Sepulang dari sekolah, Baso tidak lansung
menuju rumah. Sebagai remaja yang tumbuh di era berjamurnya kedai kopi, ia
berniat menikmati kopi bikinan Pak Ali, sapaan yang disematkan buat lelaki
paruh baya itu, oleh tetamu di kedai sederhananya. Bukan hanya rasa kopi
racikan tangan Pak Ali saja yang menjadi daya tarik. Tetapi juga oleh harganya yang
cukup bersahabat di kantong para pengunjungnya, termasuk Baso yang masih anak
sekolahan. Selain kedua alasan tadi, di mata Baso ada hal lain yang menjadi
alasan penguat mengapa ia lantas menjatuhkan pilihan bertamu di kedai Pak Ali. Tidak
lain adalah letaknya yang terbilang strategis. Yah, karena kedai itu berdiri
tepat di muka gerbang sekolahnya. Ia tidak perlu lagi berlelah-lelah menempuh
perjalanan panjang jika hanya sekedar ngopi. Tapi soal strategis, tentu tidak
berlaku general.
Setiba di kedai, bukannya memesan, matanya malah
sibuk meraba salah seorang pengunjung kedai dari kejauhan. Ada penampakan yang
menurutnya ia kenal. Singkat saja waktu yang ia butuhkan untuk menebak siapa
dibalik sosok yang tengah khusyuk membolak balikkan halaman buku ditangannya
itu.
“Beddu”, gumam Baso dalam hati.
Yah, itulah Beddu yang sedari tadi mencuri
perhatiannya. Pemuda yang sepantaran umur dengannya. Memang mereka lahir pada
saat yang sama dan tumbuh di lingkungan yang sama pula. Kini, ikrar tentang
persahabatan tertanam kuat di hati mereka. Walau begitu, perbedaan kerap kali
muncul di antara keduanya. Seperti soal pilihan yang pernah mereka buat dahulu.
Jika dahulu Baso memilih berseragam, maka lain halnya dengan Beddu. Ia nekad
menantang tatanan baku dengan menolak mengenyam pendidikan di sekolahan formal.
Hal yang terasa ekstrim bagi Baso kala mereka memilih. Mungkin karena Baso
berdiri pada pijakan kebenaran mayoritas yang ditelannya mentah-mentah.
Kebenaran yang telah jauh hari mengumumkan bahwa dengan bersekolahlah, jaminan
masa mendatang terhampar. Ia lupa apa kata bapaknya dahulu bahwa dari manapun
datangnya informasi, harus melewati tahap tabayyun
alias dikunyah dulu, sekalipun itu dikemas atas nama pengetahuan.
Baru setelah yakin, Baso kemudian
menghampirinya.
"Woi
sappo,” sapanya.
Mendengar sapaan yang dialamatkan kepadanya,
Beddu pun lansung memalingkan wajah ke arah sumber suara.
"Eh,
Baso, dari mana?”
"Dari
mana lagi kalau bukan dari sekolah sappo, maklum anak sekolahan,” katanya sambil membetulkan kerah seragamnya yang sudah berlumur daki. “Ini mau nongkrong dulu sebelum pulang,”
lanjutnya.
BACA TULISAN SEMANTIK LAINNYA DISINI
"Sekolah
di situ?” tanya Beddu seraya mengarahkan telunjuk pada
sekolah yang berdiri angkuh di depan kedai Pak Ali.
"Iye.”
Kemudian Baso mengambil tempat di sebelah
Beddu. Setelah lama berbasa basi, ia pergi memesan kopi dan sejumlah aneka rupa
gorengan untuk memanjakan cacing di dalam perut mereka. Sambil menikmati
hidangan, Baso mengajukan tanya. Namun kali ini, arahnya tertuju pada pilihan
Beddu tempo hari, yang hingga kini masih menjadi tanda tanya di kepalanya.
Barangkali ia menaruh kasihan jika suatu hari nanti, sahabatnya akan tertinggal.
"Kenapa
memilih tidak bersekolah sappo?”
Mendengar itu, lansung saja Beddu menipisnya
dengan juga bertanya.
"Siapa bilang saya tidak bersekolah? Jangan menilai berdasarkan yang ditangkap oleh matamu. Bisa saja matamu itu rabun,” jawabnya sembari merogoh kantong, mengeluarkan sebatang rokok yang telah lusuh. Disulutnya ujung rokok itu lalu melanjutkan perkataannya, “apakah karena saya tidak berseragam sama sepertimu? ataukah karena saya belajarnya tidak berada di dalam ruang yang kamu sebut kelas itu sappo?”
Karena mendapat respon dengan nada yang agak
serius, Baso
mencoba meluruskan arah pertanyaannya, “maksudnya
begini sappo, kenapa kamu tidak memilih belajar di sekolahan formal seperti
lainnya. Saya hanya sulit membayangkan, bagaimana mungkin seseorang akan
bertahan kedepannya tanpa disertai modal, seperti ijazah yang sedari awal memang
diburu oleh kebanyakan dari kami, orang-orang yang bersekolah.”
Sambil melempar senyum, Beddu mencoba
menjelaskan perihal pilihannya yang tak biasa bagi sahabatnya, ”mungkin karena saya tidak butuh label dan juga
tidak peduli pada apa yang dikira-kirakan orang-orang. Jelas saya tidak butuh
seragam. Begitupula dengan gedung mewah plus ac-nya jika hanya sekedar belajar.
Sederhananya jika dibahasakan, pada hal yang menyangkut sekolah, tidak harus
menunggu ada itu semua. Justru hal itu hanya akan membuat saya terasa kerdil
sappo”
"Apakah
memang seperti itu sappo?”
"Tabe
sappo, bukan maksud menggurui, hanya sebatas menyampaikan apa yang menjadi kegundahan
hati. Bagi saya, terapan pendidikan hari ini telah kehilangan marwahnya. Bagaimana
tidak? Jika yang dikedepankan hanya fokus pada pengembangan fisik semata. Itu
memang perlu dan saya tidak akan menyangkalnya, tapi bukan berarti dengan
mengabaikan yang utama. Yang namanya sarana penunjang, keberadaannya untuk membantu
agar kita segera tiba di tujuan. Bukan malah sebaliknya.”
“Tugas para
pendidik semestinya terus mengacu pada hakikat dibentuknya pendidikan, agar output
yang lahir mampu mengenali peran dan peruntukannya. Tidak hanya faham perihal cara bertahan tetapi juga tahu alasan
mengapa dan untuk siapa mereka mesti bertahan. Sebab hidup tidak lebih dari
sekedar pengabdian, maka sudah seyogyanya, mereka harus tahu bahwa hari tidak
boleh terlewat tanpa menunaikan pelayanan kepada siapa dan apa saja yang
membutuhkan. Dan dengan itu pula kita akan mengerti jika diri ini jauh lebih
berharga di banding selembar kertas meski dengan polesan cumlaude di atasnya.”
Mendengar penjelasan Beddu yang panjang kali
lebar, ia berusaha sebisa mungkin mencernanya. Belum selesai ia bertarung
dengan fikirannya. Beddu pun sudah menyampaikan niat beranjak. Namun sebelum
bergeser dari kursinya, Beddu kembali berceloteh.
"Makna sekolah tidak sekaku yang kita duga sappo. Dalam pengertian sederhana, sekolah adalah pemamfaatan waktu luang. Maksudnya, tidak boleh ada pembiaran waktu berlalu begitu saja tanpa sesuatu yang berarti. Jadi, apapun yang dilakukan, selama menunjang kualitas kemanusiaan, hakikatnya itu sudah belajar”.
Prinsipnya,
dimanapun kaki sementara berpijak, itu
adalah sekolah. Sebab luasnya daratan yang terhampar, tercipta dengan maksud
menyekolahkan makhluk labil seperti kita. Apakah kau tidak pernah mendengar
bahwa kepada siapa, dimana saja, dan kapan saja semestinya kita berguru? Kalau
pernah, berarti harusnya kau mafhum bahwa menjalani hidup sejatinya adalah bersekolah,
hanya saja melaluinya tanpa bangku. Hal ini seiring dengan apa yang pernah
dituturkan oleh Gus Mik. Jadi pertanyaannya kemudian, mengapa harus butuh jauh-jauh
jika hanya menghendaki bersekolah? di halaman rumahmu kan bisa sappo,” tambahnya.
Baso hanya khusyuk mendengarkan. Mulutnya
masih saja rapat. Pikirannya mengawang- awang entah kemana. Ia masih mencerna apa yang
Beddu barusan katakan. Memahami inti ceramah tajam sahabatnya yang seolah
mengiris dalam, jauh ke lubuknya. Sementara itu, tanpa menunggu respon Baso, Beddu
sudah berlalu dari tempatnya.
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.