Manusia Berkarya, Maka Ia Ada


“Mengapa manusia harus berkarya Pak?” tanya Baso kepada bapaknya, La Upe’ di suatu sore (mirip anak yang dimaksud Bimbo pada lirik lagunya. Hanya saja orientasi pertanyaannya yang beda). Oleh karena tanya dari anaknya, ia tersentak sadar dari lamunannya, padahal baru saja ia menghayalkan mama baru buat anaknya. Tindakan antisipatif yang menurutnya diperlukan, jika sekiranya Mama Baso sudah dianggap usang.

Sambil mengeryitkan dahi, ia berusaha mengingat dan meraba-raba pembicaraan dengan tema serupa yang ditanyakan oleh anaknya kala ia meronda bersama bapak-bapak di komplek perumahan, yang dimana ia terdaftar sebagai salah seorang warganya. Memang, selain bermain kartu, ia dan lainnya biasa berdiskusi santai saat mendapat giliran bertugas, menjaga keamanan kampungnya. Dengan maksud, mengusir sepi dan jenuh, apapun mereka perbincangkan, mulai dari urusan remeh tetangga sampai merambah ke urusan negara tetangga.

“Begini nak, sebelum menjawab bapak ingin bertanya. Menurutmu kepada apa atau siapakah ia, hidup ini mesti dipersembahkan?”

“Tuhan Pak,” jawab anaknya spontan. “Semua orang yang beragama pun akan tahu itu, nak. Tapi apakah kau tahu alasan dibalik pilihan jawabanmu?”  La Upe’ melanjutkan dengan semangat yang menyala, “Pertanyaan itu sengaja bapak berikan agar memancing nalarmu  untuk berfikir lebih jauh ihwal alasan kehadiranmu. Menulusuri dan mencari tahu, agar kemudian kau temukan  jawaban yang menghantarkanmu sampai pada kesimpulan pertamamu tadi, yaitu Tuhan. Sebab, dengan mencari, itu akan meneguhkanmu dan menyelesaikan semua tanya yang bersarang di balik batok kepalamu. Sebaiknya sebelum menelan, kau kunyah-kunyah dulu nak”, terang sang bapak.

Baso hanya menganga menyimak bapaknya yang sedang komat kamit menjelaskan. Ia tidak berani menyanggah. Saat itu, yang ia saksikan, aura bapaknya nyaris saja menyamai sosok Spartacus ketika berdiri gagah di tengah gelanggang.

Baso mencoba mencerna yang barusan bapaknya paparkan. Namun, tak lama kemudian, ia pun kembali melontarkan tanya. “Lalu, hubungannya dengan keharusan berkarya apa pak?”, Baso mencoba kembali menggiring ke pertanyaan semula.

“Jadi begini nak, manusia berkarya itu, selain ditujukan dan diniatkan sebagai ibadah muamalah, juga membuat manusianya tetap mengada”,  jawab bapaknya.

“Maksudnya?” si Baso malah bingung. “Seperti yang dimaksudkan seorang psikolog, Abraham Maslow dalam teori aktualisasi dirinya. Beliau berpendapat bahwa sejatinya manusia berkarya dikarenakan mereka menghasrati pujian. Sebab, itu adalah syarat kokohnya eksistensi diri. Jadi, produk apapun yang lahir dari tangan manusia, itu bertujuan memenuhi kebutuhan tersebut. Bahasa sederhananya, ketika manusia dipuji karena karyanya, maka keberadaannya terakui. Dan parahnya, kata Freud, yang juga seorang psikolog asal Prancis, jika kebutuhan kedua ini tidak terpenuhi, maka manusia bisa saja mengalami split personality (kekacauan pribadi). Jadi, manusia berkarya untuk berbagi dan membuktikan kepada sekitarnya bahwa ia memang ada nak.”

“Tapi ingat nak, apapun karya yang lahir dari tanganmu. Selalulah melibatkan-Nya, agar kamu tidak melenceng dari jalur. Ini hubungannya dengan pertanyaan saya tadi, nak. Maksudnya adalah terjaganya pengendalian akan dirimu agar kamu tidak semata-mata mengejar pengakuan atas semua prestasi yang kelak kamu torehkan nantinya. Seperti yang dimaksudkan para psikolog tadi. Manusia diberi keistimewaan berupa kehendak memilih dan melakukan apa saja agar mereka kelak bisa menemukan batasan dan kesejatiaan dirinya sebagai seorang hamba yang tidak layak memupuk ke-Aku-an. Karena setelah mereka mengenali dirinya, ia pun berpeluang mengenali Tuhannya. Sesuai yang pernah dikatakan Imam Al Ghazali, nak”.

BACA TULISAN DI KOLOM SEMANTIK LAINNYA DISINI

“Berkarya adalah upaya untuk tetap mengabadi, nak. Orang-orang terdahulu masih tetap hidup. Mereka membimbing dan mengajarkan kita melalui karya-karyanya. Mereka tidak dikatakan mati hanya karena ruhnya telah meninggalkan jasad. Mereka akan selalu hidup dalam karyanya. Maka, jika kamu berkata untuk apa manusia berkarya. Sudah pasti jawabanya adalah hidup”, jelas sang bapak.

“Oh.. Pantas saja banyak orang meyakini kalau para alim ulama, ilmuwan, atau para tokoh terdahulu masih hidup. Ternyata yang dimaksudkan adalah mengada dalam karya yah pak”, pikirnya.

“Benar, tapi jangan disangka bahwa hanya karya yang disandarkan pada kebaikan saja yang mampu membuat seseorang tetap hidup. Fir'aun dan Abu Lahab, contohnya. Mereka masih hidup diingatan orang-orang karena karyanya. Jadi, jika kamu berharap agar dikenang dan abadi dalam ingatan anak cucumu, pilihannya ada padamu. Kamu bisa memilih menedalan kepada siapa saja diantara mereka, nak.”

“Iye, sekarang saya baru mengerti pak. Namun yang mengganjal di fikiranku, kalau memang berkarya sepenting itu. Lalu, apa karya bapak?”
“Kamu, nak,” jawabnya.


Edt. Novi

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama