkan kalbunya. Jantungnya semakin berdebar kencang, matanya tak mampu terpejam ketika Irfan menatapnya begitu tajam.

“Kamu tau? Aku menyukaimu sejak aku pertama melihatmu di kampus ini.” Irfan memulai pembicaraan, matanya menunduk sembari sesaat memandang kembali wajah Aryo yang terpaku tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun di depan Irfan.

“Kenapa harus aku?” tanpa menaydari Aryo meneteskan air mata, air mata yang rasanya sangat mahal bagi seorang aktivis seperti Aryo. Dia berusaha mempertanyakan apa yang tidak pernah dia pahami sebagai sebuah kewajaran dan naluriah yang alami.

“Engkau hanya satu diantara seribu lelaki yang aku cintai, pesonamu begitu menyentuh hatiku. Pemikiranmu membuka mataku akan lingkungan sosial tanpa kau sadari dan aku dari kejauhan telah memandangmu begitu dalam untuk bisa menyadari apa yang terjadi pada diriku hingga pada satu titik aku mampu mengatakan ini, saat ini, detik ini, kala senja telah beranjak dari atas kepalaku dan membuat panas dan bertanya apakah kamu akan menantiku di ruang yang sama dan kamu memberiku kepastian bahwa kamu menantiku, diruangan ini.” Irfan mengucapkan semua kalimat itu begitu jelas tanpa jeda, rasanya seperti sebuah untaian sajak yang telah lama Aryo ingin dengar dari seseorang yang entah siapa akan mengucapkan tetapi ingin dia dengarkan dan diperdengarkan pula oleh alam.

Irfan membelai Aryo dengan lembut, matanya kembali menatap tajam. Senja itu, kedua bibir yang lembut saling bertemu tanpa memahami makna dari kata Cinta yang tak lagi dia bisa ungkapkan dalam bibirnya yang dibungkam oleh bibir manis Irfan.

“Tidak Irfan, ini salah… Ini nggak mungkin.” Aryo memberontak, kedua tangan Irfan yang ada di pipi disingkapnya dengan keras. Dia berlari kencang, menyusuri lorong kampus yang ada di samping gedung olah raga, tanpa menyadari kakinya tiba-tiba berasa berat dan dia terjebab.

Irfan berlari mengejar Aryo, tanganya meraih Aryo yang terjatuh.

“Jangan Fan, jangan. Ini salah Fan, ini nggak mungkin, aku nggak mau.” Aryo berusaha memberontak.

“Dengar kata hatimu Yo, apa yang ada di hatimu. Aku tahu kamu juga mencintaiku kan?” Irfan masih berusaha untuk meyakinkan Aryo namun Aryo tetap tak bergeming, dia berdiri dan berlari.

“Aku pikir kamu anak Psikologi, anak BEM yang seharusnya punya cakrawala yang lebih luas dari mahasiswa lainya.” Irfan kembali berteriak dan teriakan itu membuat Aryo kembali terpaku berdiri di tengah lorong kampus dan berbalik menghadap Irfan.

“Maaf Fan… Ini nggak mungkin, ini gak bisa, maaf Fan…” Aryo menatap Irfan yang berdiri di belakangnya.

“Kenapa?” Irfan berusaha mempertanyakan sikap Aryo.

Namun Aryo tetap berbalik dan berlari menjauh dari Irfan yang hanya bisa menatapnya tanpa mampu lagi mengejarnya. Sepertinya senja itu telah menyertakan matahari yang ada di hati Irfan untuk ikut tenggelam dalam keremangan. Senja dengan angin yang keras menerjang dan membuatnya tak mampu bergerak mengejar Aryo yang menjauh dari pandanganya.

Oriel Kolosa

Pernah di Terbitkan di Suarakita.org

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama