Seperti sebelum-sebelumnya, hujan masih saja setia membasahi. Memang lagi musimnya. Mungkin hingga beberapa bulan kedepan. Namun sayang, kedatangannya tak selalu disambut baik. Malah kerap ia dikambinghitamkan oleh banyak kepala sebagai biang kerok atas kerja mereka yang tak kunjung rampung. Padahal itu buah kelalaian mereka sendiri. Bagaimana tidak, jika saat kemaraupun mereka tetap saja menuding dengan bahasa serupa. Sungguh, gambaran bagi ia yang masih mengira diri manusia.
Namun,
bukan soal hujan yang membuat Beddu bertanya-tanya. Melainkan sinar yang
terhalang mendung di wajah sahabatnya, si Baso. Memang sejak mereka melepas
penat bermain catur di pos ronda samping warung Bu Ija, Ia enggan berbagi
suara. Menunjukkan sosok Baso yang tidak dikenanya. Hal ini menjadi teka teki
tersendiri di benak Beddu. Dan oleh dorongan rasa penasarannya, maka Beddu mencoba
mencari tahu dalang dibalik diamnya Baso. Mengapa ia betah menimbun suara dan
gelak tawa yang justru biasanya ia pamer penuh bangga. Meski suara dan tawanya
menganggu, bagi Beddu itu lebih baik dari pada harus menyaksikan kemurungan
terukir di wajah sahabatnya.
“Ada
apa? Kemana hilangnya senyum pahit dan tawa sumbangmu sappo?” tanyanya penuh harap.
“Tidak
apa-apa, saya masih sehat seperti biasanya. Hanya malas bicara saja”, terang
Baso.
“Berbagilah,
jangan memperlakukan saya seperti orang asing. Bukankah guna sahabat membantu
yang lainnya dikala butuh dan bukankah kau juga tahu bahwa tidak seorangpun
diantara kita yang mampu berdiri tegak tanpa tumpuan tangan dari yang lain.”
“Tentu
saya masih hafal kebenaran itu, tapi biarlah yang satu ini saya simpan sendiri.
Kau tidak usah menyisihkan tenaga berlelah-lelah memikirkan masalahku ini.”
“Bagaimana
mungkin saya biarkan seperti itu sappo.
Mungkin saja kehadiranku di sampingmu sebagai amanah yang dibebankan untukku
sebagai seorang yang dipanggil sahabat olehmu. Ingat, setiap kegelapan yang
dialami seseorang, butuh penerang dari orang lain. Maka, biarkanlah saya jadi
penebar cahayamu kali ini. Siapa yang mampu menduga, bukan tak mungkin jika
saya mampu menghapus ukiran kesedihan di wajahmu dan menggantinya dengan rekahan
senyum yang kau bangga-banggakan itu,” harapnya kepada Baso yang masih juga dirundung
kemurungan.
BACA TULISAN LAINNYA DISINI
Baso
hanya terdiam dan tertunduk lesu. Belum ada kata balasan atas saran sahabatnya.
Bahkan kini ia tak lagi bergairah melanjutkan permainan caturnya. Pion yang
tadinya diangkat, digeletakkan begitu saja. Lalu ia mundur mencari sandaran di
salah satu tiang penyanggah. Kehadiran kopi dan rokok juga tak banyak membawa
pengaruh untuknya. Tak ada daya dari keduanya. Padahal ia begitu akrab dengan
kedua makhluk itu. Ini yang membuat Beddu ingin mengorek lebih jauh motifnya.
Sebab, tidak pernah terlintas olehnya akan sikap lemah sahabatnya seperti apa
yang tengah disaksikannya itu. Baginya, Baso adalah makhluk periang dengan
anugrah postur badan yang gempal, ditambah desain muka sangar, suara sumbang, mata menyala, rambut
berombak, dan kulit hitam oleh karena daki yang menumpuk. Dengan itu saja, sulit
ia menalar jika Baso mudah terjangkit galau akut.
Sebagai
seorang sahabat, Beddu tetap menawarkan segala upaya agar Baso mau membuka
mulut dan berceritra soal masalah yang menimpanya.
“Ayolah
dicerita sappo, apa salahnya
menerima uluran tangan saya? Perih hati ini melihatmu menyakiti diri. Tidak
bijak berlama-lama menetap dalam keterpurukan. Kau kan sendiri tahu kalau
masalah itu laksana anak tangga. Tidak lain agar kau mendapati diri berdiri
gagah di ketinggian kelak. Jadi, ia memang harus ada. Lalu, mengapa masih saja
kau hadapi dengan sikap cengeng yang jauh dari kesan elegan ini? Memang galau
itu manusiawi. Namun cara yang kau tempuh itu yang tidak manusiawi”, bujuk
Beddu dengan harapan yang masih sama.
Tidak
terasa kerongkongannya mengering oleh karena bujuk rayu yang terus menerus dilayangkan untuk sahabatnya. Setelah
menenggak kopi, Beddu pun terdiam hingga yang ada adalah keheningan menyelimuti
mereka berdua. Tak ada lagi suara terlontar dari mulut Beddu apalagi Baso yang
memang lagi enggan membuka mulut. Namun tak disangka oleh Beddu, akhirnya telah
tiba masa Baso angkat suara. Tapi sebelumnya, ia menyulut rokok sebatang untuk
menenangkan kondisi hatinya.
“Sebelum
saya berceritra, saya minta satu hal darimu,” katanya dengan suara berat.
“Apa
itu?”
“Jangan
tertawa setelah mendengar alasannya.”
“Kenapa
mesti saya harus menertawai kepedihanmu, bukankah kewajiban atasku untuk turut merasakannya.
Bukan malah menari bahagia di atas lukamu,” terangnya meyakinkan Baso. “Baiklah
saya berjanji agar kau tenang menumpahkan ceritramu”.
“Baguslah
jika demikian, jawab Baso. “Atas apa yang menimpaku ini, tak lain dan tak bukan
oleh karena seorang perempuan.”
Mendengar
kejujuran yang barusan dikatakannya, Beddu lupa dengan janjinya. Bahkan ia
sampai menggoda Baso.
BACA SERIAL BASO & BEDDU LAINNYA DISINI
“Cieeeee”,
goda Beddu sembari terbahak dengan nada mengejek. Membuat sahabatnya tersipu
malu.
“Tai
beke mentong ini anak, sudah berjanji malah dengan mudahnya diingkari.”
“Maaf
Sappo, bukan maksud
menertawaimu, hanya saja alasanmu terdengar geli di telinga. Dengan tampang sesangar
yang kau punya, ternyata melengpem juga di hadapan perempuan. Saya kira kau
tidak ditakdirkan mengenal cinta.”
“Seperti
apa gerangan sosok perempuan yang membuat pemuda sangar sepertimu meleleh?”
“Nanti
kau juga akan tahu dengan sendirinya,”
tuturnya. “Saya sudah lama mengharapkannya. Oleh karena harapan itu,
maka dengan segenap kesanggupan, kukerahkan semua agar kelak bisa bersanding dengannya. Segala cara sudah saya tempuh
agar ia bersedia membalas rasa ini. Saya pernah diberi peluang. Mungkin bahasa
kerennya ta’arrufan. Namun
sayang, pada perjalanan mengenalinya, selalu saja ada sandungan dan hambatan.
Acapkali dinamika tercipta yang membuat saya malah terhempas jauh darinya. Sudah
lima kali peluang itu terbuka dan sayangnya lima kali pula saya terhempas
dibuatnya. Saya bersedih bukan karena mendapati diri lemah, tak sanggup berbuat
apa-apa. Namun, karena kehilangan kesempatan memperjuangkan perempuan yang bagi
saya memang layak untuk diperjuangkan,” ungkapnya kepada sahabat dengan tetap mencoba
terlihat tegar sebagaimana yang disangkakan orang karena melihat sosoknya.
Setelah
mendengar lansung paparan dari sahabatnya, demi menunjukkan rasa empati, ia
bermaksud berbagi wejangan yang sekiranya dianggap perlu untuk diketahui
sahabatnya itu.
“Sangat
wajar jika kau bersedih sappo,
mungkin yang lain juga akan merespon dengan cara yang sama jika terjerat dalam
situasi yang persis denganmu atau bisa saja lebih parah. Oleh siapapun itu
berlaku, bahkan untuk manusia sekaliber Einstein. Jadi sekiranya kau sudi
memaafkanku karena telah menertawaimu tadi.”
“Setegar
apapun seorang lelaki, tentu akan terlihat tak berdaya di depan perempuan yang
diidamkannya. Maka, sangat tak mengherankan jika sedari awal kita disuguhkan
kisah mengenai keperkasaan Nabi Adam As yang tak mampu menahan gelisah hebat oleh
karena rasa sepi sekalipun ia tengah berada di Syurga, tempat segala suguhan
kenyamanan tersaji. Semenyenangkan apapun gambarannya, tak kuasa mengusir sepi
yang berkecamuk di balik dada bapak manusia itu. Padahal ia khalifah pilihan
pertama. Sangat jauh kualitasnya dibanding para begundal macam kita ini. Hanya
kehadiran Hawa yang mampu mewarnai hidupnya. Bahkan ia sanggup menerima
kenyataan terusir jauh ke daratan asing yang belum satupun dihuni makhluk
sepertinya. Asal jangan Hawa yang dibuat jauh darinya. Itu bukti betapa luar
biasanya sosok perempuan itu.”
“Tetapi
bukan jadi alasan yang tepat untuk kemudian memilih larut dalam kesedihan.
Malah hal itu akan membuat pemahamanmu mengabur akan peran kita. Tujuan
kehadiranmu bukan untuk meratap dan menetap dalam kegalauan, bagaimanapun
situasinya. Terlalu bodoh kita ini, jika kesempurnaan hidup hanya dibalut
dengan sedih dan galau. Bumi-Nya terhampar begitu luas melebihi luasnya mata
dalam menangkap. Nah, di setiap hamparan yang luas itulah tertabur benih-benih
kebahagiaan yang akan terpetik jika kita berlaku bijak”.
“Tentu kau mengerti ihwal kepada siapa harapan itu mesti diadukan sappo. Bukankah sangat sering disampaikan oleh para penganjur keshalehan bahwa Dia, Sang Maha Segalanya telah memperdengarkan melalui Firman-Nya agar segala permohonan hamba-hamba-Nya dialamatkan kepada bukan selain-Nya. Lantas, mengapa kau luput mengadu kepada-Nya. Untung saja kau tidak memilih menumpahkan aduanmu di beranda Facebookmu seraya memohon harap memperoleh like dan komen dari-Nya.
“Apa
itu salah?”
“Itu memang
tidak salah, mungkin kurang tepat sasaran. Sebab, ada hal yang mesti diketahui
hanya olehmu dan Tuhan,” terang Beddu panjang lebar.
“Sebegitu
kuat kah pesona perempuan itu memikat hatimu, hingga kau eman terkatung-katung seperti
orang kehilangan arah?”
“Sebagai
lelaki, tentu kau mengerti. Walau tidak kugambarkan sosoknya, sikapku sudah
mewakili kalau ia memang layak untuk diperjuangkan.”
“Nah,
kalau begitu, simpan ia dalam doamu. Dan istiqamahlah memanjatkan hanya kepada
Dia yang seharusnya sembari melakukan ikhtiar demi memantaskan diri agar kau
layak ditunjuk balik oleh perempuan idamanmu itu. Jangan disimpan dalam hati.
Sebab, sifatnya berbolak-balik, tidak menentu. Doa dan ikhtiar tadilah yang
menjadi tugasmu selaku hamba. Selebihnya yang di luar dari kesanggupanmu,
serahkan kepada-Nya.”
“Saya
hanya mau menyampaikan, tidak usah mempertanyakan penolakan yang kau alami ini,
jika tugasmu belum juga rampung. Apalagi jika tindakanmu salah meletakkan
harapan. Lalu meringis kesakitan seolah kau adalah korban dan ia adalah tokoh
dengan watak antagonis. Hidup tidak sebercanda itu sappo”. Sebelum mengakhiri Beddu menambahkan, “Ini hanya berbagi
solusi atas masalahmu. Memang sederhana, akan tetapi tidak mudah untuk
menjalankannya”.
Tidak
ada hal lain yang dilakukan Baso selain khusyu’ mendengarkan wejangan apa saja
yaang mengalir dari mulut sahabatnya. Mungkin tidak menuntaskan masalah yang
dialaminya. Akan tetapi, paling tidak itu mampu menenangkan hatinya yang didera
sakit oleh karena cinta yang ia pupuk belum mendapat ruang sepenuhnya di hati
perempuan itu.
“Terima
kasih karena kehadiranmu selalu disertai pencerahan sesuai yang diharapkan sappo.”
“Kalau
bukan untuk itu, lalu apa guna seorang sahabat. Bukankah memang diperuntukkan
agar saling mengisi dan membesarkan. Berbagi apa, dimana, dan kapan saja. Tidak
hanya saat sedang suka, melainkan juga pada saat duka.”
Kembali
senyum itu merekah di
bibir Baso. Perlahan tapi pasti. Ia telah kembali seperti sediakala.
Mereka masih saja bercengkrama walaupun
sudah beranjak dari topik sebelumnya. Baso sudah bersemangat. Ingin rasanya ia
kembali meneruskan permainan catur mereka yang sempat tertunda. Begitupula
minatnya kepada kopi dan rokok yang juga turut terabaikan tadi. Berakhirnya
mendung di sore itu adalah penanda membaiknya suasana di hati Baso.
Abdurrahman Abdullah / Kangur
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan tidak mengandung unsur SARA, menyinggung kelompok gender tertentu apalagi klub sepak bola, please jangan lakukan itu.